HIBAH

Tuesday, December 1, 2009

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

Hadiah adalah suatu ilmu yang dipelajari dalam mata kuliah muamalah 1 yang mempalajari tentang pemberian suatu barang ke orang lain.

II. Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, dalam makalah ini mengangkat beberapa topik. Adapun topik tersebut adalah Hadiah.

III. Tujuan Masalah

Tujuan masalah dari makalah ini adalah untuk mengetahui lebih jelas tentang.

1. Pengertian hadiah

2. Hukum hadiah

3. Syarat hadiah

4. Rukun hadiah


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Hadiah adalah pemberian oleh orang berakal sempurna sebuah barang yang dimilikinya dengan tidak ada tukarnya serta dibawa ketempat yang diberi karena hendak memuliakannya.

Pada dasarnya Hibah dengan hadiah sama. Hanya saja, kebiasaannya, hadiah itu lebih dimotivasikan oleh rasa terimakasih dan kekaguman seseorang.

Seseorang pemimpin, misalnya, biasa memberikan hadiah kepada bawahannya sebagai tanda penghargaan atas prestasinya dan untuk memacunya lebih berprestasi demikian pula, bisa terjadi, seorang bawahan memberi hadiah kepada atasan sebagai tanda ucapan terimakasih pemberian hadiah bisa pula terjadi antara orang yang setaraf, dan bahkan antara seorang muslim dan non muslim atau sebaliknya. Dalam persoalan ini, hadiah haruslah dibedakan dengan risywah (sogok). Perbedaannya amat halus, yakni terletak pada motivasi yang melatar belakanginya.

Hadiah dibolehkan oleh agama. Rasulullah saw sendiri pernah menerima hadiah semasa hidupnya, sebagai tanda rasa hormat dan bersahabat dari pihak lain. Dalam suatu riwayat dari Abu Hurairah dikatana bahwa: “Rasullah saw mengatakan: saling memberilah kamu. Niscaya kamu akan saling mengasihi.[1]

Dalam perjalanan sejarah, Umar bin Abdul Aziz pernah mengharamkan “Hadiah” kenapa demikian? Karena pada masa itu Umar melihat bahwa gejala yang terjadi dalam masyarakat dalam pemberian dan penerimaan hadiah bukan lagi murni hadiah, tetapi sudah mengarah kepada risywah.

Rukun dan syarat hadiah sama dengan hibah untuk terwujudnya suatu hadiah maka mesti memenuhi rukun dan syaratnya sebagai tanda adanya transaksi.

B. Hukum Hibah

Hukumnya adalah sunnah, karena hal ini merupakan perbuatan baik yang dianjurkan untuk dikerjakan dan berlomba-lomba kepadanya dengan dalil-dalil berikut:

Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai” (QS. Ali-Imran: 92).

Dan tolong menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa” (QS. Al-Maidah: 2).

Bukanlah menghadapkan wajah kalian kearah timur dan barat itu suatut kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya” (QS. Al-Baqarah: 177).

Sabda Rasulullah saw.

تهادوا تحابوا وتصافحوا يدهب الغل عنكم

Hendaklah kalian saling memberi hadiah niscaya saling mencintai dan hendaklah kalian saling berjabat tangan niscaya perasaan tidak senang hilang dari kalian” (HR. Ibnu Asakir).[2]

من سره أن يبسط له في رزقه وأن ينسأله في أثره فليصل رحمه

Barang siapa ingin dilapangkan rezkinya dan ditunda (diperpanjang) ajalnya, hendaklah menyambung kekerabatan” (HR. Bukhari).[3]

Di antara hukum-hukum hibah adalah:

  1. Jika hadiah diberikan kepada salah satu anak, maka anak-anak lainnya disumpahkan di beri juga dengan jumlah dan besar yang sama, Rasulullah saw bersabda:

Bertakwalah kalian kepada Allah dan adalah kalian kepada anak-anak kalian” (HR. Muttafaq Alaih).

  1. Haram menarik kembali. Rasulullah bersabda:

Orang yang meminta kembali hibahnya seperti orang yang meminta kembali (menelan) muntahnya” (Muttafaq Alaih).

Kecuali jika pemberian seorang ayah kepada anaknya, karena anak dan hartanya sebenarnya adalah milik ayahnya.

Rasulullah saw bersabda:

Seseorang tidak halal memberi sesuatu kemudian menariknya kembali kecuali seorang ayah terhadap sesuatu yang ia berikan kepada anaknya” (HR. At-Tirmidzi).

  1. Menghibahkan sesuatu dengan maksud mendapatkan imbalan itu makruh.

Contoh:

Orang muslim menghadiahkan sesuatu kepada orang lain dengan maksud orang tersebut membalasnya dengan pemberian yang lebih besar.

Allah berfirman:

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum: 39).

Penerima hadiah mampunyai hak pilih, menerima atau menolak jika menerima, ia harus membalasnya dengan nilai yang sama atau lebih besar.

Rasulullah saw bersabda:

من صنع إليكم معروفا فكافئوه

Barang siapa berbuat baik kepada kalian, maka balaslah” (HR. Ad-Dailami).[4]

C. Syarat-syarat hadiah

Syarat-syarat hadiah adalah sebagai berikut:

1. Ijab, yaitu pertanyaan pemberi kepada orang yang ia tanya tentang sesuatu dan ia beri sesuatu dengan senang hati.

2. Qabul, yaitu penerimaan oleh penerimaan dengan berkata: “Aku terima apa yang engkau berikan kepadaku”, atau ia menyodorkan tangannya untuk menerimanya, karena jika orang muslim memberi sesuatu kepada saudara seagamanya, namun belum diterima oleh penerimaannya, kemudian pemberi meninggal dunia, maka sesuatu tersebut menjadi hak ahli warisanya dan penerima tidak mempunyai hak terhadapnya.

D. Rukun

Rukun-rukun hadiah adalah sebagai berikut:

  1. Ada yang memberi
  2. Ada yang diberi
  3. Ada ijab dan qabul
  4. Ada barang yang diberikan


BAB III

KESIMPULAN

1. Hadiah adalah pemberian seseorang kepada orang lain karena hendak memuliakannya.

2. Hadiah hukumnya sunnah, bahwa hal ini merupakan perbuatan yang baik. Namun hadiah bisa diharamkan apabila sudah mengarah kepada Risywah.

3. Syarat-syarat hadiah adalah adanya ijab dan qabul sedangkan rukunnya meliputi:

a. Ada yang memberi

b. Ada yang diberi

c. Ada ijab dan qabul

d. Ada barang yang diberikan.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Jaziri Abu Bakr Jabir, Ensiklopedia Muslim, Darul Falah, Jakarta, 2006.

Karim, M.A. Dr. Helmi, Fiqih Muamalah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Rasjid, H. Sulaiman, Fiqih Islam, Sinar Algensindo, Bandung, 1998.

Umari, Drs. H. Barmawi, Ilmu Fiqih, Ramdhani, Pelambang, 1985.

Zainuddin. A, S. Ag dan Jambari. Muhammad, S. Ag, Al Islam 2, Muamalah dan Akhlak, Pustaka Setia, Bandung, 1999.



[1]Hadits diriwayatkan oleh Malik

[2]Abu Bakr Jabir al-Jaziri, Ensiklopedi Muslim, (Darul Falah, 2006), hlm. 568.

[3]Ibid. hlm. 569.

[4] Ibid. hlm. 570.

0 comments: