MUDRAJ

Tuesday, December 1, 2009

A. Pembahasan

Hadits mudraj terbagi ke dalam beberapa bagian. Pertama, kemudrajan yang terdapat pada Hadits Nabi, dimana rawinya menuturkan beberapa kalimat di sela-sela Hadits itu. Beberapa kalimat tambahan itu bisa diucapkan oleh rawi itu sendiri, bisa juga diucapkan oleh orang lain. Sedang para rawi sesudahnya menuturkan kalimat-kalimat itu bersambung dalam satu rangkaian redaksi Hadits. Sehingga kalimat-kalimat itu diduga merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari redaksi Hadits.

Kedua, seorang rawi yang mempunyai dua matan dan dua sanad Hadits tapi ia hana meriwayatkan salah satunya. Ketiga, seorang rawi yang menerima Hadits dari kelompok rawi diatasnya yang berbeda-beda dalam sanad atau matannya, ia lalu meriwayatkannya dengan menggabungkan periwayatan orang-orang itu kedalam satu periwayatan. Tiga bentuk Hadits mudraj di atas semuanya diharamkan. Menurut al-Khattib menulis kitab yang lengkap dan berbobot mengnai tema ini.

Definisi Mudraj menurut bahasa yaitu (merupakan isim mafùl dari kata adrajtu) yang berarti aku memasukkan sesuatu pada sesuatu yang lain. Dan menurut istilah yaitu Hadits yang dirubah menurut sanadnya atau matannya dimasuki sesuatu yang bukan menjadi bagiannya, tanpa ada pemisah.

1. Jenis-enis Hadits mudraj

Hadits mudraj itu terdiri dari dua macam : mudraj isnad dan mudraj matan.

a. Mudraj isnad

1. Definisinya : Hadits yang dirubah susunan sanadnya

2. Bentuknya : Seorang rawi menyusun suatu sanad, terhadapnya dilontarkan sanad lain. Lalu si rawi mengucapkan kata-kata yang merupakan pernyataanya sendiri tetapi sebagian orang yang mendengarnya menduga bahwa pernyataannya itu merupakan matamn Hadits. Kemudian hal itu diriwatkan dalam bentuk seprti itu darinya.

3. Contohnya : Kisah Tsabit bin Musa az-Zahid riwayatnya

من

Barangsiapa memperbanyak shalatnya di malam hari, maka pada siang hari wajahnya menjadi indah[1].

Kisahnya bahwa Tsabit bin Musa masuk ke (ruangan) Syarik bin Abdullah al-Qadli, sementara Syarik tengah mendiktekan sesuatu, dan berkata: “Telah bercerita kepada kami al-Amsyi dari Abu Sufyan dari Jabir, yang berkata: "Rasulullah SAW. …..” lalu ia terdiam agar si penulis mencatatnya[2]. Tatkala ia melihat Tsabit, ia berkata: “Barangsiapa memperbanyak shalatnya di malam hari, maka pada siang hari wajahnya menjadi indah”. Hal itu di tujukan kepada Tsabit karena kezuhudan dan sikap wara`nya, namun Tsabit mengira bahwa hal itu merupakan matan Hadits. Lalu ia pun menceritakannnya.

b. Mudraj matan

1. Definisinya: Hadits yang matannya dimasuki sesuatu yang bukan menjadi bagiannya, tanpa pemisah.

2. Jenisnya ada tiga macam

a. Idrajnya dilakukan pada bagian awal (matan) Hadits. Kasus sangat sedikit, karena yang terbanyak justru di bagian tengah.

b. idrajnya dilakukan pada bagian tengah Hadits, ini lebih sedikit dari yang pertama.

c. idraj dilakukan pada bagian Hadits, ini yang paling banyak.

3. CONTOH

a. Contoh Idraj pada bagian awal Hadits: Penyebabnya karena si rawi mengucapkan suatu perkataan yang di maksudkan untuk menunjukkan (menerangkan) Hadits tersebut, tetapi ucapannya itu tanpa ada (tanda) pemisah. Lalu orang mendengarnya mengira hal itu termasuk bagian dari Hadits. Contohnya adalah Hadits yang diriwayatkan al-Khattib melalui riwayat Abu Quthn dan Syababah –beliau memisahkan keduanya- dari Syu`bah dari Muhammad bin Ziyad dari Abu Huraira, yang berkata: `Rasulullah SAW bersabda:

Sempurnakanlah wudlu kalian, karena kecelakaan (berupa api neraka) bagi tumit kalian (yang tidak terkena air wudlu_pen).

Kalimat `sempurnakanlah wudlu kalian`merupakan mudraj, yaitu perkataan Abu Hurairah yang tersusupkan. Hal ini telah dijelaskan oleh Imam Bukhari dari Adam dari Syu`bah dari Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah, yang berkata:

“Sempurnakanlah wudlu kalian, karena Aba al-Qasim SAW yang bersabda: kecelakaan (berupa api neraka) bagi tumit kalian (yang tidak terkena air wudlu-pen).

Al-Khattib berkata: Abu Qathn dan Syababah bersikap ragu dalam meriwayatkan kepadanya dari Syu`bah, ia (al-Khattib) menggabungkan riwayat seperti riwayat (tentang) Adam[3].

b. Contoh idraj di pertengahan Hadits: yaitu Hadits Aisyah tentang permulaan wahyu:

Nabi SAW melakukan tahannuts (menyepi) di gua hhira –beliau beribadah- beberapa malam[4].

Disini terdapat perkataan –wa huwa taàbbud (beliau beribadah). Ini merupakan mudraj dari perkataanya az-Zuhri.

c. Contoh idraj pada bagian akhir Hadits: Hadits Abu Hurairah secara marfu`:

Bagi hamba sahaya yang dimiliki ada dua pahala. Demi dzat yang jiwaku berada ditangannya, seandainya jihad fi sabilillah, menunaikan haji dan berbuat baik terhadap ibuku itu tidak dilakukan, aku lebih menyukai mayi dan aku dalam kondisi sebagai hamba sahya[5].

Perkataan: “Demi dzat yang jiwaku berada ditangannya…, merupakan ucapan Abu Hurairah. Sebab tidak mungkin hal itu berasal dari ucapan Nabi SAW, karena tidak mungkin beliau berandai-andai sebagai budak, lagi pula ibunyasudah tidak ada meskipun beliau berbuat baik kepadanya.

4. TUNTUTAN IDRAJ

Idraj dilakukan karena adanya tuntutan yang bermacam-macam, yang terpopuler, diantaranya:

a. Untuk menjelaskan hukum Syara`.

b. Melakukan Istinbath hukum syar`ì dari Hadits tersebut sebelum Hadits sempurna (diucapkan atau ditulis).

c. untuk menjelaskan lafadz-lafadz yang asing dalam Hadits.

5. Bagaimana mengetahui Hadits mudraj

Hadits mudraj diketahui melalui beberapa hal:

a. Terdapat Hadits (yang terpisah) dalam riwayat lain.

b. Adanya penetapan terhadap Hadits tersebut di bagian iamam dan pakar.

c. Pengkuan rawi itu sendiri bahwa dia telah menyusupkan perkataan.

d. Kemustahilan bahwa hal itumerupakan ucapan Rasulullah SAW.

6. HUKUM HADITS MUDRAJ

Menurut kesepakatan ulama`dari kalangan ahli Hadits, Fuqaha`, dan selain mereka, idraj itu tidak boleh dilakukan. Pengecualiannya hanya untuk menafsirkan lafadz-lafadz Hadits yang asing, hal ini tidak dilarang. Karena itu az-Zuhri dan imam-imam lain telah melakukanya.

7. Al-Fashlu li al-Washli al-Mudrajfi an-Naqli, karya al-Khattib al-Baghdadi.

Taqrib al-Manhajbi Tartib al-Mudraj, karya Ibnu Hajar.

B. ZIYADAAT ATS-TSIQAAT

1. Maksud dari Ziyadaat ats-tsiqat

Ziyadaat merupakan bentuk jama`dari kata ziyadah, sedangkan tsiqaat merupakan jama`dari kata tsiqah. Tsiqah itu adalah orang yang adil lagi dlabith. Yang dimaksud dari ziyadaat ats-tsiqah adalah lafadz tambahan sebagian (rawi) tsiqah yang kita lihat dalam riwayat Hadits dari perawi tsiqah lainnya.

2. Tokoh yang member perhatian

Tambahan-tambahan oleh sebagian rawi tsiqah yang ada pada sebagian hadits hamper terlupakan oleh oara ulama. Diantara mereka ada yang mencermatinya, mengumpulkan dan memahaminya, yang popular antara lain:

a. Abu Bakar Abdullah binMuhammad bin Zayad an-Naisaburi.

b. Abu Nuàim al-Jurjani.

Abu al-Walid Hassan bin Muhammad al-Qursyi.

3. Tempat terjadinya

a. Pada Matan: berupa tambahan kata atau kalimat.

b. Pada sanad: berupa memarfu`kan yang mauquf, atau menyambung yang mursal.

