KEBEBASAN, TANGGUNG JAWAB DAN HATI NURANI

Tuesday, October 6, 2009

BAB I

PENDAHULUAN

Persoalan kebebasan hati nurani sebagai norma moral subjektif bukanlah sebuah persoalan yang mudah diselesaikan dengan begitu saja dalam kehidupan manusia, karena hati nurani berkaitan erat dengan pribadi manusia. Bahkan, para pakar moral mengatakan bahwa pembicaraan mengenai hati nurani sebagai norma moral subjektif merupakan suatu fakta yang sangat rumit karena apa yang disebut sebagai norma moral subjektif tidak lepas dari pribadi atau subjek yang mengambil keputusan. Dapat dikatakan bahwa hati nurani sebagai norma moral subyektif memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, terutama ketika manusia berhadapan dengan suatu persoalan yang membutuhkan keputusan dari manusia itu sendiri. Hati nurani sebagai jalan keluar yang paling akhir dalam mengambil keputusan menjadikan manusia otoritas eksklusif atas apa yang diperintahkan oleh hati nuraninya. Dengan demikian, setiap orang sebagai subjek yang mengambil keputusan bertanggungjawab atas tindakan dan perbuatannya dengan segala konsekuensi dari apa yang dia putuskan. Pengambilan keputusan oleh setiap orang, dapat kita lihat dalam pengalaman hidup sehari-hari.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebebasan

Di antara masalah yang menjadi bahan perdebatan sengit dari sejak dahulu hingga sekarang adalah masalah kebebasan atau kemerdekaan menyalurkan kehendak dan kemauan. Yakni adalah kehendak kita merdeka dalam memilih perbuatan yang kita buat? Adakah orang itu dapat memilih di antara berbuat atau tidak, dan dapatkah ia membentuk perbuatannya menurut kemauannya? Adakah kita merdeka dalam mengikuti apa yang diperintahkan etika, atau kita dapat mengikuti dan dapat menolak?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut di kalangan para ahli teologi terbagi kepada dua kelompok. Pertama kelompok yang berpendapat bahwa manusia merniliki kehendak bebas dan merdeka untuk melakukan perbuatannya menurut kemauannya sendiri. la makan,minum,belajar,berjalan dan seterusnya adalah atas kemau­an sendiri. Kedua kelompok yang berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kebebasan untuk melaksanakan perbuatannya. Mereka dibatasi dan ditentukan oleh Tuhan. Jika manusia makan, minum, berjalan, bekerja dan seterusnya, pada hakikatnya meng­ikuti kehendak Tuhan. Dalam pandangan golongan yang kedua ini manusia tak ubahnya seperti wayang yang mengikuti sepenuhnya kemauan dalang.[1]

Di zaman baru ini perdebatan masalah kebebasan dan keter­paksaan tersebut muncul kembali. Sebagian ahli filsafat seperti Spinoza, Hucs dan Malebrache berpendapat bahwa manusia mela­kukan sesuatu karena terpaksa. Sementara sebagian ahli filsafat lainnya berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menetapkan perbuatannya.[2] Manakah di antara dua pendapat yang paling benar bukan hak kita untuk menilainya, karena ma­sing-masing memiliki argumentasi yang sama-sama kuat dan meyakinkan. Kecenderungan masing-masing pembacalah yang mana di antara dua aliran itu yang lebih diterima akal pikirannya.

Dalam kaitan dengan keperluan kajian akhlak, tampaknya pendapat yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan melakukan perbuatannyalah yang akan diikuti di sini. Sementara golongan yang mengatakan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan juga akan diikuti di sini dengan menempatkannya secara proporsional. Yakni dalam hal bagaimanakah manusia itu bebas, dan dalam hal bagaimana pula manusia itu terbatas. Dengan cara demikian kita mencoba berbuat adil terhadap kedua kelompok yang berbeda pendapat itu.

Kebebasan sebagaimana dikemukakan Ahmad Charris Zubair adalah terjadi apabila kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh suatu paksaan dari atau keterikatan kepada orang lain. Paham ini disebut bebas negatif, karena hanya dikatakan bebas dari apa, tetapi tidak ditentukan bebas untuk apa. Seseorang disebut bebas apabila: (1) Dapat menentukan sendiri tujuan-tuju­annya dan apa yang dilakukannya, (2) Dapat memilih antara kemungkinan-kemungkinan yang tersedia baginya, dan (3) Tidak dipaksa atau terikat untuk membuat sesuatu yang tidak akan dipi­lihnya sendiri ataupun dicegah dari berbuat apa yang dipilihnya sendiri, oleh kehendak orang lain, negara atau kekuasaan apa pun.[3]

Selain itu kebebasan itu meliputi segala macam kegiatan manusia, yaitu kegiatan yang disadari, disengaja dan dilakukan demi suatu tujuan yang selanjutnya disebut tindakan. Namun ber­samaan dengan itu manusia juga memiliki keterbatasan atau dipaksa menerima apa adanya. Misalnya keterbatasan dalam me­nentukan jenis kelaminnya, keterbatasan kesukuan kita, keterbatas­an asal keturunan kita, bentuk tubuh kita, dan sebagainya. Namun keterbatasan yang demikian itu sifatnya fisik, dan tidak membatasi kebebasan yang sifatnya rohaniah. Dengan demikian keterbatas ­keterbatasan tersebut tidak mengurangi kebebasan kita.

Dilihat dari segi sifatnya, kebebasan itu dapat dibagi tiga. Pertama kebebasan jasmaniah, yaitu kebebasan dalam menggerak­kan dan mempergunakan anggota badan yang kita miliki. Dan jika dijumpai adanya batas-batas jangkauan yang dapat di lakukan oleh anggota badan kita, hal itu tidak mengurangi kebebasan, melainkan menentukan sifat dari kebebasan itu. Manusia misalnya berjenis kelamin dan berkumis, tetapi tidak dapat terbang, semua itu tidak disebut melanggar kebebasan jasmaniah kita, karena kemampuan terbang berada di luar kapasitas kodrati yang dimiliki manusia. Yang dapat dikatakan melanggar kebebasan jasmaniah hanyalah paksaan, yaitu pembatasan oleh seorang atau lembaga masyarakat berdasarkan kekuatan jasmaniah yang ada padanya.

Kedua, kebebasan kehendak (rohaniah), yaitu kebebasan un­tuk menghendaki sesuatu. Jangkauan kebebasan kehendak adalah sejauh jangkauan kemungkinan untuk berpikir, karena manusia dapat memikirkan apa saja dan dapat menghendaki apa saja. Ke­bebasan kehendak berbeda dengan kebebasan jasmaniah. Kebe­basan kehendak tidak dapat secara, langsung dibatasi dari luar. Orang tidak dapat dipaksakan menghendaki sesuatu, sekalipun jasmaniahnya dikurung.

Ketiga, kebebasan moral yang dalam arti luas berarti tidak adanya macarn-macam ancaman, tekanan, larangan dan lain desak­an yang tidak sampai berupa paksaan fisik. Dan dalam arti sempit berarti tidak adanya kewajiban, yaitu kebebasan berbuat apabila terdapat kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak.

Kebebasan pada tahap selanjutnya mengandung kemampuan khusus manusiawi untuk bertindak, yaitu dengan menentukan sendiri apa yang mau dibuat berhadapan dengan macam-macam unsur. Manusia bebas berarti manusia yang dapat menentukan sendiri tindakannya.

Selanjutnya manusia dalam bertindak dipengaruhi oleh lingkungan luar, tetapi dapat juga mengambilsikap dan menentukan dirinya sendiri. Manusia tidak begitu saja dicetak oleh dunia luar dan dorongan-dorongannya di dalam, melainkan ia membuat dirinya sendiri berhadapan dengan unsur-unsur tersebut. Dengan demikian kebebasan ternyata merupakan tanda dan ungkapan martabat manusia, sebagai satu-satunya makhluk yang tidak hanya ditentukan dan digerakkan, melainkan yang dapat menentukan dunianya dan dirinya sendiri. Apa saja yang dilakukan tidak atas kesadaran dan keputusannya sendiri dianggap hal yang tidak wajar .[4]

Paham adanya kebebasan pada manusia ini sejalan pula de­ngan isyarat yang diberikan al-Qur'an. Perhatikan beberapa ayat di bawah ini:

È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù

Artinya:

Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”(QS. Al-Kahfi: 29)

4 (#qè=uHùå$# $tB ôMçGø¤Ï© ( ¼çm¯RÎ) $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? îŽÅÁt/ ÇÍÉÈ

Artinya: “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Fushilat, 40)

!$£Js9urr& Nä3÷Gu;»|¹r& ×pt7ŠÅÁB ôs% Läêö6|¹r& $pköŽn=÷VÏiB ÷Läêù=è% 4¯Tr& #x»yd ( ö@è% uqèd ô`ÏB ÏYÏã öNä3Å¡àÿRr& 3 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ÖƒÏs% ÇÊÏÎÈ

Artinya:

Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Ali Imran: 165)

Ayat-ayat tersebut dengan jelas memberi peluang kepada manusia untuk secara bebas menentukan tindakannya berdasarkan kemauannya sendiri.

B. Tanggung Jawab

Selanjutnya kebebasan sebagaimana disebutkan di atas itu di tantang jika berhadapan dengan kewajiban moral. Sikap moral yang dewasa adalah sikap bertanggung jawab. Tak mungkin ada tanggung jawab tanda ada kebebasan. Di sinilah letak hubungan kebebasan dan tanggung jawab.

Dalam kerangka tanggung jawab ini, kebebasan mengandung arti: (1) Kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri, (2) Kemampuan untuk bertanggung jawab, (3) Kedewasaan manusia, dan (4) Keseluruhan kondisi yang memungkinkan manusia melakukan tujuan hidupnya. Tingkah laku yang didasarkan pada sikap, sistem nilai dan pola pikir berarti tingkah laku berdasarkan kesadaran, bukan instintif, melainkan terdapat makna kebebasan manusia yang merupakan obyek materia etika.

Sejalan dengan adanya kebebasan atau kesengajaan, orang harus bertanggung jawab terhadap tindakannya yang disengaja itu. Ini berarti bahwa ia harus dapat mengatakan dengan jujur ke­pada kata hatinya, bahwa tindakannya itu sesuai dengan penerangan dan tuntutan kata hati itu. Jadi bahwa dia berbuat baik dan tidak berbuat jahat, setidak-tidaknya menurut keyakinannya.

Dengan demikian tanggung jawab dalam kerangka akhlak adalah keyakinan bahwa tindakannya itu baik. Ini pun sesuai dengan ungkapan Indonesia, yaitu kalau dikatakan bahwa orang yang melakukan kekacauan sebagai orang yang tidak bertanggung jawab, maka yang dimaksud adalah bahwa perbuatan yang dilakukan orang tersebut secara moral tidak dapat dipertanggung­jawabkan, mengingat perbuatan tersebut tidak dapat diterima oleh masyarakat.

Uraian tersebut menunjukkan bahwa tanggung jawab erat kaitannya dengan kesengajaan atau perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran. Orang yang melakukan perbuatan tapi dalam keadaan tidur atau mabuk dan semacamnya tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan, karena perbuatan tersebut dilakukan bukan karena pilihan akalnya yang sehat. Selain itu tanggung jawab juga erat hubungannya dengan hati nurani atau intuisi yang ada dalam diri manusia yang selalu menyuarakan kebenaran. Seseorang baru dapat disebut bertang­gungjawab apabila secara intuisi perbuatannya itu dapat dipertang­gungjawabkan pada hati nurani dan kepada masyarakat pada umumnya.

C. Hati Nurani

Hati nurani atau intuisi merupakan tempat di mana manusia dapat memperoleh saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani ini diya­kini selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka kepada keburukan. Atas dasar inilah muncul aliran atau paham intuisisme, yaitu paham yang mengatakan bahwa perbuatan yang baik adalah perbuatan yang sesuai dengan kata hati, sedangkan perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang tidak sejalan dengan kata hati atau hati nurani, sebagaimana hal ini telah diuraikan panjang lebar di atas.

Karena sifatnya yang demikian itu, maka hati nurani harus menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam melaksanakan kebebasan yang ada dalam diri manusia, yaitu kebebasan yang tidak menyalahi atau membelenggu hati nuraninya, karena kebebasan yang demikian itu pada hakikatnya adalah kebebasan yang merugikan secara moral.

Dari pemahaman kebebasan yang demikian itu, maka timbul­lah tanggung jawab, yaitu bahwa kebebasan yang diperbuat itu secara hati nurani dan moral harus dapat dipertanggungjawabkan. Di sinilah letak hubungan antara kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani.

D. Hubungan Kebebasan, Tanggung Jawab Dan Hati Nurani Dengan Akhlak

Pada uraian terdahulu telah disinggung bahwa suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai perbuatan akhlaki atau perbuatan yang dapat dinilai berakhlak, apabila perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan sendiri, bukan paksaan dan bukan pula dibuat-buat dan dilakukan dengan tulus ikhlas. Untuk mewujudkan perbuatan akhlak yang ciri-cirinya demikian baru bisa terjadi apabila orang yang melakukannya memiliki kebebasan atau kehendak yang timbul dari dalam dirinya sendiri. Dengan demikian perbuatan yang berakhlak itu adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja secara bebas. Di sinilah letak hubungan antara kebebasan dan perbuatan akhlak.

Selanjutnya perbuatan akhlak juga harus dilakukan atas ke­mauan sendiri dan bukan paksaan. Perbuatan yang seperti inilah yang dapat dimintakan pertanggungjawabnya dari orang yang melakukannya. Di sinilah letak hubungan antara tanggung jawab dengan akhlak.

Dalam pada itu perbuatan akhlak juga harus muncul dari ke­ikhlasan hati yang melakukannya, dan dapat dipertanggungjawab­kan kepada hati sanubari, maka hubungan akhlak dengan kata hati menjadi demikian penting.

Dengan demikian, masalah kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani adalah merupakan faktor dominan yang menentukan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan akhlaki. Di sinilah letak hubungan fungsional antara kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani dengan akhlak. Karenanya dalam membahas akhlak seseorang tidak dapat meninggalkan pembahasan mengenai kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani.


BAB III

PENUTUP

1. Kebebasan

Kebebasan erat kaitannya dengan kesusilaan. Maka tidak ada fungsinya memuji atau mencela seseorang atas suatu perbuatan apabila dia dalam suatu perbuatan "tidak bebas". Dalam keadaan tertekan (tidak bebas), manusia tidak mungkin akan menjadi makhluk yang merdeka dan karena kebebasan inilah manusia dapat melakukan kesalahan.

Kesalahan yang paling berat dari manusia adalah menyerahkan kebebasannya. Bentuk paling buruk dari kesalahan adalah membuatkan diri untuk terperangkap dalam keburukan. Perbuatan seseorang akan bermakna apabila yang bersangkutan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, maka kesimpulanya adalah orang yang dapat dimintai tanggung jawab adalah orang yang memiliki kebebasan.

Manusia dikatakan bebas apabila ia terikat pada norma-norma. Apabila ia tidak mengakui hal itu maka ia tetap tidak bebas, karena dikuasai kecendrungan dan senantiasa dipengaruhi dan terikat pada hokum yang lebih tinggi dan tidak sempurna.

Norma tidak memaksa manusia, sebaliknya, norma memberikan kebebasan kepadanya. Manusia bebas untuk menerima atau tidak menerima norma. Meskipun demikian, kebebasan merupakan kenyataan yang begitu pentingnya, sehingga tegak runtuhnya kesusilaan tergantung pada pengakuan atau pengingkaran atas kebebasan.

2. Tanggung Jawab

Sikap moral yang dewasa adalah sikap yang bertanggung jawab. Tak mungkin ada tanggung jawab tanpa ada kebebasan. Disinilah letak hubungan tanggung jawab dan kebebasan. Tingkah laku yang didasarkan pada sikap, sistem nilai dan pola pikir berarti tingkah laku berdasarkan kesadaran, bukan instingtif.

Dengan demikian tanggung jawab dalam kerangka akhlak adalah keyakinan bahwa tindakannya itu baik. Dari patokan ini maka menjadi jelaslah misalnya, orang yang membuat anarki disebut orang yang tidak bertanggung jawab.

3. Hati Nurari

Hati nurani atau intuisi merupakan tempat dimana manusia dapat memperoleh saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani ini diyakini selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka kepada keburukan.

Karena sifatnya yang demikian maka hati nurani harus menjadi salah satu pertimbangan dalam melaksanakan kebebasan yang ada dalam diri manusia, yaitu kebebasan yang tidak membelenggu hati nuraninya karena hakikatnya hal itu ialah merugikan secara moral.

4. Hubungan Kebebasan, Tanggung Jawab, Hati Nurani Dan Akhlak

Perbuatan berakhlak adalah perbuatan yang dilakukan secara sengaja dan bebas. Disinilah letak hubungan akhlak dan kebebasan. Akhlak juga harus dilakukan atas kemauan sendiri dan bukan paksaan. Perbuatan seperti ini disebut perbuatan yang bertanggung jawab. Disinilah letak hubungan akhlak dan tanggung jawab. Terakhir, Perbuatan akhlak juga harus muncul dari keikhlasan hati yag melakukanya dan dapat dipertaggung awabkan kepada hati sanubari, maka disinilah hubungan akhlak dan hati nurani.


DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun, Teologi (Ilmu Kalam), Jakarta, UI Press, 1972.

Amin, Ahmad, Ilmu Akhlak, Jakarta, Bulan Bintang, 1975.

Zubair, Ahmad Charris, Kuliah Etika, Jakarta, Rajawali Pers, 1990.



[1]Lihat Harun Nasution, Teologi (Ilmu Kalam), Jakarta: UI Press, 1972), hlm. 87.

[2]Ahmad Amin, Ilmu Akhlak, (terj) Farid Ma’ruf, dari judul asli al-Akhla q, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), Cet. I, hlm. 53.

[3]Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), Cet. I, hlm. 39-40.

[4]Ibid. hlm. 43.

0 comments: