KONSEP KUFUR DAN IMAN

Wednesday, November 26, 2008

BAB I

PENDAHULUAN

Persoalan yang pertama-tama timbul dalam teologi Islam adalah masalah iman dan kufur. Persoalan itu pertama kali dimunculkan oleh kaum Khawarij ketika mencap kafir sejumlah tokoh sahabat Nabi saw yang dianggap telah berbuat dosa besar, antara lain Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sofyan, Abu Hasan al-Asy’ari, dan lain-lain. Masalah ini lalu dikembangkan oleh Khawarij dengan tesis utamanya bahwa setiap pelaku dosa besar adalah kafir.

Aliran lain seperti Murji’ah, Mu’tajilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah turut ambil bagian dalam masalah tersebut bahkan tidak jarang terdapat perbedaan pandangan di antara sesama pengikut masing-masing aliran.

Perbincangan konsep iman dan kufur menurut tiap-tiap aliran teologi Islam, seringkali lebih menitik beratkan pada satu aspek saja, yaitu iman atau kufur. Lebih jelasnya akan dibahas dalam makalah.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Iman dan Kufur

Perkataan iman berasal dari bahasa Arab yang berarti tashdiq (membenarkan), dan kufur – juga dari bahasa Arab – berarti takzib (mendustakan).

Menurut Hassan Hanafi, ada empat istilah kunci yang biasanya dipergunakan oleh para teologi muslim dalam membicarakan konsep iman, yaitu:

1. Ma’rifah bi al-aql, (mengetahui dengan akal).

2. Amal, perbuatan baik atau patuh.

3. Iqrar, pengakuan secara lisan, dan

4. Tashdiq, membenarkan dengan hati, termasuk pula di dalamnya ma’rifah bi al-qalb (mengetahui dengan hati).

Keempat istilah kunci di atas misalnya terdapat dalam hadis Nabi saw. Yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri:

من رأي منكم منكرا فليغيره بيده فان لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذالك أضعف الاءيمان (رواه مسلم)

Artinya:

Barang siapa di antara kalian yang melihat (marifah) kemungkaran, hendaklah mengambil tindakan secara fisik. Jika engkau tidak kuasa, lakukanlah dengan ucapanmu. Jika itu pun tidak mampu, lakukanlah dengan kalbumu. (Akan tetapi yang terakhir) ini merupakan iman yang paling lemah[1]

(H.R. Muslim)

Dan kemudian di dalam pembahasan ilmu tauhid/kalam, konsep iman dan kufur ini terpilih menjadi tiga pendapat:

1. Iman adalah tashdiq di dalam hati dan kufur ialah mendustakan di dalam hati akan wujud Allah dan keberadaan nabi atau rasul Allah. Menurut konsep ini, iman dan kufur semata-mata urusan hati, bukan terlihat dari luar. Jika seseorang sudah tashdiq (membenarkan/meyakini) akan adanya Allah, ia sudah disebut beriman, sekalipun perbuatannya tidak sesuai dengan tuntunan ajaran agama.

Konsep Iman seperti ini dianut oleh mazhab Murjiah, sebagaian penganut Jahmiah, dan sebagaian kecil Asy’ariah.

2. Iman adalah tashdiq di dalam hati dan di ikrarkan dengan lidah. Dengan kata lain, seseorang bisa disebut beriman jika ia mempercayai dalam hatinya akan keberadaan Allah dan mengikrarkan (mengucapkan) kepercayaannya itu dengan lidah. Konsep ini juga tidak menghubungkan iman dengan amal perbuatan manusia. Yang penting tashdiq dan ikrar.

Konsep iman seperti ini dianut oleh sebagian pengikut Maturidiah

3. Iman adalah tashdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan, konsep ketiga ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman. Karena itu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut oleh Mu’tazilah, Khawarij, dan lain-lain.