4. Hukum tambahan pada matan

Para ulama` telah berselisih pendapat mengenai hukum tambahan pada matan:

a. Diantara mereka ada yang menerimanya secara mutlak.

b. Ada juga yang menolaknya secara mutlak.

c. Tetapi adajuga yang menolak tambahan dari awal Hadits yang meriwayatkannya dari rawi yang pertama tanpa disertai tambahan, namun menerimanya jika dari yang selainnya[6].

Ibnu Shalah telah membagi Ziyadaat ats-tsiqat sesuai dengan diterima atau ditolak menjadi tiga macam. Pembagiannya termasuk bagus, dan hal itu disepakati oleh Nawawi maupun lainnya itu:

a. Tambahan yang tdak saling meniadakan dari para perawi tsiqah atau yang lebih tsiqah. Hukumnya dapat diterima, sebab hal itu sama seperti Hadits yang diriwayatkan sejumlah rawi tsiqah dari rawi-rawi tsiqah.

b. Tambahan yang saling meniadakan dari para perawi tsiqah atau yang lebih tsiqah. Hukumnya ditolak, sama sseperti Hadits syadz.

c. Tambahan yang didalamnya terdapat jenis yang saling meniadakan dari para perawi tsiqah atau yang lebih tsiqah. Secara ringkas jenis yang saling meniadakan itu ada dua:

1. Taqyid dari yang mutlak.

2. Takhsis yang umum.

Terhadap pembagian Ibnu Shalah tidak berkomentar mengenai hukumnya; tetapi an-Nabawi berkata: “Yang benar, bagian terakhir dapat diterima[7].

5. Contoh tambahan pada matan

a. Contoh tambahan yang tidak saling meniadakan; Hadits yang diriwayatkan Muslim[8] melalui jalur Àli bin Mushir dari al-Àmsyidari Abu Razin dan Abu Shaleh, dari Aabu Hurairah ra, berupa tambahan kata falyuriqhu pada Hadits mengenai jilatan anjing. Seluruh penghafal dari kawan-kawannya A`masy tidak menyabutkan hal itu, mereka meriwayatkan:

Äpabila seekor anjing menjilat bejana kalian, maka basuhlah sebanyak enam kali”.

Tambahan semacam ini sama meperti khabar yang menyendiri dari Ali bin Mushir, sedangkan ia seorang tsiqah. Karena itu tambahan ini dapat diterima.

b. Contoh tambahan yang saling meniadakan: Tambahan yaum àrafah pada Hadits:

“Hai Arafah, hari nahar, dan hari-hari tasyriq merupakan hari raya kita para pemeluk islam; itu merupakan hari-hari untuk makan dan minum”.

Hadits dari seluruh jalur tidak menyertakan tambahan kata tadi. Namun kata tersebut datang dari Musa bin Ali dari Rabah dari bapaknya dari Ùqbah bin Amir, dan Haditsnya dikeluarkan oleh Tirmidzi, Abu Dawud dan lainnya.

c. Contoh tambahan dari salah satu jenis yang saling meniadakan: Hadits yang diriwayatkan Muslim melalui jalur Abi Malik al-Asyjaì dari Ribì dari Hudzaifah, yang berkata: “Rasulullah SAW bersabda:

“…..Dan telah dijadikan bagi kita, bumi itu sebagai masjid dan telah dijadikan bagi kita, debu itu suci”.

Riwayat Abu Malik yang disertai tambahan kata turbatuha menyendiri, dan hal itu tidak pernah disebut-sebut oleh perawi lain. Mereka meriwayatkan Hadits dari redaksi:

“Dan telah dijadikan bagi kita, bumi itu sebagai masjid dan suci”.

6. Hukum tambahan pada sanad

Mengenai tambahan pada sanad, dalam hal ini harus ditempatkan dalam dua hal pnting, yang banyak sekali terjadi, keduanya saling bertentangan baik antara yang bersambung dengan yang mursal, ataupun antara yang marfu`dengan yang mauquf. Sedangkan bentuk tambahan lainnya pada sanad, para ulama`telah mengkhususkan pengkajiannya, seperti dalam topik al-Mazid fi al-Muttashil al-Asanid.

Para ulama`berbeda pendapat mengenai diterima atau ditolaknya hukum tambahan pada sanad menjadi empat kategori:

a. hukumnya bagi riwayat yang bersambung (muttashil) atau marfu`, maka tambahannya dapat diterima. Ini merupakan pendapat jumhur Fuqaha`dan ulama`ushul.

b. Hukum bagi riwayat yang mursaldan mauquf, maka tambahannya ditolak. Ini merupakan pendapat banyak ahli Hadits.

c. Hukumnya berdasarkan pada jumlah (banyaknya). Ini merupakan pendapat sebagian ahli Hadits.

d. Hukumnya berdasarkan hafalan. Ini merupakan pendapat sebagian ahli Hadits.

Contohnya adalah Hadits:

“Tidak ada nikah (melainkan)ada wali”.

Diriwayatkan oleh Yunus bin Abi Ishak as-Sabiì dan anaknya adalah bangsa Israel, dan Qais bin Rabi`dari Abi Ishak dengan status musnad muttashil. Dan riwayat sufyan at-Tsauri dan Syu`bah bin al-Hajjaj dari dari abi Ishak secara mursal[9]


[1]. Dikeluarkan Ibnu Majah, Bab Quyamul al-Lail, juz 1/422, no Hadits 1333

[2] . Penulis (al-Mustamil) adalah orang yang mencatatsi penutur Hadits, jika jumlah para pelajar Hadits di suatu majlis berjumlah banyak.

[3]. Tadrib ar-Rawi, juz 1/270.

[4]. Bukhari, Bab tentang permulaan wahyu.

[5]. Bukhari, Bab tentang al-Ìtqi

[6]. Ùlum al-Hadits, hal.77. dan kitab al-Kifayah, hal.424 dan seterusnya.

[7] At-Taqrib dan at-Tadrib, juz 1/247. Syafiì dan Malik menerima tambahan jenis ini, sedangkan Hanafi menolaknya.

[8] Lihat dalam Muslim dan Syarah Nawawi, juz III/182 dan seterusnya.

[9] Mengenai contoh-contoh perselisihan para perawi mengenai Hadits yang mursal dan muttashil bisa dilihat pada kitab al-Kifayah, hal.409 dan seterusnya.

PERMASALAHAN HADITS HASAN DAN SHAHIH

A. Pengertian, Pembagian, dan Contoh Hadits Shahih

Pengertian hadits shahih adalah sebuah hadits yang sanadnya bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rowi yang adil dan yang dhabit dari rawi yang lain(juga) adil dan dhobit sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat).

Dari pengertian diatas bahwa kriteria hadits shahih ada lima syarat:

a). muttasil sanadnya (ittisal as-sanad) artinya setiap hadits yang yang diriwayatkan oleh rowi tali –temali, sehingga sambung dalam penerimaan haditsnya kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, akan mengecualikan hadits yang munqoti', muaddlol, mua’llaq dan mursal.

b). Diriwayatkan oleh rawi yang ‘adil, artinya adil dalam periwayatannya[1] dan sifat yang ada pada seseorang yang senantiasa mendorong untuk bertakwa dan menjaga kredibilitasnya. Ini terkait dengan dimensi moral spiritual.

c). Dhabit adalah kuat ingatan, dhobit ini ada dua macam, yakni:

Ø dhobithush shadri

Ø dhobithul kitab

d). Hadits yang diriwayatkan bukan termasuk kategori hadits yang syadz

e). Hadits yang diriwayatkan harus terbebas dari illat (cacat) yang dapat menyebabkan kualitas hadits menjadi turun.

Hadits shahih terbagi menjadi dua;

a). Shohih lidzatihi

Shohih lidzatihi adalah sebuah hadits yang mencakup semua syarat hadits shahih dan tingkatan rowi berada pada tingkatan pertama. Sehingga apabila sebuah hadits telah ditelaah dan telah memenuhi syarat di atas, akan tetapi tingkatan perowi hadits berada pada tingkatan kedua maka hadits tersebut dinamakan hadits Hasan.

b) Shohih lighoirihi

Hadits ini dinamakan lighoirihi karena keshahihan hadits disebabkan oleh sesuatu yang lain. Dalam artian hadits yang tidak sampai pada pemenuhan syarat-syarat yang paling tinggi. Yakni dlobid seorang rowi tidak pada tingkatan pertama. Hadits jenis ini merupakan hadits hasan yang mempunyai beberapa penguat. Artinya kekurangan yang dimiliki oleh hadits ini dapat ditutupi dengan adanya bantuan hadits, dengan teks yang sama, yang diriwayatkan melalui jalur lain.[2]

Menurut Ibnu Sholah memberi alasan karena pada Muhammad bin Amr bin al-Qomah termasuk orang yang lemah dalam hafalan,.kekuatan, ingatan dan juga kecerdasanya, Akan tetapi hadits ini dikuatkan dengan jalur lain, yaitu oleh al A'raj bin Humuz dan sa'id al Maqbari maka bias dikategorikan shohih lighirihi.

Cara mengukur keshohihan hadits..

Untuk mengetahui suatu hadits itu apakah shahih atau tidak, kita bisa melihat dari beberapa syarat yang telah tercantum dalam sub yang menerangkan hadits shahih. Apabila dalam syarat-syarat yang ada pada hadits shahih tidak terpenuhi, maka secara otomatis tingkat hadits itu akan turun dengan sendirinya. Semisal kita meneliti sebuah hadits, kemudian kita temukan salah satu dari perawi hadits tersebut dalam kualitas intelektualnya tidak sempurna. Dalam artian tingkat dlabidnya berada pada tingkat kedua (lihat tingkatan dlabid pada bab hadits shahih), maka dengan sendirinya hadits itu masuk dalam kategori hadits shahih lighoirihi. Dan apabila ada sebuah hadits yang setelah kita teliti kita tidak menemukan satu kelemahanpun dan tingkatan para perawi hadits juga menempati posisi yang pertama , maka hadits itu dikatakan sebagai hadits shahih lidatihi.

Untuk hadits shahih lighoirihi kita bisa merujuk pada ketentuan-ketentuan yang termuat dalam pengertian dan kriteria-kriteria hadits hasan lidatihi. Apabila hadits itu terdapat beberapa jalur maka hadist itu akan naik derajatnya menjadi hadits shahih lighoirihi. Dengan kata lain kita dapat menyimpulkan apabila ada hadits hasan akan tetapi hadits itu diriwayatkan oleh beberapa rawi dan melalui beberapa jalur, maka dapat kita katakan hadits tersebut adalah hadits shahih lighoirihi.

Adapun derajat hadist hasan sama dengan hadist shahih dalam segi kehujjahannya, sekalipun dari sisi kekuatannya berada di bawah hadist shahih. Oleh karena itu mayoritas Fuqaha, Muhaditsin dan Ushuliyyin (ahli Ushul) berpendapat bahwa hadist hasan tetap dijadikan sebagai hujjah dan boleh mengamalkannya.

Pendapat berbeda datang dari kelompok ulama Al-Mutasyaddidun (garis keras) yang menyatakan bahwa hadist hasan tidak ada, serta tidak dapat dijadikan hujjah. Sementara ulama Al-Mutasahilun (moderat) seperti al-Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah dll justru mancantumkannya ke dalam jenis hadist yang bisa dijadikan sebagai hujjah walupun tingkatannya dibawah hadits sahih.

· Ashahhul asanid (sanad-sanad paling shahih)

Para ulama’ berusaha keras mengkomparasikan antar perwi-pwrwi yang maqbul dan mengetahui sanad –sanad yang memuat drajat diterima secara maksimal kerena perawinya terdiri dari orang –orang terkenal dengan keilmuan, kedhobitan dan keadilannya dengan yang lainnya. Mereka menilai bahwa sebagian sanad shahih merupakan tingkat tertinggi dari pada sanad lainnya,karena memenui syarat syarat maqbul secara maksimal dan kesempurnaan para perowinya dalam hal kreteri-kereterianya. Mereka kemudian menyebutnya ashahhul asnid. Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama’ mengenai hal itu. Sebagian mengatakan, ashahhul asanid adalah :

1. Riwayat ibn syibah az-zuhriy dari salim ibn abdillah ibn umar dari ibn umar.

2. Sebagian lain mengatakan, ashahhul asanid adalah riayat sulaiman al-A’masi dari Ibrahim an-nakha’iy dari ‘Al qomah ibn Qois Abdullah ibn mas’ud.

3. Imam bukhari dan yang lain mengatakan, sahahhul asnid adalah riwayat imam malaik ibn anas dari nafi’ maula ibn umar dari ibn umar. Dan karena imam asy-syafi’Iy merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan dari imam malik, dan imam ahmad merupakan orang yang paling utama yang meriwayakan dari imam syafi’iy,maka sebagian ulama’ muta’akhirin cenderung menilai bahwa ashahhul asanid adalah riwayat imam ahmad dari imam syafi’I dari imam malik dari nafi’ dari ibn umar ra.inilah yang disebut dengan silsilah adz- dzahab (rantai emas).[3]

Untuk memudahkan mengetahui ashahhul asanid dan meredam silang dikalangn ulama’ mengenai hal ini, maka abu abdillah al-hakim mamandang perlu menghususkannya dengan sahabat tertentu atau negeri tertentu.

MAKNA PERNYATAAN ULAMA’ TENTANG SHAHIHUL ISNAD DAN ASHAHHU SYAI’IN FI AL-BAB

Dari uraian diatas kita bisa mengetahui, bahwa hadits yang memenui kelima syarat diatas dinilai shahih. Dan ulama’ menilai wajib mengamalkannya. Akan tetapi para kritikus hadits lebih memilih sebutan ’’ hadits shohihul isnad “ dari pada sebutan “hadits shohih”, karena kawatir matannya syadz atau mu’allal, sehinga yang shohih hanya sanadnya. Dalam kondisi seperti ini tidak ada kelaziman hubungan antara keshahihin sanad keshahihan matan. Syaikhul Islam Ibn Hajar mengatakan, yang tidak syak lagi adalah seorang imam diantara mereka tidak berlih dengan sebutan ”shahih” kesebutan “shahihul isnad”, kecuali karna alas an tertuntu.8 namun bila yang mengatakan itu adalah perowi yang hafidz lagi bias dipercaya, tanpa menyebut ‘illah qodihah terhadap hadits bersngkutan, maka jelas menunjukkan keshahihan pula.9

Sebagian para ulama’ muta’akhirin ketika menshahihkan sebagian hadits akan mengetakan “shahihul isnad”. Hal ini disebabkan oleh kewira’ian dan kehati-hatian mereka. Namun kita tidak perlu ragu, bahwa yang mereka maksud adalah hadits shahih.

Peran At-Tabi' dalam analisis kualitas Sanad

Sebelum kita mengetahui lebih jauh peran mutabi' terhadap kualitas sebuah hadits. Sebaiknya kita terlebuh dahulu mengetahui apakah pengertian at tabi'. Mutabi' merupakan isim fa'il taba'a yang berarti mengikuti. Sedangkan pengertian terminologinya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang berkapasitas sebagai al- mukhorij al- hadits. Di mana hadits itu sesuai dengan hadits yang yang diriwayatkan oleh perawinya. Sedangkan al-mukhorij itu meriwayatkan dari guru perawi pertama atau dari guru-gurunya perawi. Pengertian lain mutabi' adalah hadits yang rowinya itu ada kesesuaian dengan rowi lain yang berkapasitas sebagi mukharriij al hadits. Di mana rawi kedua meriwayatkan dari guru rawi pertama atau dari guru-gurunya rawi pertama.

Posisi mutabi' sangat berpengaruh terhadap kualitas sebuah hadits. Karena ketika ada sebuah hadits yang kurang dari segi sanad, sehingga tidak bisa dapat dikategorikan sebagai hadits shohih maupun hadits hasan, maka ketika ditemukan hadits yang sama dari jalur lain, posisi hadits yang pertama bisa kuat dan naik menjadi hadits shohih lighoirihi atau hasan lighoirihi.. Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Syafii dari Malik dari Abdullah bin Umar dari Ibn Umar dari Nabi

ألشهر تسع وعشرون فلا تصوم حتى تروا الهلال ولاتفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين يوما

Hadits ini dinilai ghorib karena diduga hanya diriwayatkan oleh Syafi’i dari Malik. Akan tetapi ditemukan hadits lain yang sama dan diriwayatkan dari Abdullah bin Maslamah al-Qo'nabi dengan jalur sanad yang sama.

Tsiqah adalah seseorang yang mempunyai sifat 'adil dan dlobid artinya tidak diragukan kualitas moral maupun intelektualnya.

v HADITS HASAN

Definisi hadis hasan

Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat –syarat hadits shohih seluruhnya, hanya saja semua perowinya atau sebagian kedhobitannya lebih sedikit disbanding kedhobitan para perawi hadits shohih.

Hadits yang muttasil yang diriwayat kan oleh perawi yang adil yang lebih renda kedhobitannya tanpa syat dan tanpa illat.

Dari sini jelaslah perbedaan hadits shahih dan hadits hasan, yaitu bahwa dalam hadits shahih disyaratkan dhabit dan sempurna, sedangkan dalam hasan disyaratkan dhabit dasar.

v Jenis –Jenis Hadits Hasan

Hadits hasan ada dua jenis, yaitu hasan lidzatihi dan hasan lighairihi. Hasan lidhatihi adalah hadits yang diiwayatkan oleh orang adil, yang kurang kuat ingatannya, bersambung- sambung sanadnya, tidak mengandung cacat dan tidak ada kejanggalan.

v HASAN LIGHOIRIHI

Hadits hasan lighairi adalah hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang yang tidak jelas perilakunya atau kurang baik hafalannya dan lain –lainnya. Hadits hasan lighairi ini harus memenuhi tiga syarat:

1. Bukan pelupa yang banyak salahnya dalam hadits yang diriwayatkan.

2. Tidak tampak dalam kefasikakarena dan pada diri perawinya.

3. Hadits yang diriwayatkan benar-benar telah dikenal luas, karena ada periwayatan yang serupa dengannya atau semakna, yang diriwayatkan dari satu jalur lain atau lebih.

v Kududukan Hadits Hasan

Tingkatan hadits hasan berada sedikit dibawah tingkatan hadits shahih, tetapi para ulama berbeda pendapat tentang kududukannya sebagai sumber ajaran islam atau esbagai hujjah dalam bidang hukum apalagi dalam bidang aqidah. Sebaliknya jumhur ulama’ memperlakukan hadits hasan seperti hadits shohih; mereka menerima hadits hadits sebagai hujjahatau sumber agama islam, dalam bidang hukum dan moral, atau dalam bidang aqidah.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

* Hadits shahih lebih sempurna dari pada hadits hasan, karna hadits shahih para perwinya adil,sanadnya bersambung sampei Rosulullah,sempurna hafalannya, kuat ingatannya, tidak janggal dan tidak ada cacat. Sedangkan hadits hasan, bedanya sedikit dengan shahih yaitu: lemah hafalannya tapi yang lain sama.

* Meskipun hadits hasan kududukannya dibawah hadits shahih tapi para ulama’ berhujjah bahwa hadits hasan beleh dijadikan sebagai sandaran hukum islam, dalam moral dan aqidah.

DAFTAR PUSTAKA

Al-khotib, DR. Muhammad Ajaj. Ushul al-Hadits : Pokok-pokok Ilmu Hadits. (Gaya Media Pratama: Jakarta). 2001.

An-Nadwi, H. Fadlil Sa’id. Ilmu Mustholah Hadits. (Al-Hidayah:Surabaya).1420 H.

Ahmad, Drs. H. Muhammad-Drs. H.Mudzakir. Ulumul Hadits.(Pustaka Setia :Bandung). 2004.

KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN NISBAT

1. HADIS QUDSI

a. Pengertian Hadis Qudsi

Secara terminologi hadis qudsi adalah :

هومانقل اليناعن النبي صل الله عليه وسلم مع اسناده اياه الى ربه عزوجل

Yaitu hadis yang diriwayatkan kepada kita dari Nabi SAW yang disandarkan oleh beliau kepada Allah SWT.

Atau :

كل حديث يضيف فيه الرسول صل الله عليه وسلم قولا الى الله عزوجل.

Setiap hadis yang disandarkan Rasulullah SAW perkataannya kepada Allah Azza wa Jalla

Definisi tersebut menjelaskan bahwa hadis Qudsi itu adalah perkataan yang bersumber dari Rasulullah SAW, namun disandarkan beliau kepada Allah SWT. Akan tetapi, meskipun itu perkataan atau firman Allah, hadis Qudsi bukanlah al-Quran.

b. Perbedaan antara Hadis Qudsiy dan al-Quran

antara al-Quran dan Hadis Qudsiy terdapat beberapa perbedaan, yaitu :

1) Al-Quran lafaz dan maknanya berasal dari Allah SWT. Sedangkan hadis Qudsi maknanya berasal dari Allah SWT, sementara lafaznya dari Rasulullah SAW

2) Al-Quran hukum membacanya adalah ibadah, sedangkan hadis Qudsi membacanya tidak dihukumi ibadah

3) Periwayatan dan keberadaan al-Quran disyaratkan harus mutawatir, sementra hadis Qudsi periwayatannya tidak disyaratkan mutawatir

4) Al-Quran adalah mukjizat dan terpelihara dari terjadinya perubahan dan pertukaran serta tidak boleh diriwayatkan secara makna. Sedangkan hadis Qudsi bukanlah mukjizat, dan lafaz serta susunan kalimatnya bisa saja berubah, karena dimungkinkan untuk diriwayatkan secara makna

5) Al-Quran dibaca di dalam shalat sedangkan hadis qudsi tidak

c. Perbedaan antara Hadis Qudsi dengan Hadis Nabawi

Berdasarkan pengertian dan criteria yang dimilki hadis Qudsi, terdapat perbedaan antara hadis Qudsi dan hadis Nabawi, yaitu :

Bahwa Hadis Qudsi, nisbah atau pebangsaannya adalah kepada Allah SWT, dan Rasulullah berfungsi sebagai yang menceritakan atau meriwayatkannya dari Allah SWT. Oleh karena itu, dihubungkanlah hadis tersebut dengan al-Quds (maka dinamai Hadis Qudsi), atau dengan al-Ila (maka dinamai Hadis Ilahi)

Sedangkan Hadis Nabawi, nisbah atau pebangsaannya adalah kepada Nabi SAW dan sekaligus peiwayatannya adalah dari beliau.

عن أبي ذ ررضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم فيما روي عن الله تبا رك وتعا لى انه قال : ياعبادي اني حرمت الظلم على نفسي و جعلته بينكم محرما فلا تظالموا.

Dari Abi Dzar r.a, dari Nabi SAW menurut apa yang diriwaytkan beliau dari Allah SWT, bahwasanya Dia berfirman ," wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharapkan berbuat aniyaya atas diri-Ku dan Aku jadikan kezaliman itu diantar kamu sebagai perbuatan yang haram, maka oleh karena itu jangan lah kamu saling berbuat aniaya.

e. Lafadz-lafadz hadis Qudsi

didalam meriwayatkan hadis Qudsi, ada dua lafaz yang digunakan, yaitu :

قال رسول الله صلي الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه عز وجل.

Bersabda Rasulullah SAW menurut apa yang diriwayatkan beliau dari Allah SWT

قال الله تعالي , فيما رواه عنه رسول الله صلي الله عليه وسلم .

Berfirman Allah SWT menurut yang diriwayatkan dari padaNya oleh Rasulullah SAW.

2. HADIS MARFU'

a. Pengertian Hadis Marfu'

Hadis Marfu' adalah :

مااضيف الى النبي صلى الله عليه وسلم من قول او فعل اوتقريرأوصفة.

Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perkataan , perbuatan, taqrir (ketetapan) atau sifat.

Dari definisi di atas dapat difahami bahwa segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat beliau disebut dengan hadis Marfu'. Orang yang menyandarkan itu boleh jadi Sahabat, atau selain sahabat. Dengan demikian, sanad dari hadis Marfu' ini bisa Muthasil, bisa pula Munqathi, Mursal, atau Mu'dhal dan Mu'allaq.

b. Hukum Hadis Marfu'

Hukum hadis Marfu' tergantung pada kwalitas dan bersambung atau tidaknya sanad, sehingga dengan demikian memungkinkan suatu hadis Marfu' itu berstatus shahi, hasan, atau dhaif.

3. HADIS MAUQUF

a. Pengertian Hadis Mauquf

Beberapa ulama hadis memberikan terminology hadis Mauquf sebagai berikut :

هوما رواه عن الصحابي من قول له أو فعل أو تقرير , متصلا كان أو منقطعا.

Yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat dalam bentuk perkataan, perbuatan, atau taqrir beliau, baik sanadnya muttashil atau munqathi.

ما أضيف الى الصحا بي من قول أو فعل أو تقو ير.

Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat berupa perkataan, perbuatan, atupun taqrir beliau.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu yang diriwayatkan atau dihubungkan kepada seorang sahabat atau sejumlah sahabat baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, disebut hadis mauquf, dan sanad hadis mauquf tersebut boleh jadi muttashil atau munqathi.

Contoh hadis mauquf :

قول البخاري : قال علي بن أبي طا لب رضي الله عنه : حدثوا الناس بما يعر فون, أ تريدون ان يكذب الله ورسوله.

Bukhari berkata, "Ali r.a berkata, bicaralah dengan manusia tentang apa yang diketahui/difahaminya, apakah kamu ingin bahwa Allah dan Rasul-Nya didustai."

قول البخاري : وأم أنُِِِ عَباس وهوميمم.

Bukhari berkata, "dan Ibnu Abas telah menjadi imam dalam shlat sedangkan dia bertayamum."

Para Fuqoha Khurasan menamai hadis mauquf dengan atsar, dan hadis marfu dengan khabar. Namun para ahli hadis menamai keduanya dengan atsar. Karena atsar pada dasarnya berarti riwayat atau sesuatu yang diriwayatkan.

b. Hadis Mauquf yang berstatus Marfu'

Diantara hadis mauquf terdapat hadis yang lafadz dan bentuknya mauquf, namun setelah dicermati hakikatnya bermakna marfu', yaitu berhubungan dengan Rasul SAW. Hadis yang demikian dinamai oleh para ulama hadisdengan al-Mauquf lafdzhan al-Marfu' ma'nan,yaitu secara lafaz berstatus mauquf, namun secar mkana bersifat marfu'

c. Hukum hadis Mauquf

Apabila suatu hadis mauquf berstatus hukum marfu sebagaimana yang dijelaskan diatas, dan berkwalitas shahih atau hasan, maka ststus hukumnyapun sama dengan hadis marfu itu.

Akan tetapi jika tidak berstatus marfu, maka para ulama hadis berbeda pendapat tentang kehujahannya.

4. HADIS MAQTHU'

a. Pengertian Hadis Mqthu'

secara terminology hadis maqthu' adalah :

وهو الموقوف التابعي قولا له أوفعلا.

Yaitu sesuatau yang terhenti (sampai)pada Tabii baik perkataan maupun perbuatan tabi'i tersebut.

ماأضيف الى التابعي أو من دونه من قول أوفعل .

Sesuatu yang disandarkan kepada tabi'i atau generasi yang datang sesudahnya berupa perkataan atau perbuatan.

Hadis Maqthu tidak sama dengan munqhati, karena maqthu adalah sifat dari matan, yaitu berupa perkataan Tabi'in atau Tabi at-Tabi'in, sementar munqathi adalah sifat dari sanad, yaitu terjadinya keterputusan sanad.

b. Contoh Hadis Maqthu'

قول الحسن البصري في الصلاة خلف المبتدع : صل وعليه بد عته.

Perkataan Hasan Bashri mengenai shalat di belakang ahli bid'ah" Shlatlah dan dia akan menanggung dosa atas perbuatan bid'ahnya"

c. Status Hukum Hadis Maqthu'

Hadis Maqthu' tidak dapat dijadiakan sebagai hujjah atau dalil untuk menetapkan suatu hukum, karena status dari perkataan Tabi'in sama dengan perkataan Ulama lainnya.

KESIMPULAN

Ø hadis adalah sesuatu yang disandarkan kepada nabi baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan beliau. Akan tetapi jika dicermati secara mendalam maka akan ada beberapa klasifikasi yang ditinjau kepada siapakah hadis tersebut disandarkan. Yaitu:

hadis qudsi,hadis marfu’,hadis mauquf,hadis maqthu’.

DAFTAR PUSTAKA

Ø Al-khatib, M. Ajaj, “Usul al-hadis:’ulumuhu wa mustlahuhu”:Dar al-fikr, 1409 H/1989 M

Ø At-tohal Mahmud, “Taisir mustalah al-hadis” Beirut: Dar Al-qur’an Al-karim, 1399 H/ 1979 M

Ø Yuslem Nawir, “’Ulumul-Hadis”Jakarta, PT. Mutiara Sumber Widya 2001

HADITS HASAN

I. PENDAHULUAN

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT. yang telah mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Shalawat dan salam kita haturkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW. Semoga kita di akhir kelak mendapat syafaatnya. Amien.

Hadits adalah pedoman umat Islam setelah Al-Quran, namun terlepas dari itu masih banyak umat Islam yang sedikit sekali pemahamannya tentang hadits. Oleh karena itu, pemakalah akan mencoba membahas ilmu hadits seputar hadits hasan, definisi, syarat, contoh, dan permasalahan-permasalahan yang mencakup hadits hasan. Namun sudah barang tentu makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, pemakalah sangat mengharapkan masukan, kritik, atau saran yang membangun untuk melengkapi kekurangan yang ada di makalah ini.

II. PEMBAHASAN

A. Definisi

Menurut bahasa adalah merupakan sifat musyabbah dari kata al-husn, yang berarti al-jamal (bagus). Sementara menurut istilah, para ulama’ mendefinisikan hadits hasan sebagai berikut,

a. Al-Khathabi, hadits hasan adalah hadits yang diketahui tempat keluarnya kuat, para perawinya masyhur, menjadi tempat beredarnya hadits, diterima oleh banyak ulama, dan digunakan oleh sebagian besar fuqaha.1

b. At-Tirmidzi, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan, yang di dalam sanadnya tidak ada rawi yang berdusta, haditsnya tidak syadz, diriwayatkan pula melalui jalan lain.

c. Menurut Ibnu Hajar, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, kedlobithannya lebih rendah dari hadits shahih, sanadnya bersambung, haditsnya tidak ilal dan syadz.

d. Ungkapan yang senada dengan Ibnu Hajar juga diutarakan oleh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.2

Menurut Mahmud Tahhan, definisi yang lebih tepat adalah definisi yang diungkapakan oleh Ibnu Hajar, yaitu yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, namun tingkat kedlobithannya kuarang dari hadits shahih, tidak ada syudzudz dan illat.

B. Syarat Hadits Hasan

Adapun syarat hadits hasan sama dengan syarat hadits shahih, yaitu ada lima namun tingkat kedlobitanya berbeda.

a. Sanadnya bersambung,

b. Perawinya adil, lebih rendah dari hadits shahih,

c. Dlobith,

d. Tidak ada illat,

e. Tidak ada syadz,

Hadits hasan terbagi menjadi dua jenis: hasan lidzatihi (hasan dengan sendirinya) dan hasan lighairihi (hasan dengan topangan hadits lain).

Apabila hanya disebut “Hadits Hasan”, yang dimaksudkan adalah hadits hasan lidzatihi, dengan batasan seperti tersebut di atas. Dinamakan hasan lidzatihi, karena sifat kehasanannya muncul di luarnya. Dengan demikian, hasan lidzatihi ini dengan sendirinya telah mencapai tingkatan shahih dalam berbagai persyaratannya, meskipun nilanya sedikit di bawah hadits shahih berdasarkan ingatan para perawinya.

Hadits hasan lighairihi adalah hadits dloif yang memiliki sanad lebih dari satu. Sanad-sanad yang ada menguatkan sanad yang dloif tersebut. Ada juga yang mendefinisikan hadits hasan lighairihi sebagai hadits yang dalam isnadnya tersebut orang yang tidak diketahui keadaaanya, tidak biasa dipastikan kelayakan atau ketidaklayakannya. Namun ia bukan orang lengah yang banyak berbuat salah dan tidak pula dituduh berbuat dusta. Sedangakan matannya didukung oleh mutabi’ atau syahid.

C. Hukum hadits Hasan

Bisa dijadikan sebagai hujjah (argument), sebagaimana hadits shahih, meskipun dari segi kekuatannya berbeda. Seluruh fuqaha menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya, begitu pula sebagian besar pakar hadits dan ulama’ ushul, kecuali mereka yang memiliki sifat keras. Sebagian ulama’ yang lebih longgar mengelompokkannya dalam hadits shahih, meski mereka mengatakan tetap berbeda dengan hadits shahih yang telah dijelaskan sebelumya.

D. Contoh Hadits Hasan

Dikeluarkan oleh Tirmidzi, yang berkata:

“Telah bercerita kepada kami Qutaibah, telah bercerita kepada kami Ja’far bin Sulaiman ad-Dluba’i, dari Abi Imran al-Juauni, dari Abu Bakar bin Abi Musa al-Asyari, yang berkata: Aku mendengar bapakku berkata –di hadapan musuh–: Rasulullah SAW. bersabda: Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah kilatan pedang…”al-Hadits.

Hadits ini hasan karena empat orang perawi sanadnya tergolong tsiqoh, kecuali Ja’far bin Sulaiman ad-Dluba’i. jadilah haditsnya hasan.

E. Tingkatan dari Pernyataan: Hadits Shahih Isnad atau Hasan Isnad.

a. Pernyataan ahli hadits: ‘Hadits ini shahih isnad’ berbeda maknanya dengan pernyataan ‘ini hadits shahih’.

b. Begitu pula halnya dengan pernyataan mereka: ‘Hadits ini hasan isnad’ berbeda maknanya dengan pernyataan ‘ini hadits hasan’. Pernyataan (hadits ini shahih isnad atau hadits ini hasan isnad) karena sanadnya memang shahih atau hasan tanpa memperhatiakn matan, syudzudz maupun adanya illat. Apabila seorang ahli hadits mengatakan: ‘Hadits ini shahih’, itu berarti hadits tersebut telah memenuhi syarat-syarat hadits shahih yang lima. Lain lagi jika ia mengatakan: ‘Hadits ini shahih isnad’, itu berarti hadits tersebut memenuhi tiga syarat keshahihan saja, yaitu sanadnya bersambung, rawinya adil dan dlobith. Adapun tidak adanya syudzudz dan illat, berarti hadits tersebut tidak bisa memenuhinya. Karena itu tidak bisa ditetapkan sebagai hadits shahih ataupun hasan. Meski demikian, apabila seorang hafidh mu’tamad (dalam hadits) meringkas penyataan dengan: ‘Hadits ini shahih isnad’, sementara ia tidak menyebutkan adanya illat, maka berarti matanya juga shahih. Sebab, pada dasarnya hadits tersebut tidak memiliki illat maupun syudzudz.

F. Arti Pernyataan Turmudzi dan selainnya: ‘Hadits Hasan Shahih’

Kenyataan ungkapan seperti ini amat sangat sulit, sebab hadits hasan itu derajatnya lebih rendah dari hadits shahih. Maka, bagaimana menggabungkan keduanya sementara tingkatan keduanya berbeda?. Para ulama’ telah menjawab maksud dari pernyataan Tirmidzi dengan jawaban yang bermacam-macam. Yang terbaik adalah pernyataannya al-Hafidh Ibnu Hajar yang disetujui oleh as-Suyuthi. Ringkasannya sebagaimana berikut:

a. Jika haditsnya mempunyai dua buah sanad atau lebih, maka berarti hadits tersebut adalah hasan menurut shahih satu sanad, dan shahih menurut sanad lainnya.

b. Jika haditsnya mempunyai satu sanad, maka berarti hadits tersebut adalah hasan menurut satu kelompok, dan shahih menurut kelompok lainnya.

Jadi, seakan-akan orang yang mengatakan hal itu menunjukkan adanya perbedaan dikalangn ulama’ mengenai status (hukum) hadits tersebut, atau tidak memperkuat status (hukum) hadits tersebut (apakah shahih ataukah hasan).

III. KESIMPULAN

Ø Perbedaan dengan hadits shahih dengan hadits hasan adalah terletak pada tingkat kedlobithannya.

Ø Mayoritas ulama’ dan fuqaha sependapat tentang kehujjahan hadits hasan, yaitu hadits hasan dapat dijadikan hujjah.

IV. DAFTAR PUSTAKA

1. Tahlan, Mahmud, Taisir Musthalahul Hadits, Dar al-fikr, Beirut, tt.

2. Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Syahrul Baiquniyah, Dar al-atsar, tt.

3. Mudasir, H, Drs, Ilmu Hadits,Pustaka Setia, Bandung, Cet ke-I Tahun 1999.

4. Shahih, subhi, Dr, Membahas Ilmu-ilmu Hadits,Terj, Pustaka Firdaus, Cet ke-VI, Jakarta, 2007

ADAB MEMPELAJARI HADITS

PENDAHULUAN


Alhamdulillahirobbil ‘alamin, puji syukur kita lantunkan kepada Allah SWT. yang telah memberikan banyak nikmat kepada kita berupa Iman dan Islam sehingga kita bisa menyelesaikan tugas ini walaupun masih banyak kekurangan didalamnya.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. yang membimbing kita dari kebodohan menuju tata syari’at yang indah dengan penuh rasa cinta, sehingga kita bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Rasa terima kasih, tulus kami ucapkan kepada Dosen kami, Ust. Andi Rahman, MA., yang dengan sabar mengantar kami untuk menggapai cita-cita di masa mendatang.


PEMBAHASAN
Yang dimaksudkan dengan adab penuntut hadis adalah sifat-sifat yang memang harus dimiliki oleh para penuntut hadis, berupa adab yang tinggi dan akhlak yang mulia, sesuai dengan mulianya ilmu yang tengah dituntut, yaitu hadis Rasulullah SAW. Di antara adab-adab tersebut ada yang bersekutu dengan adab bagi muhaddits, ada juga yang khusus bagi penuntut hadis.
Adab Muhaddits
Seseorang yang menyibukkan dirinya dengan hadits serta menyebarluaskannya ketengah-tengah masyarakat, maka seorang muhaddits sudah selayaknya menjadi teladan, bersifat jujur terhadap apa yang disampaikannya, dan mengamalkan hadits pada dirinya sendiri sebelum memerintahkannya pada orang lain.
Adab untuk Menjadi Muhaddits
a. Meluruskan niat dan ikhlas, yaitu dengan membersihkan hati dari motif-motif keduniawian seperti mencari kedudukan dan popularitas.
b. Memberi perhatian yang amat besar terhadap penyebarluasan hadits, dan menyampaikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam rangka meraih pahala yang melimpah.
c. Tidak berbicara hadits di depan orang yang lebih utama daripada dirinya, baik dari sisi usia maupun ilmunya.
d. Hendaknya seorang muhaddits membentuk majelis untuk mengkaji hadits jika memang memiliki kelayakan untuk mengajarkan hadits.
Anjuran-Anjuran Jika Hendak Menghadiri Mejelis
a. Bersuci, merapikan diri, dan menata jenggot
b. Duduk dengan tentang dan penuh perhatian sebagai penghormatan terhadap hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
c. Menghadap kepada seluruh peserta majelis serta tidak menaruh perhatian hanya pada orang-orang tertentu dengan melalaikan peserta yang lain.
d. Membuka dan menutup majelis dengan pujian kepada Allah Ta’ala serta shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Usia Seseorang sehingga Layak untuk Menyampaikan Hadits
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat:
a. Ada yang berpendapat usia lima puluh tahun. Ada pula yang mengatakan usia empat puluh tahun.
b. Pendapat yang benar adalah ketika seseorang sudah memiliki kemampuan dan sanggup membentuk majelis hadits, berapa pun usianya.
Adab Penuntut Ilmu Hadits
Adab yang harus dimiliki seorang penuntut ilmu hadits yaitu berupa adab yang tinggi dan akhlak yang mulia. Di antara adab-adab tersebut ada yang bersekutu dengan muhaddits, dan ada juga yang khusus bagi penuntut ilmu hadits, diantaranya:
a. Senantiasa meminta taufik, arahan, kemudahan, dan pertolongan Allah Ta’ala dalam hal hafalan hadits dan pemahamannya.
b. Selalu memperhatikan hadits secara komprehensif dan mengerahkan seluruh upaya untuk meraihnya.
c. Memulai dengan mendengar dari para guru yang paling utama di negerinya, baik dalam hal sanad, ilmu, maupun agamanya.
d. Memuliakan gurunya dan orang-orang yang mendengarkannya serta senantiasa menghormatinya.
e. Sifat malu dan sombong hendaknya tidak menghalanginya untuk terus mendengar dan mendapatkan ilmu, meskipun berasal dari orang yang lebih muda atau kedudukannya lebih rendah.
f. Berusaha memahami hadits yang telah ditulis. Oleh karena itu, ia harus rela melelahkan dirinya tanpat mengenal waktu.
g. Dalam hal mendengar, menghafal, dan memahaminya, hendaknya ia mendahulukan kitab Shahihain, kemudian Sunan Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, lalu Sunan Al-Kubra Baihaqi. Setelah itu bersandar pada kitab-kitab musnad dan jawami’, seperti Musnad Imam Ahmad, Al-Muwatha’ Imam Malik, termasuk kitab ‘Ilal seperti ‘Ilal Daruquthni. Sedangkan kitab yang memuat nama-nama perawi adalah Tarikh Kabir Imam Bukhari, begitu juga Jarh wa Ta’dil Ibnu Abi Hatim, Diabthu Al-Asma Ibnu Makula. Kitab yang membahas hadits gharib adalah kitab An-Nihayat Ibnu Katsir.
Adab untuk Bersekutu dengan Muhaddits
a. Meluruskan niat dan ikhlas hanya kepada Allah Ta’ala dalam menuntut ilmu hadits.
b. Bersikap hati-hati terhadap tujuannya menuntut ilmu hadits yang bisa menjerumuskannya pada motivasi keduniawian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menuntut ilmu yang dianjurkan untuk Allah Ta’ala, dan ia tidak mempelajarinya melainkan untuk meraih keduniawian, maka pada hari Kiamat tidak akan memperoleh harumnya wangi surga.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah)
c. Mengamalkan hadits yang didengarnya.[1]

PENUTUP/KESIMPULAN
Sehubungan dengan pentingnya hadis, sebagian ‘ulama telah mewajibkan untuk meminta keridloan guru yang mengajar hadis sebelum memulai belajar. Karena hal ini akan menciptakan kerelaan untuk yang belajar maupun sebaliknya.Asy-Syalabi berkata,” barang siapa melangkah sebelum waktu pelaksanaannya, berarti ia telah menghadapi kehinaan.”
Maka, untuk menjaga diri dan kekhawatiran menghadapi kehinaan yang disebabkan karena guru yang mengajar tidak ridlo. Para ‘ulama telah menyarankan agar terlebih dahulu meminta kesediaannya. Diantara orang yang menerapkan konsep ini adalah Malik bin Anas r.a.[2]

DAFTAR PUSTAKAAN
Al-Wakki, aq-Layanah. 1994. Metode Pengajaran Hadis. Jakarta: Granada Nadia.

Thahan, Mahmud. 2006. Taisir Mushtholahul Hadits. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
[1] Mahmud Thahan, Taisir Mushtholahul Hadits, ( Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2006) hal. 229
[2]Aq-Layanah Al-Wakki, Metode Pengajaran Hadis,( Jakarta: Granada Nadia, 1994) hal.21

PENYELENGGARAAN ZENAJAH

BAB I
PENDAHULUAN

Islam menganjurkan ummatnya agar selalu ingat akan mati, Islam juga menganjurkan ummatnya untuk mengunjungi orang yang sedang sakit (‘Iyadat Al-Maridh) menghibur dan mendo’akannya. Apabila seseorang telah meninggal dunia, hendaklah seorang dari mahramnya yang paling dekat dan sama jenis kelaminnya melakukan kewajiban yang mesti dilakukan terhadap jenazah, yaitu memandikan, mengkafani, menyembahyangkan dan menguburkannya. Menyelenggarakan jenazah, yaitu sejak dari menyiapkannya, memandikannya, mengkafaninya, menshalatkannya, membawanya ke kubur sampai kepada menguburkannya adalah perintah agama yang ditujukan kepada kaum muslimin sebagai kelompok. Apabila perintah itu telah dikerjakan oleh sebahagian mereka sebagaimana mestinya, maka kewajiban melaksanakan perintah itu berarti sudah terbayar. Kewajiban yang demikian sifatnya dalam istilah agama dinamakan fardhu kifayah.

Karena semua amal ibadah harus dikerjakan dengan ilmu, maka mempelajari ilmu tentang peraturan-peraturan di sekitar penyelengaraan jenazah itupun merupakan fardhu kifayah juga. Akan berdosalah seluruh anggota sesuatu kelompok kaum muslimin apabila dalam kelompok tersebut tidak terdapat orang yang berilmu cukup untuk melaksanakan fardhu kifayah di sekitar penyelenggaraan jenazah itu.

Oleh karena itu, dalam pembahasan makalah kami selanjutnya akan dipaparkan secara terperinci insya Allah tentang penyelenggaraan jenazah.


BAB II
PEMBAHASAN

Menyelenggarakan jenazah bukan saja setelah seseorang meninggal, tetapi semenjak orang itu sakit, menjelang ajal, di waktu datangnya ajal, menyiapkannya sesudah itu, sampai selesai menguburnya semuanya telah dicontohkan dan diajarkan Rasulullah tentang itu secara terperinci, lengkap dan sempurna.

Walaupun penyelenggaraan jenazah itu merupakan fardhu kifayah, tetapi agama menganjurkan supaya sebanyak mungkin orang menyertai shalat jenazah, mengantarnya ke kubur dan menyaksikan penguburannya. Oleh sebab itu, kalau seseorang tidak menguasai ilmu tentang aturan agamanya mengenai perkara ini, akan sangat aib baginya.
Apabila seorang muslim meninggal dunia, maka fardhu kifayah atas muslim yang masih hidup menyelengarakan empat perkara, yaitu:

1. Memandikan Jenazah

Semua jenazah muslim yang wajib dimandikan kecuali muslim yang mati syahid, yakni yang terbunuh dalam peperangan melawan kaum kafir. Dalil wajibnya memandikan jenazah ialah hadits Nabi SAW yang berkenaan dengan sahabat yang meninggal karena jatuh dari ontanya:

Artinya: Dari Ibnu Abbas Ia berkata: Tatkala seorang laki-laki jatuh dari kendaraannya lalu ia meninggal, sabda Beliau: “Mandikanlah dia dengan air serta daun bidara” (atau dengan sesuatu yang menghilangkan daki seperti sabun). (H.R Bukhari dan Muslim).

Memandikan mayat hukumnya adalah fardhu kifayah atas musilmin lain yang masih hidup. Artinya, apabila diantara mereka ada yang mengerjakannya, maka kewajiban itu sudah terbayar dan gugur bagi muslimin selebihnya. Karena perintah memandikan mayat itu adalah kepada umumnya kaum muslimin

Sedangkan muslim yang mati syahid tidaklah dimandikan walau ia dalam keadaan junub sekalipun, melainkan ia hanya dikafani dengan pakaian yang baik untuk kain kafan, ditambah jika kurang atau dikurangi jika berlebih dari tuntunan sunnah, lalu dimakamkan dengan darahnya tanpa dibasuh sedikitpun juga. Diriwayatkan oleh Ahmad bahwa Raslullah SAW bersabda

Artinya: “Janganlah kamu mandikan mereka, karena setiap luka atau setiap tetes darah akan semerbak dengan bau yang wangi pada hari kiamat”.

Dan beliau menyuruh agar para syuhada dari perang Uhud dikubukan dengan darah mereka tanpa dimandikan dan disembahyangkan.

a. Syarat Wajib Memandikan Jenazah
Syarat wajib mandi ialah:
1) Mayat orang Islam,
2) Ada tubuhnya walaupun sedikit, dan
3) Mayat itu bukan mati syahid.

b. Yang Berhak Memandikan Mayat

Jikalau mayat itu laki-laki, yang memandikannya laki-laki pula. Perempuan tidak boleh memandikan mayat laki-laki, kecuali istri dan mahramnya. Sebaliknya juga jika mayat itu adalah perempuan. Jika suami dan mahram sama-sama ada, maka istri lebih berhak memandikan suaminya.

Bila seorang perempuan meninggal dan di tempat itu tidak ada perempuan, suami atau mahramnya, maka mayat itu hendaklah “ditayammumkan” saja, tidak boleh dimandikan oleh laki-laki yang lain. Kecuali kalau mayat itu adalah anak-anak, maka laki-laki boleh memandikanya Begitu juga kalau yang meninggal adalah seorang laki-laki.

Jika ada beberapa orang ayng berhak memandikan, maka yang lebih berhak ialah keluarga yang terdekat dengan si mayyit, dengan syarat ia mengetahui kewajiban mandi serta dapat dipercaya. Kalau tidak, berpindahlah hak itu kepadakeluarga jauh yang berpengetahuan serta amanah (dipecaya).

Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: Dari ‘Aisyah Rasul bersabda: “Barang siapa memandikan mayat dan dijaganya kepercayaan, tidak dibukakannya kepada orang lain apa-apa yang dilihat pada mayat itu, maka bersihlah ia dari segala dosanya, seperti keadaannya sewaktu dilahirkan oleh ibunya”. Kata Beliau lagi: “Yang memimpinnya hendaklah keluarga yang terdekat kepada maya, t jika ia pandai memandikan mayat. Jika ia tidak pandai, maka siapa saja yang dipandang berhak karena wara’nya atau karena amanhanya. (H.R Ahmad)

c. Cara Memandikan Jenazah

Dalam memandikan jenazah sebaiknya mayat diletakkan di tempat yang tinggi, seperti ranjang atau balai-balai; di tempat yang sunyi, berarti tidak ada orang yang masuk ke tempat itu selain orang yang memandikan dan orang yang menolong mengurus keperluan yang bersangkutan. Pakaian mayat diganti dengan kain mandi atau basahan, sebaiknya kain sarung supaya auratnya tidak mudah terlihat.
Mula-mula jenazah didudukkan secara lemah lembut dengan posisi miring ke belakang, orang yang memandikan meletakkan tangan kanan di bahu jenazah dengan ibu jarinya pada lekukan tengkuk dan lututnya menahan punggung jenazah. Lalu perut jenazah diurut dengan tangan kiri untuk mengeluarkan kotoran yang mungkin keluar. Kemudian jenazah ditelentangkan dan kedua kemaluannya dibersihkan dengan tangan kiri yang dibalut dengan perca. Setelah perca pembalut tangan diganti, mulut; gigi dan lubang hidungnya juga dibersihkan.

Berikutnya, jenazah diwudhukan seperti wudhu orang hidup. Setelah itu kepalanya, kemudian jenggotnya dibasuh dengan menggunakan sidr, dan dirapikan dengan sisir, dengan memperhatikan agar rambut yang gugur dikembalikan. Setelah itu dibasuh bagian kanan kemudian bagian kirinya badannya, lalu tubuhnya dibaringkan ke kiri dan dibasuh bagian belakang sebelah kanan. Kemudian dibaringkan ke sebelah kanan dan dibasuh pula bagian belakang badannya yang sebelah kiri. Untuk semua ini digunakan air bercampur sidr, setelah itu air bercampur sidr tadi dihilangkan dengan menyiraminya secara merata dengan air bersih. Kemudian sekali lagi disiram dengan air bercampur sedikit kapur.

Dengan melakukan rangkaian ini, berarti telah selesai satu kali mandi, namun masih disunnahkan melakukannya sampai tiga kali. Nabi Muhammad bersabda kepada para wanita yang memandikan putrinya Ummi Kulsum:

Artinya: “Kamu mandikanlah ia tiga kali, lima kali atau lebih jika kamu pandang hal itu perlu, dengan air dan sidr; dan taruhlah kapur atau sedikit kapur pada yang terakhir. Mulailah dengan bagian sebelah kanan dan tempat-tempat wudhu’nya”. (H.R Bukhari)

Apabila ternyata setelah selesai dimandikan masih ada najis yang keluar, maka najis itu wajib dibersihkan.

2. Mengkafani Jenazah

Sebagaimana memandikan mayat, maka mengkafaninyapun fardhu kifayah hukumnya. Karena perintah mengkafani itu ditujukan kepada umumnya kaum muslimin, sedang pekerjaan itu cukup dilakukan oleh sebahagian mereka saja. Cara mengkafani jenazah yaitu:

a. Kafanilah Dengan Baik.

Yang diaksud mengkafani dengan baik ialah mengkafani dengan kafan yang baik dan dengan cara yang baik. Kafan yang baik ialah kafan yang suci, bersih, cukup tebal, ukurannya mecukupi, kwalitasnya sedang dan tidak berlebih-lebihan atau terlalu mewah baik dalam kwalisas maupun ukuran.

b. Pakailah Kafan Yang Berwarna Putih

Menggunakan kain kafan berwarna putih adalah sunnah Rasulullah SAW.

c. Kafanilah Mayat Laki-laki Tiga Lapis Dan lima lapis bagi mayat perempuan, atau tepatnya diawali dengan sarung, lalu baju kurung, kerudung, pembungkus, kemudian dibungkus satu lapis lagi. Sebagaimana keterangan hadits berikut:

Artinya: “Aku adalah di antara orang-orang yang memandikan Ummu Kulsum, putri Rasulullah SAW pada waktu wafatnya, dan adalah yang pertama diberikan kami oleh Rasulullah adalah kain sarung, lalu baju kurung, lalu kerudung, lalu kafan pembungkus. Kemudian sesudah itu ia dimasukkan ke dalam kain kafan” dan Laila berkata: “Dan Rasulullah berdiri di pintu membawa kafannya, memberikannya kepada kami selembar demi selembar”. (H.R Ahmad dan Abu Daud dari Laila binti Qaanif at-Tsaqafiyah)Tapi ada orang yang mengatakan bahwa jumlah kain kafan bagi perempuan sama dengan laki-lak, sebab hadits di atas tidak shahih sanadnya.

d. Lututlah mayat dengan semacam cendana, yaitu wangi-wangian yang bisa untuk mayat, kecuali mayat yang mati dalam keadaan ihram.

3. Shalat Jenazah

a. Rukun-rukun, yaitu yang harus dilakukan dan termasuk di dalam perbuatan shalat.

1) Niat melakukan shalat jenazah semata-mata karena Allah
2) Berdiri bagi yang mampu
3) Takbir empat kali
4) Membaca surah al-Fatihah
5) Membaca shalawat atas Rasulullah
6) Berdo’a untuk si mayyit
7) Salam

b. Syarat-syarat

1) syarat-syarat yang berlaku pada shalat lainnya berlaku juga pada shalat jenazah

2) Mayat harus telebih dahulu dimandikan dan dikafani, sebab begitulah urutan yang diterangkan dalam hadits mengenai shalat jenazah. Adapun apabila mayat itu tidak mungkin dimandikan dan dikafani, umpamanya mati karena tertimpa reruntuhan dan langsung terkubur dan sangat sulit menggalinya, maka langsung dishalati saja. Sebab, dengan begitu dikerjakan apa yang masih bisa dikerjakan diantara perintah-perintah itu.

3) Menaruh mayat hadir, artinya bukan mayat ghaib di muka orang yang menshalatinya. Atau dengan kata lain, menaruh mayat antara orang yang menshlatinya dan kiblat. Sebab, demikian yang dilakukan sejak dahulu.

4. Menguburkan Jenazah
Tata Cara Menguburkan Jenazah

a. Waktu Untuk Mengubur Mayat
Mengubur mayat boleh pada siang atau malam hari beberapa sahabat Rasulullah Saw dan keluarga beliau dikubur pada malam hari.

b. Memperdalam Galian Lubang Kubur
Maksud mengubur mayat ialah supaya tertutup, tidak nampak jasadnya dan tidak tercium baunya dan juga agar tidak mudah dimakan burung atau binatang lainnya. Oleh sebab itu, lubang kubur harus cukup dalam sehingga jasad mayat itu aman dari hal-hal di atas.

c. Tentang Liang Lahad
Cara menaruh mayat dalam kubur ada yang ditaruh di tepi lubang sebelah kiblat, kemudian di atasnya ditaruh semacam bata dengan posisi agak condong, supaya nantinya setelah ditimbun mayat tidak langsung tertimpa tanah. Cara ini dalam bahasa Arab disebut lahad.
Ada juga dengan menggali di tengah-tengah dasar lubang kubur, kemudian mayat diletakkan di dalamnya, lalu di atasnya diletakkan semacam bata dengan posisi mendatar untuk penahan tanah timbunan. Cara ini dalam bahasa Arab disebut syaqqu atau dlarhu.
Cara lain ialah menaruh mayat dalam peti dan menanam bersama peti tersebut ke dalam kubur. Atau peti tersebut terlebih dahulu diletakkan dalam keadaan kosong dan terbuka, kemudian setelah mayat dimasukkan ke dalam peti lalu peti itu ditutup lalu ditimbun dengan tanah.

d. Cara Memasukkan Mayat ke Dalam Lubang Kubur
Cara terbaik ialah dengan mendahulukan memasukkan kepala mayat dari arah kaki kubur, karena demikian menurut sunnah Rasulullah SAW.

e. Menghadapkan Mayat ke Arah Kiblat
Baik di dalam lahad, syaqqu maupun dikubur di dalam peti, mayat diletakkan miring ke kanan menghadap kea rah kiblat dengan menyandarkan bagian tubuh sebelah kiri ke dinding kubur atau dinding peti supaya tidak terlentang kembali.

f. Tentang Mengalas Dasar Kubur
Para ulama mazhab empat berpendapat makruh menaruh hamparan atau bantal di bawah mayat di dalam kubur. Bahkan para ulama menganjurkan supaya ditaruh tanah di bawah pipi mayat sebelah kanan setelah dibukakan kain kafannya dari pipi itu ditempelkan langsung ke tanah.

g. Berdo’a Waktu Menaruh Mayat Dalam Kubur
Pada waktu mayat dimasukkan ke dalam kubur maka dianjurkan supaya membaca do’a:

Artinya: “Dengan nama Allah dan atas agama Rasulullah”.

h. Menutupi Kubur Mayat Perempuan Pada Waktu Ia Dimasukkan Kedalamnya
Bagi mayat perempuan hendaknya dibentangkan kain dan sebagainya di atas kuburnya pada waktu ia dimasukkan kedalamnya.

i. Mencurah Kubur Dengan Tanah Tiga Kali
Sesudah mayat diletakkan dengan baik, maka masing-masing orang yang menyaksikan penguburan itu dianjurkan mencurahi lubang kubur itu dengan tanah tiga kali dengan tangannya dari arah kepalanya. Sesudah itu, dilanjutkan ditimbun dengan tanah galian kubur itu sampai cukup.

j. Sunat Menyapu Kubur Dengan Telapak Tangan
Disunnatkan bagi orang yang menyaksikan pemakaman mayat, menyapu kubur dari arah kepala mayat sebanyak tiga kali.

k. Sunat Berdo’a Untuk Mayat Seusai Pemakaman
Disunatkan memohon ampun bagi mayat dan minta dikuatkan pendiriannya seusai ia dimakamkan, karena pada saat itu ia sedang ditanya di dalam kubur.

BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Apabila seorang muslim meninggal, maka fardhu kifayah atas orang yang hidup menyelenggarakan empat perkara, yaitu:

1. Memandikan mayat

Syarat wajib mandi ialah mayat orang Islam, ada tubuhnya walaupun sedikit, dan mayat itu bukan mati syahid.

2. Mengkafani mayat

Kain kafan sekurang-kurangnya selapis kain yang menutupi seluruh badan mayat. Tetapi sebaiknya tiga lembar untuk laki-laki dan lima lembar untuk perempuan.

3. Menshalatkan mayat

Syarat-syaratnya yaitu:

a. Sebagaimana syarat-syarat shalat lainnya, seperti menutup aurat; suci badan; dll.

b. Dilakukan sesudah mayat dimandikan dan dikafani.

c. Letak mayat di sebelah kiblat orang yang menyalatkan.

Rukun-rukunnya yaitu:

a. Niat,

b. Berdiri jika mampu

c. Takbr empat kali

d. Membaca al-fatihah setelah takbiratul ihram

e. Membaca shlawat atas Nabi sesudah takbir kedua

f. Mendo’akan mayat sesudah takbir ketiga

g. Memberi salam

4. Menguburkan jenazah

Merupakan kewajiban yang terakhir. Dalamnya kubur sekurang-kurangnya sampai kira-kira bau busuk mayat tidak tercium dari atasnya dan tidak dapat dibongkar oleh binatang buas.


DAFTAR PUSTAKA

Ahjad, Nadjih. 1991. Kitab Janazah. Jakarta: Bulan Bintang
Nasution, Lahmuddin. 1999. fiqh ibadah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Rasyid, Sulaiman. 1998. FIqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Sabiq, Sayyid. 1988. fiqh Sunnah. Bandung: PT. Al-Ma’arif