KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan Taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya – shalawat dan salam selalu kita curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw beserta keluarga, sahabat dan pengikut beliau hingga akhir jaman
Dalam kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dra. H. Nurjannah Rianie, M.Ag Selaku dosen pengasuh mata kuliah Etika Profesi & kompetensi Keguruan yang telah memberikan pengetahuan, arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan tepat pada waktunya dengan judul “Etika Umum Beberapa Sistematika yang Berpengaruh Serta Tokoh-tokoh Etika”. Serta dalam penyempurnaan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan, baik dari segi penulisan maupun isi dari makalah ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dan membangun demi kesempurnaan makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
BAB I
PENDAHULUAN
Pada zaman sekarang adanya trend besar dimana-mana, bahwa orang semakin peduli pentingnya etika. Semacam kebangkitan etika terutama di
Tokoh-tokoh etika
Sejumlah tokoh sejak lama telah membahas bidang etika ini, mereka menjelaskan bagaimana seharusnya manusia membawa diri supaya dapat mencapai potensialitasnya yang tinggi, bermutu, dan menangani hidupnya serta bertanggung jawab. Disini dibahas ada tokoh etika Yunani yakni Plato (427-348 SM) dan kawan-kawan, tokoh etika barat seperti Thomas Aquenas (1225-1274) dan kawan-kawan, tokoh etika Islam yaitu: Al-Kindi (801-873) dan kawan-kawan. Untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN ETIKA UMUM BEBERAPA SISTEMATIKA YANG BERPENGARUH SERTA TOKOH-TOKOH ETIKA
A. Pengertian Etika
Kata etika berasal dari bahasa Yunani ethos (bentuk tunggal), yang berarti tinggal
Jadi, secara otomatis, etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan yang berkenaan dengan hidup yang baik dan yang buruk. Disini dimaksudkan adalah adat istiadat atau kebiasaan baik yang melekat pada kodrat manusia. Seperti kebiasaan berbuat dan berkata jujur, menghormati orang tua, menghargai hidup dan kepentingan orang lain, mengutamakan keselarasan dalam relasi dengan sesama makhluk dan alam, dan sebagainya. Kebiasaan-kebiasaan ini merupakan kaidah atau prinsip untuk berbuat baik, bukan hasil evaluasi atas suatu tindakan. Kaidah tersebut melekat pada kodrat manusia dan karenanya akan selalu menuntut kehendak bebas manusia untuk hanya memilih yang baik dan benar. Kebiasan-kebiasaan itu juga menyangkut tanggung jawab dan kewajiban serta sanksi moral. Sehingga pada akhirnya kebiasaan-kebiasaan moral itu menjadi sesuatu yang bernilai bagi kehidupan individu dan orang lain dalam tatanan masyarakat, dan tertanam dalam hati nurani setiap pelaku kebiasaan moral tersebut.
Sistematika Etika
Secara sederhana etika dibagi dalam etika umum dan etika khusus. Etika umum membahas prinsip-prinsip moral dasar, seperti kebebasan dan suara hati. Sedangkan etika khusus membahas penerapan prinsip-prinsip dasar tersebut pada masing-masing bidang kehidupan manusia. Etika khusus disebut pula etika terapan (applied ethics).
Etika khusus dibagi lagi atas etika individual dan etika sosial. Etika individual membeicarakan kewajiban seseorang sebagai anggota masyarakat atau umat manusia. Dewasa ini etika sosial sedang menjadi sorotan tajam. Etika sosial menyangkut kesederhanaan dan tanggung jawab manusia dalam kehidupan bersama dengan sesama dan lingkungannya.
Kebebasan dan tanggung jawab
Kebebasan dan tanggung jawab saling berkaitan sangat erat karena dalam pengertian kebebasan sudah termuat pengertian tanggung jawab, dan begitu pula sebaliknya. Tak mungkin ada kebebasan tanpa tanggung jawab, dan tanggung jawab tanpa kebebasan. Kebebasan mengandaikan kewajiban untuk bertanggung jawab, dan tanggung jawab mengandaikan adanya kebebasan. Sehingga semakin manusia menjadi beba s, ia semakin bersedia untuk bertanggung jawab. Ia menyadari bahwa hanya dirinya yang bertanggung jawab atas perbuatannya. Berkat kemampuan akal budinya ia dapat memilihnya. Hanya karena ia mengerti pilihan tersebut dan karean ia bebas untuk memilihnya. Hanya karena ia memiliki kebebasan, ia kewajiban moral untuk bertanggung jawab.
Karena itu, moralitas manusia hanya mungkin karena manusia bebas. Dalam hal ini, ia membutuhkan pengarahan terutama melalui norma moral. Di sini peranan etika sebagai pemikiran kritis rasional terhadap moralitas sengat perlu. Dalam hidup setiap orang kebebasan merupakan unsur yang hakiki.
Tanggung jawab merupakan kewajiban moral seseorang atas perbuatan yang telah dikerjakannya. Kewajiban moral ini tentu saja lahir dari suatu kesadaran moral. Di sini dituntut sikap dan kesadaran moral yang otonom (kesadaran moral pribadi).
Hati nurani: sumber kesadaran moral
Hari nurani paling jelas kaitannya dengan moralitas, karena hati nurani menyingkap dengan terang dimensi etis dalam hidup manusia. Hati nurani mengungkapkan penghayatan tentang baik-buruk berkaitan dengan tingkah laku yang konkret.
Hati nurani erat kaitannya dengan kesadaran seseorang, yaitu, kesanggupan untuk mengenal diri sendiri dan karena itu ia berefleksi tentang dirinya. Hanya manusialah yang mempunyai kesadaran diri.
Selain itu, hati nurani juga bersifat adipersonal, seolah-olah melebihi pribadi kita, sebagai instansi di atas kita.
Hak dan kewajiban
Salah satu topik etika yang perlu dibicarakan ialah hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban ini kian menjadi perhatian sekarang ini karena adanya keinsyafan manusia akan manusia akan martabatnya sebagai makhluk yang bebas dan otonom. Bahwa karena kebebasan dan otonomi dirinya, ia memiliki hak dan kewajiban sebagai manusia.[2]
B. Beberapa Sistem Etika yang Berpengaruh
Sistem-sistem etika ini merupakan teori-teori etika normatif:
1. Hedoisme
Kata hedonisme berasal dari kata hedone dalam bahasa Yunani, yang berarti nikmat, kegembiraan. Hedonisme mengajarkan bahwa tujuan akhir hidup manusia adalah kenikmatan atau kesenangan duniawi. Perbuatan manusia mesti terarah pada pencapaian tujuan tersebut. Baik buruknya perbuatan itu tergantung pada hasilnya akhirnya.
Hedonisme ini sudah ada pada awal sejarah filsafat. Aristippos dari Kyrene (433-355 SM), seorang murid Sokrates, menegaskan bahwa yang sungguh baik bagi manusia hanyalah kesenangan. Jika ia berhasil meraih kesenangannya, ia tidak akan mencari sesuatu yang lain lagi.
Hedonisme juga mempengaruhi Inggris, John Locke (1632-1704). Ia berpendapat bahwa yang kita sebut baik adalah apa yang menyebabkan kesenangan; sebaliknya, kita namakan jahat karena mendatangkan ketidaksenangan dalam diri kita. Bahkan dalam kehidupan modern sekarang ini secara implisit hedonisme kian bertumbuh subur. Prinsip-prinsip hedonistis sesungguhnya sedang berjalan sekarang ini. Hal ini tampak jelas dalam publisitas periklanan masyarakat yang sangat konsumeristis.[3]
2. Eudemonisme
Pandangan ini dimulai oleh Aristoteles (384-322 SM). Dalam bukunya,
3. Utilitarisme
Utilitarisme diturunkan dari kata Latin utilis,yang berarti berguna, berfaedah, menguntungkan. Menurut paham ini, yang baik adalah yang berguna, berfaedah, menguntungkan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang tidak bermanfaat, tidak berfaedah, merugikan. Maka, baik-buruknya perilaku dan perbuatan bergantung pada kegunaannya. Kegunaan atau keuntungan menjadi prinsip, norma, kriteria, dan cita-cita moral.
4. Deontologi
Dibandingkan dengan sistem etika yang telah dibahas sebelumnya, deontologi tidak mengukur baik-tidaknya suatu perbuatan berdasarkan hasil atau tujuan, melainkan semata-mata pada maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. Deontologi hanya memperhatikan apakah suatu perbuatan atau keputusan itu wajib di lakukan atau tidak. Deontologi berasal dari kata Yunani, deon yang berarti apa yang harus dilakukan, kewajiban.
Sistem moral deontologi diciptakan oleh I.Kant (1724-1804), filsuf Jerman. Yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya, tanpa ada pembatasan, hanyalah kehendak baik. Sejauh seseorang berkendak baik ia baik. Kehendak baik itu selalu baik dan dalam kebaikannya tidak bergantung pada sesuatu di luar dirinya. Sedangkan semua hal lain yang baik, seperti watak, kesehatan, dan kekayaan, bukan baik pada dirinya sendiri, melainkan hanya baik secara terbatgas atau dengan syarat. Yakni, jika semua itu diabdikan dan dipakai oleh kehendak baik. Karena bila dipakai oleh kehendak jahat disalahgunakan oleh kehendak yang jahat. Sehingga syarat mutlak bagi pelbagai sifat manusia adalah kehendak baik.[5]
C. Tokoh-tokoh Etika
1. Yunani
a. Plato
Plato adalah salah seorang filsuf terbesar Yunani yang berpengaruh terhadap pemikiran dan peradaban umat manusia, termasuk peradaban Barat modern. Ia lahir pada tahun 427 SM dari keluarga bangsawan di Athena, di tengah-tengah kekacauan perang Pelopones. Pada umur 40 tahun ia pindah ke istana Dionysios I di
Tujuan etika Plato, sebagaimana tujuan etika Yunani pada umumnya, adalah menemukan aturan dan arahan agar kehidupan manusia dapat menjadi utuh dan bulat, agar ia bukan hanya asal mempertahankan hidupnya (zen), melainkan juga mencapai hidup yang bernilai (euzen, hidup yang baik), yang terasa berhasil, tidak percuma tetapi bermakna.
b. Aristoteles (384-322 SM).[6]
Aristoteles termasuk salah seorang filsuf terbesar Yunani. Seperti Plato, pemikiran Aristoteles sangat berpengaruh dalam pembentukan pemikiran dan peradaban umat manusia, termasuk pemikiran Barat Modern. Ia menganjurkan penggunaan logika sebagai alat bantu dalam kegiatan penyelidikan dan penelitian. Dia dianggap sebagai filsuf moral pertama dalam arti yang sebenarnya. Ia adalah pendiri etika sebagai ilmu cabang filsafat.
Aristoteles lahir pada tahun 384 SM di Stagyra di daerah Thrakia, Yunani Utara. Delapan belas tahun kemudian, ia masuk Akademia di Athena dan sampai tahun 347 SM menjadi murid Plato. Meskipun selama 20 tahun menjadi murid Plato, Aristoteles menolak ajaran Plato tentang idea. Menurutnya tidak ada idea-idea abadi. Apa yang oleh Plato dipahami sebagai idea, sebenarnya tidak lain adalah bentuk abstrak yang tertanam dalam realitas indrawi. Dari realtas indrawi, akal budi manusia mengabstraksikan paham-paham abstrak yang bersifat umum.
2. Barat
a. Thomas Aquinas (1225-1274)
Thomas Aquinas lahir pada tahun 1225 di Roccasecca. Italia. Ia merupakan filsuf dan teolog Abad pertengahan terbesar, yang pemikirannya sampai sekarang masih sangat berpengaruh. Ia berjasa menjadikan Aristoteles sebagai sang filsuf di Barat sampai abad ke-17. Aquinas menjadikan Aristoteles sebagai dasar pemikirannya, tetapi dengan tidak menyingkirkan gagasan-gagasan dasar santo Augustinus, tokoh yang pemikirannya dalam agama Kristen dianut hampir selama seribu tahun. Aquinas memperlihatkan bahwa atas dasar kerangka pikiran Aristoteles, teologi Agustinus dapat diberi pendasaran yang lebih mantap.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam etika umum ada beberapa pokok yang di bahas yakni, mengenai kebebasan dan tanggung jawab, adanya suara hati, hak dan kewajiban.
Pada kebebasan dan tanggung jawab saling berkaitan erat karena dalam pengertian kebebasan juga termuat pengertian dalam tanggung jawab begitu pula sebaliknya. Seorang manusia ingin melakukan pekerjaan ia memiliki kebebasan, dan bersedia untuk bertanggung jawab melaksanakan tugasnya dan ia menyadari bahwa dirinya yang bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan. Berkat kemampuan akal budinya dapat memilihnya, dan ia dibebani kewajiban moral bertanggung jawab karena manusia juga perlu adanya arahan melalui norma moral dan pemikiran yang kritis secara rasional itu merupakan unsur yang hakiki.
DAFTAR PUSTAKA
Baik Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta) maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) menjelaskan kata “hati nurani” begitu saja sebagai: “Hati yang telah mendapat cahaya Tuhan”.
“There is no place for a moral right unless the moral value of individual freedom is recognized”, ungkapan H.L.A. Hart dalam artikelnya “Are there any natural rights?” dalam J. Waldron (ed), Theories of Rights. (London: Oxford University Press, 1984).
Marshall Glickman, The Mindful Money Guide, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 1999).
S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral:Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif Kategoris, (Yogyakarta: Kanisius, 1991).
[1]Baik Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta) maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) menjelaskan kata “hati nurani” begitu saja sebagai: “Hati yang telah mendapat cahaya Tuhan”.
[2]“There is no place for a moral right unless the moral value of individual freedom is recognized”, ungkapan H.L.A. Hart dalam artikelnya “Are there any natural rights?” dalam J. Waldron (ed), Theories of Rights. (London: Oxford University Press, 1984), hlm. 78.
[3]Marshall Glickman, The Mindful Money Guide, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 1999), hlm. 16.
[4]E. Magnis Suseno (1997), Op.cit. hlm. 29.
[5]S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral:Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif Kategoris, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 50.
[6]Franz Manis-Suseno, op.cit, hlm. 27-45.
0 comments:
Post a Comment