Dari uraian singkat diatas terlihat bahwa konsep iman di kalangan teolog Islam berbeda-beda. Ada yang hanya mengandung satu unsur, yaitu tashdiq, sebagaimana terlihat pada konsep pertama di atas. Ada yang mengandung dua unsur, tashdiq dan ikrar, seperti konsep nomor dua. Ada pula yang mengandung tiga unsur, tashdiq, ikrar, dan amaliah, sebagaimana konsep nomor tiga di atas.

Di samping masalah konsep iman dan kufur, pembahasan di dalam ilmu tauhid/kalam juga menyangkut masalah apakah iman.itu bisa bertambah atau berkurang atau tidak. Dalam hal ini ada dua pendapat.

1. Iman tidak bisa bertambah atau berkurang.

2. Iman bisa bertambah atau berkurang. Ulama yang berpendapat seperti ini terbagi pula kepada dua golongan:

a. Pendapat yang mengatakan bahwa yang bertambah atau berkurang itu adalah tashdiq dan amal.

b. Pendapat yang mengatakan bahwa yang bertambah dalam iman itu hanya tashdiqnya.

Pada umumnya para ulama berpendapat, iman itu dapat bertambah pada tashdiq dan amalnya. Tashdiq yang bertambah tentu diikuti oleh pertambahan frekuensi amal.

Menurut sebagian ulama, bertambah atau berkurangnya tashdiq seseorang tergantung kepada:

1. Wasilahnya. Kuat atau lemahnya dalil (bukti) yang sampai dan dterima oleh seseorang dapat menguatkan atau melemahkan tashdiq-nya;

2. Diri pribadi seseorang itu sendiri, dalam arti kemampuannya menyerap dalil-dalil keimanan. Makin kuat daya serapnya, makin kuat pula tashdiq-nya. Sebaliknya, jika daya serapnya lemah atau tidak baik, tashdiq-nya pun bisa lemah pula;

3. Pengamalan terhadap ajaran agama. Seseorang yang melaksanakan kewajiban-kewajiban agama dengan baik dan benar dan frekuensi amaliahnya tinggi, akan merasakan kekeuatan iman/tashdiq yang tinggi pula. Makin baik dan tinggi frekuensi amaliahnya, makin bertambah kuat iman/tashdiq-nya.[2]

B. Perbandingan Antar Aliran: Iman dan Kufur

Akibat dari perbedan pandangan mengenai unsur-unsur iman, maka timbulah aliran-aliran teologi yang mengemukakan persoalan siapa yang beriman dan siapa yang kafir. Dapaun aliran-aliran tersebut adalah Khawarij, Murji’ah, Mu’tajilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan Ahlus Sunnah.

1. Khawarij

Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah, mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala perbuatan yang berbau religius, termasuk di dalamnya masalah kekeuasaan adalah bagian dari keimanan (al-amal juz’un al-iman).

Menurut Khawarij, orang yang tidak mengerjakan shalat, puasa, zakat dan lain-lain, maka orang itu kafir.

Tegasnya sekalian orang mukmin yang berbuat dosa, baik besar maupun kecil, maka orang itu kafir.

Tegasnya sekalian orang mukmin yang berbuat dosa, baik besar maupun kecil, maka orang itu kafir, wajib diperangi dan boleh dibunuh, oleh dirampas hartanya. Demikianlah menurut faham Khawarij.[3]

Aliran Khwarij berpegang pada semboyan la hukma illa lillah menjadi asas bagi mereka dalam mengukur apakah seseorang masih mukmin atau sudah kafir. Asas itu membawa mereka kepada paham, setiap orang yang melakukan perbuataun dosa adalah kafir, akrena tidak sesuai dengan hukum yang ditetapkan Allah. Dengan demikian, orang Islam yang berzina, membunuh sesama manusia tanpa sebab yang sah, memakan harta anak yatim, riba, dan dosa-dosa lainnya bukan lagi mukmin, ia telah kafir. Perbuatan dosa yang membawa kepada kafirnya seseorang menurut golongan ini terbatas pada dosa.[4]

2. Murji’ah

Aliran Murji’ah berpendapat, orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin. Adapun soal dosa besar yang mereka lakukan ditunda penyelesaiannya pada hari kiamat. Mereka berpendapat bahwa iman hanya pengakuan dalam hati sehingga orang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa besar.

Berdasarkan pandangan mereka tentang iman, Abu-Hasan Al-Asy’ary mengklasifikasikan aliran teologi Murji’ah menjadi 12 subsekte, yaitu Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Asy-Syimriya, As-Saubaniyah, Ash-Salihiyah, AL-Yunusiyah, Asy-Syimriyah, As-Saubaniyah, An-Najjariyah, Al-Kailaniyah bin Syabib dan pengikutnya, Abu Hanifah dan pengikutnya, At-Tumaniyah, Al-Marisiyah, dan Al-Karramiyah. Sementara itu, harun Nasution dan Abu Zahrah membedakan Murji’ah menjadi dua kelompok utama, yaitu Murji’ah moderat (Murji’ah Sunnah) dan Murji’ah ekstrim (Murji’ah Bid’ah).[5]

Namun kedua belas kelompok tersebut masing-masing memiliki pendapat mengenai Iman dan kufur. Dan aliran Mur’jiah ini kemudian berbeda anggapan tentang batasan kufur yang terpecah dalam tujuh kelompok.

a. Kelompok pertama ini beranggapan: kufur ini beranggapan: kufur itu merupakan sesuatu hal yang berkenaan dengan hati, dimana hati tidak mengenal (jahl) terhadap Allah swt. Adapun mereka yang beranggapan seperti ini ialah para pengikut kelompok Jahamiyyah.

b. Kelompok kedua ini beranggapan: kufur itu merupakan banyak hal yang berkenaan dengan hati ataupun selainnya, seperti tidak mengenal (Jahl) terhadap Allah swt, membenci dan sombong atas-Nya, mendustakan Allah dan rasul-Nya, menyepelekan Allah dan rasul-Nya, tidak mengakui Allah itu Esa dan menganggap-Nya lebih dari satu. Karena itu mereka pun menganggap bisa saja terjadi kekufuran tersebut, baik dengan hati ataupun lisan, tetapi bukan dengan perbuatan, dan begitupun iman.

Mereka pun beranggapan bahwa sesorang yang membunuh ataupun hanya menyakiti nabi dengan tidak karena mengingkarinya, tetapi hanya karena membunuh ataupun menyakiti itu semata, niscaya dia tidaklah disebut kufur. Begitupun seseorang yang meninggalkan kewajiban agama seperti halnya salah dengan tidak karena menghalalkannya, tetapi hanya karena meninggalkan salat itu semata, niscaya dia pun tidaklah disebut kufur.

Tetapi mereka beranggapan: kalau seseorang menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah, rasul-Nya dan juga orang-orang muslim, niscaya dia pun disebut kufur. Begitupun kalau seseorang beritikad dengan itikad yang menurut kesepakatan segenap orang muslim merupakan suatu kekufuran, atau berbuat dengan perbuatan yang merupakan suatu kekufuran. Niscaya dia pun disebut sebagai orang kafir.

c. Kelompok ketiga ini tidak dijelaskan.

d. Kelompok keempat itu beranggapan: Kufur terhadap Allah itu mendustakan-Nya, membangkang terhadap-Nya dan mengingkari-Nya secara lisan. Karena itu tidaklah kekufuran, kecuali dengan lisan dan bukan dengan selainnya. Adapun anggapan ini dikemukakan oleh Muhammad ibn karam dan para pengikutnya.

e. Kelompok kelima ini beranggapan: kufur itu membangkang melawan dan mengingkari Allah, baik sepenuh hati ataupun secara lisan.

f. Kelompok keenam ini ialah para pengikut Abu Syamr, dimana anggapan-anggapan mereka tentang kufur ini telah di kemukakan dalam uraian yang terdahulu, yang menyangkut anggapannya tentang tauhid dan qadar.

g. Kelompok ketujuh ini ialah para pengikut Muhammad ibn Syabib di mana anggapan-anggapan mereka tentang kufur ini pun telah dikemukakan dalam uraian yang terdahulu, yang menyangkut anggapannya tentang iman.

Adapun kebanyakan pengikut aliran Murji’ah tidak mengkufurkan seseorang yang mentakwilkan al-Quran, bahkan tidak pula mengkufurkan siapa pun selain yang kekufurannya itu telah disepakati orang-orang muslim.[6]

3. Mu’tajilah

Menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.

Kaum Mu’tajilah berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum tobat, tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi sebagai orang fasiq.

Di akhirat ia dimasukkan ke neraka untuk selama-lamanya, tetapi nerakanya agak dingin tidak seperti nerakanya orang kafir. Dan tidak pula berhak masuk surga. Jelasnya menurut kaum Mutazilah, orang mu’min yang berbuat dosa besar dan mati sebelum tobat, maka menempati tempat diantara dua tempat, yakni antara neraka dan surga (manzilatan bainal manzilatain).[7]

4. Asy’ariyah

Kaum Asy’ariyah – yang muncul sebagai reaksi terhadap kekerasan Mu’tazilah memaksakan paham khalq al-Quran – banyak membicarakan persoalan iman dan kufur. Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, iman bagi mereka adalah tashdiq. Pendapat ini berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tajilah tapi dekat dengan kaum Jabariyah.

Tasdiq menurut Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang mengandung ma’rifah terhadap Allah (qaulun bi al-nafs ya tadhammanu a’rifatullah).

Mengenai penuturan dengan lidah (iqrar bi al-lisan) merupakan syarat iman, tetapi tidak termasuk hakikat iman yaitu tashdiq . argumentasi mereka istilah al-nahl, ayat 106.

من كفر بالله من بعد أيمانه الأمن أكره و قلبه مطمئن بالإيمان

Seseorang yang menuturkan kekafirannya dengan lidah dalam keadaan terpaksa, sedangkan hatinya tetap membenarkan Tuhan dan rasul-Nya, ia tetap dipandang mukmin. Karena pernyataan lidah itu bukan iman tapi amal yang berada di luar juzu’iman. Seseorang yang berdosa besar tetap mukmin karena iman tetap berada dalam hatinya.[8]

5. Al-Maturidiyah

Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Pengertian ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai bantahan terhadap al-Karamiyah, salah satu subsekte Murji’ah. Ia berargumentasi dengan ayat al-Quran surat al-Hujurat 14.

Ayat tersebut dipahami al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah. Al-Maturidi tidak berhenti sampai di situ. Menurutnya, tashdiq, seperti yang dipahami di atas, harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah ayat 260. Pada surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan Ibrahim tersebut, lanjut Al-maturidi, tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, Ibrahim mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Jadi, menurut Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman. Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq bi al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud demgan tashdiq al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal. Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah, yaitu sama-sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.[9]

6. Ahlus Sunnah

Menurut Ahlus Sunnah, Iman ialah mengikrarkan dengan lisan dan membenarkan dengan hati. Iman yang sempurna ialah mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota.

Orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati sebelum tobat, maka orang itu tetap mukmin. Bila orang itu tidak mendapat ampunan dari Allah dan tidak pula mendapat syafa’at Nabi Muhammad saw untuk mendapatkan ampunan dari Allah swt maka orang itu dimasukkan ke neraka buat sementara, kemudian dikeluarkan dari neraka untuk dimasukkan ke surga.

Orang mukmin bisa menjadi kafir (murtad), karena mengingkari rukun iman yang enam, misalnya: ragu-ragu atas adanya Tuhan, menyembah kepada makhluk, menuduh kafir kepada orang Islam.

C. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Allah

Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, mahakuasa dan Maha Berkehendak. Keyakinan demikian disepakati oleh semua umat Islam. Namun, mereka berbeda pendapat tentang kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan itu. Apakah kehendak dan kekuasaan Tuhan itu bersifat mutlak tanpa batas atau ada batas-batas tertentu sehingga Tuhan “tidak berkuasa mutlak”?.

Adapun berikut ini beberapa pendapat aliran-aliran mengenai kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, yaitu:

1. Mu’tazilah

Mu’tazilah, sebagai aliran rasionalis yang menempatkan akal pada posisi yang tinggi dan meyakini kemampuan akal untuk dapat memecahkan problema teologis, berpendapat, kekuasaan Tuhan tidak mutlak sepenuhnya. Kekuasaan-Nya dibatasi oleh Tuhan tidak mutlak sepenuhnya. Kekuasaan-Nya dibatasi oleh beberapa hal yang diciptakan-Nya sendiri. Hal-hal yang membatasi kekuasaan Tuhan tersebut antara lain adalah:

a. Kewajiban-kewajiban Tuhan untuk menunaikan janji-janji-Nya seperti janji memasukkan orang yang saleh ke dalam surga dan orang yang berbuat jahat ke dalam neraka. Tuhan wajib menepati janji ini. Dengan demikian, meskipun Tuhan berkuasa memasukkan orang jahat ke dalam surga, tapi kekuasaannya dibatasi oleh janji-Nya sendiri. Jika Tuhan paksakan juga memasukkan orang jahat ke dalam surga berarti Tuhan tidak adil dan melanggar janji.

b. Kebebasan dan kemerdekaan manusia untuk melakukan perbuatannya. Menurut Muktazilah, Allah memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada manusia untuk melakukan perbuatan. Karena itu, manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Manusialah yang memilih dan menentukan, berbuat atau tidak, dan apa yang akan ia perbuat. Karena Allah sudah memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada manusia memilih dan menentukan perbuatannya itu, maka kekuasaan Tuhan terhadap perbuatan manusia itu tidak mutlak lagi.

c. Hukum alam. Allah menciptakan alam semesta ini dengan hukum-hukum tertentu yang bersifat tetap. Hukum-hukum itu biasanya dinamakan hukum alam, seperti matahari terbit di sebelah timur dan tenggelam di sebelah Barat, benda tajam melukai, api membakar, dan lain-lain. Hukum alam – yang pada hakikatnya adalah hukum Allah karena Alah yang menciptakan hukum itu – sudah ditentukan oleh Tuhan. Dengan ketentuan tersebut, Tuhan tidak berkuasa mutlak lagi. Kekuasaanya-Nya dibatasi oleh hukum-hukum yang diciptakan-Nya sendiri.

2. Asy’ariyah

Pendapat Mu’tazilah di atas bertolak belakang dengan pendapat Asy’ariyah. Menurut Asy’ariyah. Tuhan berkuasa mutlak atas segala-galanya. Tidak ada satupun yang membatasi kekuasaan-Nya itu. Karena kekuasaan Tuhan bersifat absolute, biasa saja Tuhan memasukkan orang jahat atau kafir ke dalam surga atau memasukkan orang mukmin yang saleh ke dalam nereka, jika hal itu memang dikehendaki-Nya. Apabila Tuhan berbuat demikian, menurut pendapat ini, bukan berarti Tuhan tidak adil. Keadilan Tuhan tidaklah berkurang dengan perbuatan-Nya itu sebab semua yang ada saja terhadap ciptaan dan milik-Nya.

Sebagai zat yang memiliki kekuasaan absolute dan mutlak, bagi Asy’ariyah, Tuhan tidak terikat dengan janji-janji, norma-norma keadilan, bahkan tidak terikat dengan janji-janji, norma-norma, bahkan tidak terikat dengan apa pun [10]

3. Maturidiyah

Sekalipun golongan ini tidak se ekstrem Asy’ariyah, yang memiliki paham yang dekat dengan Asy’ariyah. Golongan maturidiyyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, namun kemutlakannya tidak semutlak paham yang dianut oleh Asy’ariyah kemudian kelompok Maturidiyyah ini terbagi menjadi Maturidiyyah Bukhara dan Maturidiyyah Samarkand Maturidiyyah Bukhara berpendapat bahwa:

Tuhan tidak mungkin melanggar janji-janji-Nya memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat jahat. Pendapat al-Bazdawi ini menunjukkan bahwa kekuasaan Tuhan tidak mutlak sepenuhnya sebagaimana pendapat Asy’ariyah sebab masih terkandung adanya kewajiban Tuhan, yaitu kewajiban menepati janji.

Kalau Maturidiyyah Bukhara lebih dekat kepada pemikiran Asy’ariyah. Matudiridiyyah Samarkan lebih dekat kepada pemikiran Mu’tazilah sekalipun tidak seekstrim Mu’tazilah. Bagi golongan ini, Tuhan memang memiliki kekuasaan mutlak, namun kekuasaan-Nya dibatas oleh batasan yang diciptakan-Nya sendiri. Batasan-batasan tersebut, menurut Prof. Dr. Harun Nasution adalah:

a. Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang, menurut pendapat mereka, ada pada manusia.

b. Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia dalam mempergenukan daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya utnuk berbuat baik atau berbuat jahat.

c. Keadaan hukuman-hukuman tuhan, sebagai kata al-Bazdawi, tak boleh tidak mesti terjadi.[11]


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan paparan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa dalam konsep Iman dan kufur terdapat perbedaan pendapat diantara aliran-aliran teologi Islam. Seperti yang dikemukakan aliran khawarij bahwa segala sesuatu yang berhubungan atau berbau religious adalah bagian dari iman, sehingga apabila orang melakukan dosa baik itu dosa maupun kecil maka dia disebut kafir. Berbeda halnya dengan aliran Murji’ah mereka berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin. Adapun soal dosa mereka di tudna penyelesaiannya diakherat. Hal ini karena mereka beranggapan bahwa iman hanya pengakuan dalam hati.

Aliran Mu’tajilah berpendapat bahwa jika seorang mukmin berbuat dosa besar dan kemudian meninggal sebelum bertobat disebut fasiq. Dan diakhirat kelak menempati tempat diantara surga dan neraka. Aliran Asy’ariyah dan Maturidiyyah beranggapan bahwa iman tidak hanya diungkapkan dengan lisan tetapi juga harus diyakini di dalam hati sehingga jika ada seseorang yang mengaku kafir, namun hatinya tetap beriman maka ia tetap dianggap sebagai mukmin. Sedangkan alirna ahli sunnah berpendapatbahwa iman itu mengikrarkan dengan lisan, meyakini dalam ahti dan mengenjrkana dengan anggota.

Tidak hanya dalam konsep iman dan kufur, tetapi di dalam kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan juga terdapat perbedaan pendapat diantara lairna-aliran teologi Islam. Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan tidak mutlak sepenuhnya karena kekuasaanya dibatasi oleh beberapa hal yang diciptakannya sendir.

Pendapat Mu’tazilah tersebut kemudian bertolak belakang dengna pendapat Asy’ariyah. Kerena menurut mereka Tuhan berkuasa mutlak atas segala-galanya. Demikian pula pendapat alirna Maturidiyah, mereka berpendapat bahwa Tuhan berkuasa mutlak atas segala-galanya namun kemutlakannya tidak semutlah paham yang dianut aliran Asy=ariyah.



[1]Rosihan Anwar, Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2003), h. 141-142.

[2]Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998), h. 157-158.

[3]Moh. Rifa’i, Abdul Aziz, Pelajaran Ilmu Kalam, (Semarang: CV Wicaksana, 1994), h. 78.

[4]Rahman Refonga, Sejarah Pemikiran dalam Islam Theologi/Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Pustaka Setia, 1996), h. 107.

[5]Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998), h. 157-158.

[6]Hasan Ismail Al-Asy’ari, Frinsip-frinsip Dasar Aliran Theologi Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998).

[7]Moh. Rifa’i, Abdul Aziz, Op.cit, h. 78.

[8]A. Rahman Rifonga, Op,cit, h. 111-112.

[9]Rosihan Anwar, Abdul Rozak, Op.cit, h. 149-150.

[10]Moh. Rifa’i, Abdul Aziz, h. 78-79.

[11]Yusran Asmuni. Opcit. H. 165.

0 comments: