ETIKA KEGURUAN

Tuesday, October 6, 2009

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Etika Sebagai ilmu adalah cabang dari ilmu filsafat. Etika sebagai ilmu menjadi sangat luas jangkauannya, karena etiap segi kehidupan manusia selalua memuat kandungan etika. Kandungan etika itu terjalin satu dengan yang lain yang cukup erat karena memiliki dasar-dasar pemikiran yang pada hakikatnya serupa.
B. Ruang Lingkup
Etika yang pada dasarnya menganalisa tingkah laku, moral, adapt, kebiasaan, cara berpikir, yang kemudian mendorong seseorang bersikap dan bertindak etis, adalah merupakan hal yang terpenting untuk dipelajari dan diinternalisasikan.
diketahui bahwa etika itu menyelidiki segala perbuatan manusia kemudian menetapkan hukumnya baik atau buruk, akan tetapi bukanlah semua perbuatan itu dapat diberi hokum seperti ini, karena perbuatan manusia itu ada yang timbul tiada dengan kehendak, seperti bernapas, detak jantung dan memicingkan mata dengan tiba-tiba waktu berpindah dari gelap ke cahaya, maka inilah inilah bukan persoalan pokok etika, dan tidak dapat memberi hokum “baik atau buruk”, dan bagi yang menjalankan tiada dapat kita sebut orang ang baik atau orang yang buruk, dan tidak dapat dituntut. Dan ada pula perbuatan yang timbul karena kehendak dan setelah dipikir masak-masak akan buah dan akibatnya, sebagaimana orang yang melihat pendirian rumah sakit yang dapat memberi manfaat kepada penduduknya dan meringankan penderitaan sesame, kemudian ia lalu bertindak mendirikan rumah sakit itu.
C. Tujuan
Singkatnya bahwa pokok persoalan etika ialah segala perbuatan yang timbul dari orang yang melakukan dengan ikhtiar dan sengaja, dan ia mengetahui melakukannya apa yang ia perbuat. Inilah yang dapat kita beri hukum “baik dan buruk”. Demuikian juga segala perbuatan yang timbul tiada dengan kehendak, tetapi dapat di ikhtiarkan penjagaan sewaktu sadar.



BAB II
PEMBAHASAN
RUANG LINGKUP ETIKA

Ruang lingkup etika diantaranya terdiri dari kebebasan dan tanggung jawab, hati nurani, hak dan kewajiban, Hedonisme, Eudonisme, Utilirarisme, dan tentang Deomtologi. Dengan rincian sebagai berikut :
A. KEBEBASAN

Di zaman baru ini perdebatan masalah kebebasan dan keterpaksaan tersebut muncul kembali. Sebagian ahli filsafat seperti Spinoza, Hucs dan Malebrache berpendapat bahwa manusia melakukan sesuatu karena terpaksa. Sementara sebagaian ahli filsafat lainnya berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menetapkan perbuatannya.
Kebebasan sebagaimana yang dikemukakan Ahmad Charris Zubair adalah terjadi apabila kemungkina-kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh suatu paksaan dari atau keterkaitan kepada orang lain. Paham ini disebut bebas negative, karena hamya dikatakan bebas dari apa, tetapi tidak ditentukan bebas untuk apa. Seseorang disebut bebas apabila: (1) Dapat menentukan senri tujuan-tujuannya dan apa yang dilakukannnya, (2) Dapat memilih antara kemungkinan-kemungkinan yang tersedia baginya, dan (3) Tidak dipaksa atau terikat untuk membuat sesuatu yang tidak akan dipilihnya sendiri ataupun dicegah dari berbuat apa yang dipilihnya sendiri, oleh kehendak orang lain, Negara atau kekuasaan apapun

Selain itu kebebasan meliputi segala macam kegiatan manusia, yaitu kegiatan yang disadari, disengaja dan dilakukan demi suatu tujuan yang selanjutnya disebut tindakan. Namun bersamaan dengan itu manusia juga memiliki keterbatasan atau dipaksa menerima apa adanya. Misalnya keterbatasan dalam menentukan jenis kelaminnya, namun keterbatasan yang demikian itu sifatnya fisik, dan tidak membatasi kebebasan yang sifatnya rohaniah. Dengan demikian tidak mengurangi kebebasan kita.
Dilihat dari segi sifatnya, kebebasan itu dapat dibagi tiga. Pertama kebebasan jasmaniah, yaitu kebebasan dalam menggerakkan dan mempergunakan anggota badan yang kita milki. Dan jika dijumpai adanya batasan-batasan jangkauan yang dapat dilakukan oleh anggota badan kita, halitu tidak mengurangi kebebasan, melainkan menentukan sifat dari kebebasan itu. Manusia misalnya berjenis kelamin dan berkumis, tetapi tidak dapat terbang, semua itu tidak disebut melanggar kebebasan jasmaniah kita, karena kemampuan terbang berada di luar kapasitas manusia. Yang dapat dikatakan melanggar kebebasan jasmaniah hanyalah paksaan, yaitu pembatasan oleh seorang atau lembaga masyarakat berdasarkan kekuatan jasmaniah yang ada padanya.
Kedua, kebebasan kenendak (rohaniah), yaitu kebebasan untuk menghendaki sesuatu. Jangkauan kebebasan kehendak adalah sejauh jangkauan kemungkinan untuk berpikir, karena manusia dapat memikirkan apa saja dan dapat menghendaki apa saja. Kebebasan kehendak berbeda dengan kebebasan jasmaniah. Kebebasan kehendak tidak dapat secara langsung dibatasi dari luar. Orang tidak dapat dipaksakan menghendaki sesuatu, sekalipun jasmaninya dikurung.
Ketiga, kebebasan moral yang dalam arti luas berarrti tidak adanya macam-macam ancaman, tekanan, larangan dan desakan yang tidak sampai berupa paksaan fisik. Dan dalam arti sempit berarti tidak adanya kewajiban, yaitu kebebasan berbuat apabila terdapat kemungkinan-kemugkinan untuk bertindak.
Kebebasan pada tahap selanjutnya mengandung kemampuan khusus manusiawi untuk bertindak, yaitu dengan menentukan sendiri apa yang mau dibuat berhadapan dengan macam-macam unsure. Manusia bebas berarrti manusia yang dapat menentukan sendiri tindakannya.
Selanjutnya manusia dalam bertindak dipengaruhi oleh lingkungan luar, tetapi dapat juga mengambil sikap dan menentukan dirinya sendiri. Manusia tidak begitu saja dicetak oleh dunia luar dan dorongan-dorongannya didalam, melainkan ia membust dirinya sendiri.berhadapan dengan unsur-unsur tersbut. Dengan demikan kebebasan ternyata merupakan tanda dan ungkapan martabat manusia, sebagai satu-satunya makhluk yang tidak hanya ditentukan dan digerakkan, melainkan ia membuat dirinya sendiri. Apa saja yang dilakukan tidak atas kesadaran dan keputusannya sendiri dianggap hal yang tidak wajar.
Paham adanya kebebasan pada manusia ini sejalan pula dengan isyarat yang diberikan al-qur’an. Seperti:
“Katakanlah kebenaran dating dari tuhanmu. Siapa yang mau percaya ia, siapa yang mau janganlah ia percaya.” (QS. al-Kahfi, 18:29).
“Buatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat. (QS. Fushilat, 41:40).
“Apabila bencana menimpa diri kamu sedang kamu telah menimpakan bencana yang ganda (pada kaum musyrik di Badar) kamu bertanya: Dari mana datangnya ini? Jawabnya dari kamu sendiri sesungguhnya Allah berkuasa atsa segala sesuatu. (QS. Ali’Imran, 3:164).
Ayat-ayat tersebut dengan jelas memberi peluang kepada manusia untuk secara bebas menentukan tindakannya berdasarkan kemauannya sendiri.

B. TANGGUNG JAWAB
Selanjutnya kebebasan sebagaimana disebutkan diatas itu ditantang jika berhadapan dengan kewajiban moral. Sikap moral yang dewasa adalah sikap bertanggung jawab. Tak mungkin ada tanggung jawab tanda kebebasan. Disinilah letak hubungan kebebasan dan tanggung jawab.
Dalam kerangka tanggung jawab ini, kebebasan mengandung arti: (1) Kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri, (2) Kemampuan untuk bertanggung jawab , (3) Kedwasaan manusia dan (4) Keseluruhan kondisi yang memungkinkan manusia melakukan tujuan hidupnya. Tingkah laku yang didasarkan pada sikap, sistem nilai dan pola piker berarrti tingkah laku yang didasarkan pada kesadaran, bukan inisiatif, melainkan terdapar pada makna kebebasan manusia yang merupakan obyek material etika.
Sejalan dengan adanya kebebasan atau kesengajaan, orang harus bertanggung jawab terhadap tindakannya yang disengaja itu. Ini berarrti bahwa ia harus dapat mengatakan dengan jujur kepada kata hatinya, bahwa tindakannya itu esuai dengan penerangan dan tuntutan kata hati itu. Jadi bahwa dia berbuat baik dan tidak berbuat jahat, setidak-tidaknya menurut keyakinanya.
Dengan demikian tanggung jawab dalam kerangka akhlak adalah keyakinan bahwa tindakannya itu baik. Ini pun sesuai dengan ungkapan Indonesia, yaitu kalau dikatakan bahwa orang yang melakukan kekacaun sebagai orang yang tidak bertanggung jawab, maka yang dimaksud adalah bahwa perbuatan yang dilakukan orang tersebut secara moral tidak dapat dipertanggung jawabkan, mengingat perbuatan tersebut tidak dapat diterima oleh masyarakat.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa tanggung jawab erat kaitannya dengan kesengajaan atau perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran. Orang yang melakukan perbuatan tapi dalamkeadaan tidur atau mabuk dan semacamnya tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan, karena perbuatan tersebut dikukan bukan karena pilihan akalnya yang sehat. Selainitu tanggung jawab juga erat hubungannya dengan hati nurani atau intuisi yang ada dalam diri manusia yang selalu menyuarakan kebenaran. Seseorang baru dapat bertanggungjawab apabila secara intuisi perbuatannya tersebut dapat dipertanggung jawabkan pada hati nurani dan kepada masyarakat pada umumnya.


C. HATI NURANI

Hati nurani atau intuisi merupakan tempat dimana manusia dapat memperoleh saluaran ilham dari Tuhan. Hati nurani ini diyakini selalu cendrung kepada kebaikan dan tidak suka kepada keburukan. Atas dasar inilah muncul aliran atau paham intuisme, yaitu paham yang mengatakan bahwa perbuatan yang baik adalaha perbuatan yang sesuai dengan kata hati, sedangkan pebuatan yan buruk adalah perbuatan yang tidak sejalan dengan kata hati atau hati nurani.
Karenaa sifatnya yang demikian itu, maka hati nurani harus menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam melaksanakan kebebasan yang ada dalam diri manusia, yaitu kebebasan yang tidak menyalahi atau membelenggu hati nuraninya, karena kebebasan yang demikian itu pada hakikatnya adalah kebebasan yang merugikan secara moral.
Dari pehaman kebebasan yang demikian itu, maka timbullah tanggung jawab, yaitu bahwa kebebasan yang diperbuat itu secara hati nuranu dan moral harus dapat dipertangungjawabkan. Disinilah letak hubungan antara kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani.
Pada uraian terdahulu telah disinggung bahwa suatu perbuatan baru dikategorekan sebagai perbuatan akhlaki atau perbuatan yang dapat dinilai berahlak, apabila perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan sendiri, bukan paksaan dan bukan pula dibuat-buat dan dilkukan tulus ikhlas. Untuk mewujudkan perbuatan akhlak yang cirri-cirinya demikian baru bisa terjadi apabila orang yang melakukannya memilki kebebasan atau kehendak yang timbul dari dalam dirinya sendiri. Dengan demikian perbuatan yang beraklak itu adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja secara bebas. Di sinilah letak hubungan antara kebebasan dan perbuatan akhlak.
Selanjutnya perbuatan akhlak juga harus dilakukan atas kemauan sendiri dan bukan paksaan. Perbuatan yang seperti inilah yang dapat dimintakan pertanggungjawabannya dari orang yang melakukannya. Disinilah letak hubungan antara tanggung jawab dengan akhlak. Pada perbuatan itu akhlak juga harus muncul dari keikhlasan hati yang melakukannya, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada hati sanubari, maka hubungan akhlak dengan kata hati menjadi demikan penting.
Dengan demikian, masalah kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani adalah merupakan faktor dominant yang menentukan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan akhlaki. Disinilah letak hubungan fungsional antara kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani dengan akhlak. Karenanya dalam membahas akhlak seseorang tidak dapat meninggalkan pembahasan mengenai kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani.
D. HAK DAN KEWAJIBAN
Hak menurut bahasa menetapkan keharusan sedangkan menurut istilah ialah sesuatu yang tidak sah bagi orang lain untuk membantah atau melanggar sesuatu yang menjadi haknya.
Wajib dalam istilah ilmu tauhid berarti sesuatu yang menurut akal pikiran yang benar pasti ada mustahil tidak ada. Wajib menurut ilmu fiqih berarti sesuatu yang mendapat pahala dengan mengerjakanya dan berdosa meninggalkannya. Wajib menurut ilmu akhlak berarti sesuatu yang diperintahkan oleh perasaan suci hati nurani untuk berbuat, sebab menurut hati nurani dan undang-undang akhlak perbuatan itu baik dan benar.
Sesuatu yang pasti bagi manusia ialah hak, dan apa saja yang dibebankan kepadanya disebut wajib, keduanya berhubungan antara satu dengan lainnya; maka tiap-tiap ahk adalah wajib bahkan dua kewajiban; pertama wajib bagi manusia supaya menghormati hak orang lain dan tidak mengganggunya, dan kedua wajib bagi yang mempunyai hak agar mempergunakannya hak untuk kebaikan dirinya dan kebaikan manusia. Kewajiban yang kedua ini pada umumnya kurang mendapat perhatian, karena pandangan mereka ditujukan kepada wajib menurut undang-undang dan bukan wajib menurut etika (akhlak).
Undang-undang menjalankan kewajiban yang pertama pada umumnya dan memaksakan orang supaya menghormati hak seseorang, kalau tidak tentu akan dikenakan hukuman; dan undang-undang tidak mencampuri kewajiban yang kedua pada umumnya, bahkan membiarkan tanfidznya kepada yang mempunyai hak atau kepada pendapat umum.
Contohnya orang yang memiliki barang,maka wajib bagi orang-orang jangan sampai mengganggu miliknya dengan paksa, atau pencurian; kalau toh melakukanya tentu undang-undang dapat mencampurinya dan mengambil tindakan untuk mengembalikan barang itu kepada pemiliknya atau mengganti harganya. Dan wajib bagi pemilik agar mempergunakan barangnya dalam kepentingan orang banyak, akan tetapi bila ia tidak menjalankanya, undang-undang tidak mencampuri urusanya, hanya etika (akhlak) lah yang memcampuri urusannya. Kalau undang-undang berkata: “bagi pemilik dapat mempergunakan miliknya menurut kemauanya” tetapi etika berkata: “pemilik tidak dapat mempergunakan haknya kecuali untuk kebaikan orang banyak.
Disini ia diwajibkan melihat kepentingan umum, karena hak-hak yang ia miliki semata-mata pemberian dari masyarakat. Kalau ia hidup sendiri tentu tidak mempunyai hak-hak tersebut, dan jika masyarakat memberi hak-hak dan mengikatnya agar mempergunakan dalam kepentingan umum tentu ia harus terikat pula dan ini adalah kewajiban baginya.
Adapun hak-hak yang penting bagi setiap individu diantaranya adalah hak hidup, hak kemerdekaan, hak memiliki, hak memperoleh pndidikan, dan lain-lainnya.
Hak pada garis besarnya dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu :
1. Hak tabi’i yaitu hak manusia yang berlaku menurut fitrahnya, yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Karena itu kewajiban manusia lainnya untuk memelihara dan menghormati hidup manusia yang lainnya.
2. Hak yang dibrikan oleh undang-undang, yaitu hak yang dijamin berdasarkan peraturan yang dibuat oleh manusia. Hak ini ditentukan oleh pembuat undang-undang dan peraturan-peraturan yang harus dianut oleh orang-orang yang tundauk dibawah kekuasaannya.
Ada pun macam-macam kewajiban diantarnya adalah ; kewajiban terhadap diri sendiri,kewajiban manusia kepada Allah,kewajiban kepada ibu dan ayah, kewajiban kepada guru, kewajiban kepada istri, kewajiban kepada anak, kewajiban kepada tetangga, kewajiban kepada famili, kewajiban kepada teman, kewajiban terhadap orang lainnya.
E. HEDONISME
Kata dasarnya adalah hedone yang berarti kesenangan. Teori kesenangan ini adalah filsapat moral yang tertua dan pertama dikupas. Awalnya adalah pertanyaan Aristippos kepada gurunya Socrates: sebenarnya apa tujuan akhir kehidupan manusia itu? Dijawab oleh Socrates: mencari kesenangan. Jawaban ini direnungi oleh arestipos yang kemudian melahirkan teori hedonisme itu
Aristippos mula-mula meneorikan bahwa kesenangan itu berlingkup kenikmatan badaniah sperti bebas dari rasa sakit, kenyang, bahagia, dan seterusnya. Akan tetapi dia membatasi kesenangan iu bersifat actual saja, saat ini.bagi dia masa lalu dan yang akan datang tidak masuk hitungan. Tetapi dia juga mengenali bahwa kesenangan diri itu harus dapat dikendalikan, karena dapat bersinggungan dengan kepentingan orang lain. Tetapi pengendalian yang ia maksutkan masih diartikan menguasai diri sesuai kehendak nafsu.
Epikuros, ahli filsapat selanjutnya mengembangkan pemikiran Aristippos iu dengan pemikiran-pemikiran yang lebih halus. Dia berpendapat bahwa, tubuh manusia adalah asas dan akar permasalahan hedonisme. Walaupun kesenangan badan adalah penting,dia melihat adanya unsure-unsur yang bersifat melebihi tahap badan. Disini kesenangan yang berwujud ketenangan jiwa itu juga harus ada. Kesenangan rohani ini yang menyimpulkan pendapat bahwa kesenangan itu tidak berlingkup actual saja, tetapi juga masa lalu dan masa mendatang. Karena dia merambah bidang kejiwaan, maka dia menjadi penganjur hidup sederhana yang diwujudkan dengan teorinya yaitu Ataraxia atau ketenangan jiwa, adalah keadaan jiwa yang seimbang dan tidak terganggu hal-hal yang lain. Dia menyebutkan inilah tujuan terpenting kehidupan manusia.
F. EUDEMONISME
Kata asalnya adalah Eudemonia yang berarti kebahagiaan. Pencetusnya adalah Aristoteles yang ditulis dalam bukunya: ehika Nekomakhilia. Dikatakan olehnya bahwa; setiap tindakan manusia iu selalu mengandung tujuan yang mengarah pada 2 hal; Tujuan untuk menemukan tujuan selanjutnya dan tujuan demi dirinya sendiri. Maka untuk dapat menemukan cara bertindak atau perilaku yang terbaik dapat dikaji dari tujuan diri sendiri yang ingin dicapainya. Kalau ingin cepat kaya misalnya; maka perilakunya ada hal-hal yang kurang positip. Dari pendapatnya itu, maka teori dasar moralitasnya adalah; Bertindaklah sedemikian rupa hingga mencapai kebahagiaan.
Untuk itu Aristoteles mendalami tentang apa yang sebenarnya dapat membahagiakan manusia?Dia sampai pada kesimpulan bahwa ternyata kebahagiaan itu justru terletak pada; tindakan dan kegiatan untuk merealisasikan kesanggupan-kesanggupan manusia.
Artinya, manusia baik dalam arti moral (dan karenanya menjadi bahagia) apabila perbuatan-perbuatan moralnya selalu dapat menentukan pilihan rasional yang tepat, sehingga perbuatannya merupakan moral unggulan dalam penalaran intelektual, kebahagiaan sedemikian memang disertai kesenangan. Tetapi kesenangan itu bukan merupakan inti kebahagian.
G. UTILITARISME
Kata asalnya adalah bahasa latin utilis yang berarti ; berguna-aliran ini berasal dari tradisi pemikiran di inggris (United Kingdom) yang dimotori oleh filosof skotlandia, David Home, kemudian disempurnakan oleh filosuf inggris Jeremy Bentham dengan bukunya Introduction to they Princeples of Moral and legislation (1789). Utilitarisme ini pada awalnya berupa pemikiran yang ditujukan sebagai dasar etis untuk pembaharuan hukum inggris khususnya hukum pidana.
Utilitarisme ini sebenarnya merupakan pengembangan hedonisme klasik, yang terbukti dari tujuannya ; mengukur baik buruk norma moral dari segi hasil tindakan atau akibat yang terjadi dari suatu tindakan demi kepentingan semua orang (bukan diri sendiri). Karenanya faham ini disebut juga sebagai teori teleologis universalis.
Utilitarisme bertitik berat pada dialog dan analisa tenteng mengapa sesuatu harus/bisa terjadi, mengapa sesuatu boleh dan tidak boleh dilakukan. Karena utilitarisme mempertimbangkan masalah buruk dan baik, faham ini dapat diartikan pula sebagai suatu teori nilai. Karenanya segala macam teori dapat diadakan pendekatan dengan utilitarisme. Tujuannya adalah untuk melakukan maksimalisasi dari hasil-hasil yang bernilai baik.
Bagaimana hasil buruk-baik dapa diperhitungkan? Usaha-usaha kearah ini memang sudah dilakukan oleh Bentham sendiri yang disempurnakan oleh John Stuartmill dalam bukunya Utilirianis yang hasilnya belum memuaskan banyak pihak. Namun dalam kehidupan keseharian faham ini telah mendatangkan banyak manfaat, dalam arti banyak permasalahan (walaupun tidak semua permasalahan) dapat terjawab dengan baik. Keputusan akhir banyak ditentukan oleh situasi dan internalisasi norma moral dari individu yang menghadapinya. Karenanya,utilitarisme juga dikenal 2 macam yaitu Utilitarisme tindakan dan Utilitarisme peraturan.
Utiliarisme tindakan dapat diarikan;suau tindakan yang menghasilkan kelebihan nilai baik disbanding nilai buruk dalam kehidupan bermasyarakaat. Adapun Utilitarisme peraturan adalah suatu tindakan yang didasarkan pada aturan/kaidah yang berlaku, yang menghasilkan kelebihan nilai baik disbanding nilai buruk dalam kehidupan bermasyarakat.

H. DEONTOLOGISME
Asal katanya adalah deon (kata Yunani) yang berarti kewajiban atau apa yang harus dilakukan. Hedonisme dan Eundemonisme oleh para cendikiawan dianggap sebagai teori-teori yang bersifat egois.
Kaum deontology intinya berpendapat; bahwa suatu tindakan dinilai bukan dari hasil atau akibatnya, tetapi dinilai dari sifat-sifat tertentu atau tindakan serta peraturan yang mengatur itu sendiri. Artinya tindakan itu dibolehkan atau tidak dibolehkan dan tidak perlu melihat akibat-akibat yang ditimbulkannya.
Sebagai contoh ekstrim dari pendapat para deontolog dalam praktik diberikan ilustrasi; jujur adalah norma moral yang harus dilakukan dan tidak perlu harus dipertimbangkan dari akibat-akibat yang mungkin ditimbulkannya. Begitu juga sikap-sikap seperti; tidak jujur, tidak setia dan sebagainya? Dengan alasan apapun, selalu hal itu tidak dapat dibenarkan. Kalau ada orang yang memperoleh keuntungan, kenikmatan, kesenangan atas perilaku tidak jujur, tidak setia dan lainnya; itu pun tetap tidak boleh dilakukan.
Filsuf besar jerman Immanuel Kant adalah pemikir yang mengetengahkan deontologi ini. Dikatakannya; yang bias disebut baik itu, sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik, kekayaan, kecerdasaan, dan lainnya adalah baik, apabila digunakan dengan itikad (niat) baik. Sebaliknya akan sama sekali merusak kalau disadari dengan kehendak yang buruk.



BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Secara garis besar etika mencakup beberapa tma yang penting sera sistematika yang berpengaruh. Diantaranya adalah kebebasan dan tanggung jawab, hati nurani, hak dan kewajiban, dan beberapa aliran dalam etika seperti; Hedonisme, Eudonisme, Utilitarisme, serta Deontologi.
Kebebasan adalah suatu keadaan untuk berbuat tanpa dibatasi oleh paksaan dari orang lain serta tanpa keterkaitan kepada orang lain. Dilihat dari segi sifatnya, kebebasan itu dapat dibagi tiga yaitu :
Pertama, kebebasan jasmaniah, yaitu kebebasan dalam bergerak dan mempergunakan anggota badan yang kita milki. Kedua, kebebasan rohaniah, yaitu kebebasan untuk menginginkan sesuatu. Ketiga, kebebasan moral, yaitu kebebasan berbuat apabila terdapat kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak.
Selanjutnya kebebasan itu akan berhadapan dengaan kewajiban moral yaitu tanggung jawab atas perbuatan (kebebasan) kita. Tanggung jawab adalah suatu sikap moral mengakui suatu perbuatan dan menanggung segala resekonya.
Sedangkan hati nurani merupakan tempat sluran ilham dari tuhan yang selalu menyuarakan kepada kebaikan dan menentang segala keburukan, hati nurani selalu cendrung kepada kebaikan, oleh karena sifatnya cendrung kepada keaikan itulah hati nurani merupakan suatu dasar pertimbangan bagi kebebasan yang terdapat pada diri manusia agar kebebasan itu tidak membelenggu dan bertentangan dengan hati nurani.
SARAN

Dengan selesainya makalah ini semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Namun, masih banyak kekurangan di dalamnya maupun waktu persentasi nanti kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Untuk itulah saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami perlukan.
Demikian atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih……


DAFTAR PUSTAKA



1.Amin Ahmad. 1975. Ilmu Akhlak. Jakarta : Bulan Bintang.

2. Kunarto. 1996. Etika Kepolisian. Jakarta : PT Cipta Manunggal.

3.Nata Abuddin.Drs.1997. AkhlakTasawuf. Jakarta:PT Raja Grapindo Persada.

4.Zubair Ahmad Charris. 1990. Kuliah Etika. Jakarta: Rajawali pers.

0 comments: