tafsir bi al-ma'tsur wa al-ra'yi

Sunday, December 14, 2008

BAB I
PENDAHULUAN

Para generasi sepeninggal Nabi saw mengelompokkan aliran-aliran tafsir yaitu bil matsur dan tafsir bi al-ra’yi. Tafsir bi al-ma’tsur merupakan tafsir yang menjelaskan ayat-ayat Al-qur’an berdasarkan pendapat-pendapat nabi. Sahabat dan para ulama sedangkan tafsir bi al-ra’yi berdasarkan akal rasio (akal).
Adanya perbedaan pendapat dari para ulama tentang tafsir bi al-ra’yi menyebabkan harusnya seorang muffasir, memenuhi syarat-syarat yang sangat ketat dan hal-hal yang harus di hindari.
Beberapa kitab-kitab tafsir bi al ma’tsur dan bi al-ra’yi yang ada.

BAB II
PEMBAHSAN

Para generasi sepeninggal Nabi saw telah berusaha menafsirkan Al-Quran. Dalam masing-masing periode maupun dalam satu periode itu sendiri mereka telah menggunakan beberapa metode dan cara yang berbeda-beda, sesuai dengan kondisi setempat serta daya serap yang merespon akal mereka dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan atas dasar itulah para ulama mengelompokkan aliran-aliran tafsir, yaitu:

1. Tafsir bi al-Matsur
Tasir bil al-Matsur disebut juga tafsir riwayah atau tafsir manqul yaitu tafsir al-Quran yang dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran berdasarkan atas sumber panafsiran dalam Al-Quran dari riwayat para sahabat dan dari riwayat para tabi’in. sebagaimana definisi oleh Prof. Dr. H. Abdul Djalal H. A dalam manaa’ul Qaththan.
هوالذي يعتمد علي صحيح المنقول بالترتيب القران بالقران او بالسنة لانها جائت مبينة لكتاب الله او بماروي عن الصحابة لانهم اعلم لناس بكتاب الله او بما قال كبار التابعين لا نهم تلقو ذلك غالبا عن الصحابة.
Artinya:
“Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, Al-Quran dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat.”
Tafsir bi al-ma’tsur menurut sebagian pendapat adalah corak tafsir Al-Quran yang dalam operasional penafsirannya mengutip dari ayat-ayat Al-Quran sendiri dan apa-apa yang dikutip dari hadits Nabi, pendapat sahabat dan tabi’in, namun bagi sebagian mufasir lainya tidak memasukkan pendapat tabi’in kepada tafsir bi al-matsur tetapi sebagai tafsir bi al ra’yi. Hal ini mungkin karena pendapat tabi’in sudah banyak tekooptasi akal atau karena mufasirnya dalam menafsirkan al-quran lebih memprioritaskan kaidah-kaidah bahasa tanpa mementingkan aspek riwayah berbeda dengan sahabat yang memiliki integritas dan kemungkinan besar untuk mengetahui fenafsiran suatu ayat berdasarkan petunjuk nabi bahkan penafsiran sahabat yang menyaksikan nuzul wahyu di hukumi marfu Nabi.
Adapun alasan pendapat yang memasukkan pendapat sahabat sebagai tafsir bi al matsur karena di jumpai kitab-kitab tafsir bi al matsur, seperti tafsir al-thabary dan sebagainya tidak mencukupi dengan menyebutkan riwayat-riwayat dari Nabi atau sahabat saja, tetapi perlu memasukkan pendapat sahabat dalam tafsirnya . Di samping itu, para tabi’in banyak yang bergaul dengan sahabat. Mempelajari ilmu-ilmu mereka dan banyak mengetahui hal ihwal al-Quran dari mereka di banding generasi berikutnya. Apalagi, jika penafsiran itu menyangkut persoalan-persoalan metafisika yang berada di luar kemampuan mereka.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tafsir bi al-matsur bersumber pada al-Quran, penjelasan nabi, pendapat sahabat dan tabi’in.
Dari dua penjelasan di atas maka dapat dipertegas lagi, bahwa penafsiran bi al-ma’tsur ialah: Penafsiran ayat-ayat Al-Quran dengan ayat Al-Quran, penafsiran ayat-ayat Al-Quran dengan Hadits, dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran dengan Asar yang datang dari para sahabat.
a. Tafsir al-Wuran dengan al-Quran
Sebagaian ayat al-Quran ada yang menafsirkan ayat al-Quran yang lainnya. Dalam hal ini ada beberapa cara, yaitu adakalanya dalam satu ayat disebutkan dengan ringkas dan ayat yang lain diuraikan, disatu ayat besifat umum dalam ayat lain dikhussukan, ayat yang lain diuraikan, di satu ayat bersifat umum dalam ayat lain dikhususkan, ayat yang lain disebutkan secara mujmal dan lainnya dalam bentuk muqayyad. Kitab yang menggunakan cara ini seperti karya Muhammad Amin Asy-Syanqithi “adwa” al-bayan fi idah Al-Quran bi Al-Quran”.
Berdasarkan kenyataan ini, maka hendaklah seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Quran melihat terlebih dahulu semua ayat Al-quran untuk mengetahui beberapa ayat yang sama-sama menyangkut sebuah topik dan mengkaitkannya antar satu dengan yang lainnya, guna memperoleh keterangan mengenai ayat yang disebutkan dengan ringkas dan terperinci, kejelasan mengenai ayat mujmal, ayat mutlak dan muqayyad. Cara penafsiran semacam ini merupakan cara yang paling baik. Demikian ditegaskan Ibn Kasir.
Contoh tasir al-Quran dengan al-quran:
        
Artinya:
“Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu”(QS. Al-Maidah: 1).
Telah dijelaskan oleh firman Allah dalam surat yang sama:
       •   
Artinya:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah”(QS. Al-Maidah: 3).
b. Tafsir al-Quran dengan hadits
Yang kedua dari tafsir bi al-ma’tsur adalah menafsirkan Al-Quran dengan hadits (sunnah Nabi). Hal yang demikian dilakukan jika tidak bisa lagi dilakukan dengan cara menafsirkan Alquran maka hadits berfungsi sebagai penjelas terhadap hal-hal yang masih bersifat global (bayan al-Taudhi), juga mengkhususkan (takhsis), dan menghapus (nasakh).
Contoh tafsir Al-quran dengan Hadits: firman Allah tentang kewajiban shalat, antara lain:
واقيموا الصلوة.... (البقرة: ٤٣)
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat…” (QS. Al-Baqarah: 43).
Ditafsirkan dengan fi’liyah dan qauliyah, sabda nabi saw:
صلوا كما رايتموني صلي
Artinya:
“Shalatlah kalian semua sebagaimana kalian melihat aku shalat”.
c. Tafsir Al-Quran dengan qaul sahabat
Jika tidak ditemukan penafsiran dengan Al-Quran maupun hadits Nabi, maka hendaknya mufassir kembali kepada keterangan-keterangan yang shahih dan penjelasan-penjelasan sahabat terkemuka, kaerna merekalah yang berkumpul bersama Rasul, mendapatkan pendidikan darinya dan menghayati petunjuk-petunjuknya, mereka pulalah yang menyaksikan turunnya ayat-ayat Al-Quran.
Contoh tafsir sahabi firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 2:
انه كان حوبا كبيرا (النساء: ٢)
Artinya:
“Sesungguhnya tindakan-tindakan ”
Ibnu Abbas telah menafsirkan kata “HUB” dengan “ISMUN KABIR” (dosa besar).
Adapun tafsir yang datang dari tabi’in, para ulama berbeda pendapat, ada yang menggolongkan ke dalam tafsir bi al-ma’tsur dan ada pula yang menggolongkan dalam kelompok tafsir bi ar-ra’yi .
Tafsir bi al-ma’tsur ini mempunyai kedudukan paling tinggi, kecuali tafsir bi al-ma’sur yang datang dari sahabat atau tabi’in, karena sedikit banya telah dipengaruhi oleh berbagai kecenderungan mereka dan sering bercampur dengan cerita-cerita isra’iliyah.
Tempat otoritas yang menjadi sumber penafsiran bi al ma’tsur.
a. Al-quran yang dipandang sebagai penafsiran terbaik terhadap Al-Quran sendiri.
b. Otoritas hadis nabi yang berfungsi sebagai penjelasan (mubayyin) Al-Quran.
c. Otoritas penjelasan sahabat yang dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui Al-Quran.
Keistimewaan tafsir bi al-ma’tsur menurut Quraisy Shihab sebagai berikut:
a. Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Quran
b. Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya
c. Mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya agar tidak terjerumus dalam subjektivitas yang berlebihan.
Menurut Adz-Dzahabi ada beberapa kelemahan Tafsir bi al-Ma’tsur antara lain sebagai berikut:
a. Terjadi pemalsuan (wadh) dalam tafsir.
b. Penghilangan sanad
c. Mufassir terjerumus ke dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pokok al-Quran menjadi kabur.
d. Kronologis asbab an-Nuzul hukum yang di pahami dari uraian (naskh-mansukh) hampir di katakan terabaikan sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun di tengah-tengah masyarakat yang hampa budaya.
e. Masuknya unsur israiliyyat yang di definisikan sebagai unsur Yahudi dan Nasrani ke dalam penafsiran al-Quran.
Tafsir-tafsir bil ma’tsur yang terkenal antara lain: Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma’tsur fit Tafsiri bil Ma’tsur (karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn Makhlad, Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh (karya Abu Ja’far An Nahhas).

2. Tafsir bi al Ra’yi
Menurut Prof. Dr. H. Abdul Djalal H.A dalam manna’ul Qaththan.
هو يعتميد فيه المفسر في بيان المعن علي فهمه الخاص واستنباطه باارأي المجرد وليس عن الفهم الذي يتفق مع روح الشريعة ويستند الي نصزصها.
Artinya:
“Tafsir bi al Ra’yi ialah (tafsir al-Quran) dimana dalam tafsir tersebut mufasir menerangkan makna hanya berlandaskan kepada pemahaman yang khusus dan tidaklah keterangannya itu dari pemahaman yang sesuai dengan jiwa syari’ah dan yang itu berdasarkan nash-nashnya”.
Kata al ra’yi secara etimologis berarti keyakinan, qiyas dan Ijtihad. Jadi, tafsir bi al ra’yi adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara Ijtihad. Yakni rasio yang dijadikan titik tolak penafsiran setelah mufasir terlebih dahulu memahami bahasa Arab dan aspek-aspek dilalah (pembuktian) nya dan mufasari juga menggunakan syair-syair arab jahili sebagai pendukung, di samping memperhatikan asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh, qira’at dan lain-lain.
Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan Ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Quran, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
Karena penafsiran dengan corak ini didasarkan atas hasil pemiiran mufasir sendiri maka sering terjadi perbedaan di antara seorang mufasir dengan mufasir lainnya dibanding tafsir bil al-Matsur, tidak heran kalau ada sebagian ulama yang menolak corak penafsiran al-Ra’yi ini, seperti halnya Ibn Taimiyah. Ini bukan berarti tafsir corak ini tidak mendapat pendapat tempat di kalangan para ulama. Sebagian ulama menerimanya dengan syarat-syarat tertentu dan kaidah-kaidah yang ketat, syarat-syarat yang dimaksud adalah:
a. Menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya.
b. Menguasai ilmu-ilmu Al-Quran
c. Berkaidah yang benar.
d. Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam dan menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan.
Tidak terpenuhinya syarat-syarat ini, maka seorang mufasir akan terjebak pada penyimpangan dalam menafsirkan al-Quran. Di samping itu penerimaan mereka juga didasarkan atas ayat-ayat al-quran sendiri, yang menurut mereka, sering menganjurkan manusia untuk memikirkan dan memahami kandungannya. Ayat-ayat yang mendukungnya, sebagian dikutip al-Shubhi Shalih, di antaranya ayat ke-24 dari surat Muhammad dan ayat ke-29 dari surah shad.
Ada beberapa contoh penafsiran yang keliru dalam penggunaan corak tafsir al-ra’yi, misalnya penafsiran kalam syi’ah terhadap ayat ke-33 dari surat al’waqi’ah:
يمعشر الجن والانس ان استطعتم ان تنفذوا من اقطار السموات والارض فانفذوا لاتنذون الا بسلطان.
Artinya:
“Wahai sekalian jin dan manusia, jika kamu sanggup melintasi penjuru langit dan bumi, maka lakukanlah, niscaya kamu tidak akan mampu melakukannya, kecuali dengan kekuatan” ....
Mereka menduga bahwa ayat di atas mengisyaratkan kemungkinan para scientis memungkinkan ayat itu diberi pengertian demikian, sebab ayat sebelumnya (ayat ke-31) berbunyi:
سنغرع لكم ايها الثقلان
Artinya:
“Kami akan memperhatikan sepenuhnya kepadamu, wahai manusia dan jin”,
Dan ayat sesudahnya (ayat ke-35) berbungyi:
يرسل عليكم شواظ من نار ونخاس فلاتنتصيران
Artinya:
“Kepada kamu (jin dan manusia) dilepaskannya nyala api dan cairan tembaga, maka kamu tidak dapat menyelamatkan diri (darinya)”.
Kedua ayat tersebut berbicara masalah hari kiamat, demikian pula ayat sesudahnya oleh karena itu, penafsiran demikian jelas menyimpang dan terkesan di paksakan.
Tafsir bi ar-ra’yi disebut juga dengan istilah tafsir dirayah dan tafsir ma’qul, yaitu: “Penjelasan-penjelasan yang bersendi pada ijtihad dan akal, berpegang pada kaidah-kaidah bahasa dan adat istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya”. Ali As-Sabuni menjelaskan:
المراد بالرأي هنا الاجتهاد وعليه فالتفسير بالرأي معناه تفسير القران بالاجتهاد بعد معرفة المفسر لكلام العرب واسلوبهم في الخطاب و معرفته للالفاظ العربية ووجوه دلالتها.
Artinya:
“Yang dimaksud dengan ar-ra’yu di sini adalah ijtihad, karena itu tafsir secara ra’yu berarti tafsir al-Quran berdasarkan ijtihad setelah mufassir mengetahui kata-kata dan uslub orang Arab dalam berbicara, serta menetahui lafaz-lafaz bahasa Arab dan pengertiannya”.
Jadi maksud ra’yu di sini bukan semata-mata pendapat, atau menafsirkan Al-Quran berdasarkan kata hati dan hawa nafsu seseorang. Al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya telah menuliskan:
فان من قال فيه بما سنح في وهمه وخطر علي باله من غير استدلا ل عليه بالاصول فهو مخطئ
Artinya:
“Siapa yang menafsirkan Al-Quran berdasarkan imajinasinya tanpa berdasarkan kaidah-kaidah, maka ia adalah orang yang keliru”.
Untuk menghindari kesesatan penafsiran Al-Quran, maka ijtihadnya harus disandarkan pada petunjuk-petunjuk yang benar. Berhubungan dengan hal ini, maka senada dengan imam Az-Zarkasyi, imam As-Suyuti menegaskan bahwa prinsip-prinsip yang harus dipegangi dalam menafsirkan Al-Quran bi ar-Ra’yi itu ada empat, yaitu:
a. Dikutif dari Rasul dengan menghindari Hadits-hadits dha’if dan maudhu.
b. Mengambil dari pendapat para sahabat dalam hal tafsir karena kedudukan-nya adalah marfu.
c. Mengambil berdasarkan bahasa Arab secara mutlak, karena Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab.
d. Mengambil berdasarkan ucapan yang popular di kalangan orang Arab serta sesuai dengan ketentuannya syara.
Para ulama telah berselisih pendapat mengenai kedudukan tafsir bi ar ra’yi, sebahagian membolehkan dengan cara ini, sedang yang lainnya tidak tidak memperbolehkannya. Masing-masing pihak mempunyai argumentasi sendiri-sendiri, namun bila ditinjau dengan teliti dan cermat ternyata perselisihan itu tidak menyangkut masalah prinsip, hanya menyangkut cara pengungkapannya saja. Oleh karena itu kedua pandangan tersebut bisa ditarik dan dipadukan, dimana tafsir bi ar-ra’yi itu ada dua macam, yaitu:
a. Tafsir bi ar-ra’yi yang terpuji (al-Mahmud), yaitu: Penafsiran dengan ijtihad yang menggunakan kaidah dan persyaratan, sehingga jauh untuk menyimpang.
b. Tafsir bi ar-ra’yi yang tercela (al-mazmum), yaitu: apabila penafsirannya tidak memenuhi beberpa persyaratan, sehingga ia berada dalam kesesatan dan kejahilan.
Sejak awal digagas, legalitas tafsir bi ar-Rayi telah menjadi bahan perdebatan dari berbagai kalangan. Argumentasi kelompok penentang:
o Penafsiran melalui perangkat ra’yu tidak akan membuahkan interpretasi maksimal (al-mutayaqqan ishabatuh), maksimal hanya sampai taraf akurasi kesimpulan-kesimpulan yang tidak lebih dari sekedar persangkaan tanpa dasar ilmu yang jelas dan tegas, di mana hal ini dilarang oleh Allah I. Dalam firman-Nya:
قل انما حرم ربي الفواحش ما ظهرمنها وما بطن والاثم والبغي بغير الحق وأن تقولوا علي الله ما لاتعلمون.
Artinya
“Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melenggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”.
o Penafsiran al-Quran sudah diturunkan oleh Allah I. Dalam al-Quran sendiri atau lewat hadis-hadis nabi sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya.
وانزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم زلعلهم يتفكرون
Artinya:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
o Disamping itu, penafsiran dengan ra’yu juga dilarang, sabda nabi dalam HR. Turmudzi.
ومن قال في القرأن برأية فايتبوأ مقعده من النار
Artinya:
“Dan barangsiapa berbicara tentang al-Quran dengan akalnya, maka pergi dan bersemayamlah di neraka”.
o Adanya riwayat dari para sahabat dan tabi’in yang bersikap membatasi diri dalam menafsirkan al-Quran dengan logikanya, karena khawatir akan mengantarkan pada penafsiran yang tidak dikehendaki Allah swt.

3. Sumber Penafsiran Tafsir Bir Ra’yi
a. Riwayat-riwayat shahih yang dikutip dari Nabi dengan tetap mengedepankan sikap selektif terhadap hadits-hadits yang lemah dan palsu. Jika terdapat suatu riwayat yang shohih, maka tidak diperbolehkan menafsirkan dengan metode ra’yu.
b. Mengambil pendapat sahabat. Sebab ijtihad penafsiran yang dilakukan para sahabat setingkat dengan hadits marfu.
c. Makna asli dari bahasa arab, mengingat al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab dengan catatan mufassir harus tetap memperhatikan makna mayoritas yang terlaku dikalangan bangsa arab.
d. Tuntutan Kandungan makna dari susunan kalimat sesuai dengan prinsi-prinsip syariat.

4. Hal-hal yang Harus Dihindari Oleh Seorang Mufassir bi Ar-Ra’yi.
Seorang mufasir agar dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran tidak sampai tergelincir dalam jurang kesesatan sehingga akan masuk dalam kategori tafsir bi ar-ra’yi yang tertolak maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebagai berikut:
o Mengemukkan maksud dari firman Allah tanpa di bekali pengetahuan kaidah-kaidah bahasa serta ilmu syariat secara lengkap dan memadai.
o Mengarahkan kandungan makna al-Quran berdasarkan madzhab yang rusak dan sesat.
o Menetapkan dengan tegas bahwa maksud Allah swt. Demikian tanpa ada tendensi dalilnya.
o Menafsirkan al-Quran hanya untuk menuruti hawa nafsu atau sangkaan-sangkaan yang dianggap benar.

5. Metodologi Tafsir Bi Ar-Ra’yi.
Sebelum seorang mufassir terjun dalam menafsiri al-Quran bi ar-ra’yi ia harus mengetahui dahulu tahapan yang harus ditempuh dalam menafsirkan al-Quran bi ar-ra’yi supaya hasil pentafsirannya – kalau tidak dikatakan melenceng dari ketentuan syariat – paling tidak mendekati kebenaran. Maka tidak diketemukan, maka beralih pada as-sunnah dan atsarusshohabah sebagai tahapan berikutnya. Dalam hal tidak adanya tiga sumber penafsiran di atas, barulah bagi mufassir boleh menafsirkan al-Qur’an bi ar-ra’yi, dengan berpedoman pada kaidah-kaidah sebagaimana berikut:
a. Memulai alur pembicaraan sesuai dengan susunan kalimat dari sisi I’rab dan balaghah.
b. Mendahulukan makna hakiki dari makna majazinya.
c. Memperhatikan sebab-sebab diturunkannya suatu ayat (asbabunnuzul).
d. Memperhatikan korelasi antara ayat pertama dan setelahnya.
e. Memperhatikan tujuan dasar dari runtutan suatu ayat.
f. Tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan, sejarah manusia secara umum ataupun khusus dikomunitas bangsa Arab.
g. Dalam menjelaskan makna dan istimbat hukum tetap berjalan di atas prinsip-prinsip kaidah bahasa, syariat dan ilmu pengetahuan.
h. Mengikuti aturan-aturan tarjih tatkala menemukan beberapa keberagaman makna.
Beberapa tafsir bi ar-ra’yi yang terkenal antara lain: Tafsir al-Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al-Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi), Tafsir Al-Baidhawi, Tafsir Al-Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir An-Nasafy, Tafsir Al-Khatib, Tafsir Al-Khazin.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tafsir terbagi menjadi 2 yaitu:
1. Tafsir bi al ma’tsur yang di sebut juga tafsir riwayah atau tafsir manqul. Yaitu tafsir yang berusaha menjelaskan ayat-ayat alquran berdasarkan pendapat-pendapat Nabi, sahabat dan ulama.
2. Tafsir bi al-ra’yi disebut juga tafsir dirayah yaitu tafsir yang menjelaskan ayat-ayat alquran berdasarkan akal (rasio) intelektual.
Penafsiran bi al ma’tsur yaitu dengan
1. Penafsiran al-Quran dengan al-Quran.
2. Penafsiran al-Quran dengan hadits
3. Penafsiran al-Quran dengan qaul sahabat.
syarat-syarat seorang mufasir tafsir bi al ra’yi.
1. Menguasai bahasa arab dan cabang-cabangnya
2. Menguasai ilmu-ilmu Alquran
3. Berakidah yang benar
4. Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam.
Kitab-kitab tafsir bi al matsur diantaranya:
Tafsir ibnu Jarir, tafsir Abu Laits as Samarkandy, tafsir ad Daratul Ma’tsur fit Tafsiri bil ma’tsur, tafsir Ibnu Katsir, tasfir al-Baghawi dan tafsir Baqy ibn Makhlad, asbabun nuzul dan an-Nasih wa mansukh.
Kitab-ktiab tafsir bi al ra’yi
Tafsir al Jalalain, tafsir al-Baidhawi, tafsir al-Fakhrur Razy, tafsir Abu Suud, tafsir an- Nasafy, tasfir al Khatib, tafsir al-Khazin

DAFTAR PUSTAKA


Syadah Ahmad, Rofi’i Ahmad, Ulumul Qur’an II, Bandung, CV Pustaka Setia, 2000
Anwar Rosihan, Ilmu Tafsir, Bandung, CV Pustaka Setia, 2000
Ahmad Musthafa Hadna, Problematika Menafsirkan Al-Qur’an, Semarang, Dina Utama, 1993.
Supiana, Karman, Ulumul Qur’an, Pustaka Islamika, Bandung, 2002.
Wap.islami.com

0 comments: