ISTISHAB

Tuesday, December 1, 2009

BAB I

PENDAHULUAN

Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu. Jika seseorang mengatakan:

استصحبت الكتاب في سفري

maka itu artinya: aku membuat buku itu ikut serta bersamaku dalam perjalananku.

Adapun secara terminologi Ushul Fiqih, -sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah:

1. Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut).”

2. Sementara al-Qarafy (w. 486H) –seorang ulama Malikiyah- mendefinisikanistishhab sebagai “keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa ia tetap ada (eksis) sekarang atau di masa datang.”

Definisi ini menunjukkan bahwa istishhab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara –baik itu berupa hukum ataupun benda- di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya. Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini –entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan-, maka selama kita tidak menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain,istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Istishab

1. Pengertian secara bahasa

Pengertian Al Ihtihsab secara bahasa yaitu menuntut bersahabat, atau menuntut beserta atau mencari rekan dan menjadikannya sahabat.

2. Pengertian secara istilah

Pengertian istishab menurut ulama ushul fiqh membawa maksud menetapkan hukum pekerjaan yang ada pada masa lalu, kaerna disangka tidak ada dalil pada masa yang akan datang.[1]

Menurut Al-Asnawy (772 H) bahwa istishab adalah penetapan hukum terhadap suatu perkara dimasa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut.

Sementara menurut imam As Syaukani bahwa arti istishab yaitu menghukumkan sesuatu hukum sama seperti hukum pada masa lalu sehingga ada dalil yang mengubahnya. Sedangkan menurut Ibnu Qayim Istishab yaitu menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan suatu yang memang tiada sampai ada bukti yang merubah kedudukannya.

Jadi dari pengertian diatas, istishab adalah menjadikan hukum suatu peristiwa yang telah ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan hukum itu.

Jadi dari pengertian di atas, istishab adalah menjadikan hukum suatu peristiwa yang telah ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan hukum itu.

Contonya, seorang yang telah yakin bahwa adia telah berwudhu, dianggap tetap berwudhu selama tiada bukti yang membatalkan wudhunya keraguan atas was-wasnya tidak membatalkan wudhu tersebut.

B. Pembagian Istishab

Isitishab terbagi kedalam 4 macam pembagian yaitu:

1. Istishab Al-Ibahah Al-Ashliyyah (Istishab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya):

Yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa mudharat keberadaannya diakui oleh syara dan akal.

Terdapat kaedah fiqh yang selaras dengan istishab Al-Ibahah Al-Ashliyyah yaitu:

الأصل فى الأشياء الإباحة

Hukum asal sesuatu adalah kebolehan

Terdapat firman Allah yang selaras dengan ketentuan istishab Al Ibahah Al-Ashliyyah yaitu:

uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_

Artinya:

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (QS. Al-Baqarah: 29)

Ayat ini menjelaskan bahwa semua ciptaan Allah swt di dunia yaitu untuk kemanfaatan manusia. Maka bolehlah manusia mengambil manfaatnya seperti dimakan, diminum. Selagi ada dalil yang melarang manusia untuk menggunakannya dan ada nash yang melarangnya maka ia wajib meninggalkan perkara tersebut.

2. Istishab Al-Bara’ah Al-Ashliyah, atau hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, sehingga datangnya dalil atau bukti yang memeberikan ia untuk melakukan atau mempertanggung jawabkan sesuatu.

Contohnya: Allah swt berfirman yang artinya:

Orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang memasukkan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata. Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (mengambil riba) dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang kembali mengambil riba maka orang itu adalah penghuni-penghuni mereka kekal di dalamnya”.

Selepas turunnya ayat tentang hukum haramnya memakan riba orang Islam bimbang adakah harta yang didapat dari cara riba sebelum turunnya ayat tersebut. Maka dalam ayat ini telah dijelaskan bahwa perkara jual beli. Sebelum turunnya ayat ini tentang pengharaman riba yaitu dibolehkan berdasarkan prinsif bahwa asal sesuatu terlepas dari pada bebanan (taklif).

3. Istishab hukum ialah istishab yang berdasarkan atas prinsip bahwa sesuatu hukum etap berjalan selama tidak ada dalil yang mengubahnya, selaras dengan itu hukum boleh dan larangan tentang suatu hukum tetap akan berjalan sehingga ada dalil yang melarangnya untuk yang mubah dan ada yang mengharuskannya perkara yang dilarang.

4. Istishab Al Wasf yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan bahwa sifat yang diketahui ada sebelumnya masih tetap ada sehingga ada bukti yang mengubahnya, seperti sifat hidup bagi orang yang hilang, sifat ini dianggap masih tetap melekat pada orang yang hilang sampai ada indikator atas kematiannya kafalah (Jaminan/tanggungan adalah sifat syar’I yang melekat pada orang yang menanggung hingga ia membayar hutangnya).[2]

C. Pendapat Ulama/Fuqaha Tentang Istishab

Ulama fiqh sepakat menggunakan 3 macam istishab yang telah dibahas di atas. Adapun istishab Al-Wasf, diantara ulama fiqh masih terjadi perbedaan pendapat mengenai criteria pemakaian istishab tersebut.

Ulama mazhab Syafi’I dan Hambali menggunakannya secara mutlak artinya Istishab ini boleh dijadikan sebagai dalil dalam menentapkan hukum, baik dalam perkara yang menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan hak yang sudah ada.

Contohnya, ialah orang yang hilang, menurut Isitishab al Wasf seseorang yang telah hilang dan tidak tahu tempatnya tetap dianggap sampai ada bukti yang menunjukkan orang tersebut telah menigngal. Kalau orang itu masih hidup maka orang tersebut akan mendapat haknya seperti mana hak orang hidup yang lain seperti harta dan istrinya masih dianggap miliknya, dan mendapat waris harta jika ahli waris dan istrinya telah meninggal.

Sementara ulama mazhab Hanafi dan Maliki memakai Istishab Al-Wasf sebagai sifat terbatas pada hal yang bersifat penolakan. Bukan bersifat penetapan. Artinya istishab itu tidak menerima masuknya hak-hak baru bagi ampunya sifatnya, akan tetapi mempertahankan hak-hak yang telah dimilikinya.[3]

Kedudukan Istishab Sebagai Metode Istimbat Hukum

Para ulama telah berbeda pendapat dalam menyatakan kedudukan istishab sebagai dalil syara. Kalangan ulama dan mazhab maliki, Hambali dan Syafi’I menjadikan Istishab sebagai dalil yang menetapkan hukum yang telah ada selama tidak ada dalil dalam menetapkan hukum yang mengubahnya. Baik secara qath’I atau zanni maka hukum itu tetap berlaku karena diandaikan belum ada perubahan terhadapnya.

Manakala ada kalangan ulama mutakallimin menyatakan bahwa istishab tidak boleh dijadikan sebagai dalil mereka menyatakan hukum telah ditetapkan pada masa lalu mestilah bersandar kepada dalil, begitu juga menetapkan perkara sekarang dan masa yang akan datang.

Pendapat ulama mutaakhirin menyatakan boleh menerima Istishab sebagai hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa akan datang sehingga ada dalil mengubahnya. Namun istishab tidak boleh digunakan menetapkan hukum yang aka nada (baru).

Jadi berdasarkan pendapat ini sesuatu hukum yang telah berlaku dan tidak ada dalil yang membatalkannya maka hukum tersebut terus berjalan, namun dalam lainnya tidak dipakai dalam menetapkan hukum yang baru.[4]


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Istishab merupakan ketetapan dimasa lampau, berdasarkan hukum asal tetap terus berlaku. Untuk masa sekarang dan amsa yang akan datang, sehinggalah ada bukti yang merubahnya.

1. Istishab Al Ibahah Al Ashliyyah, yaitu berlandaskan kepada prinsip bahwa asal sesuatu itu adalah mubah (harus)

2. Istishab AL-Bara’ah Al Ashliyyah, yaitu hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil yang membebankan ia untuk mempertanggung jawabkan sesuatu.

3. Istishab Hukum yaitu berdasarkan atas prinsip bahwa sesuatu hukum tetap berjalan seslama tidak ada dalil yang mengubahnya.

4. Istishab Al-Wasf yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan bahwa sifat yang diketahui ada sebelumnya masih tetap dia sehingga ada bukti yang mengubahnya, seperti sifat hidup bagi orang yang hilang.

Para ulama bersepakat menyatakan bahwa tiga macam Istishab selain Istishab Al Wasf dapat digunakan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, sedangkan Istishab Al Wasf masih terjadi perselisihan dikalangan para ulama tentang kebolehannya sebagai dalil dalam menentapkan hukum.


DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Ali Madani Busaq, 2000, Dar Al Buhus Liddirasat Al Islamiyah Wa Ihya Itturas, Dubai.

Mukhtar Yahya, 1986. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: PT. Al-Maarif.

Muhammad Abu Zahra, 1994, Ushul Fiqh, Jakarta Djajamurni.

Rahmat Syafi’i, 2007, Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia.



[1] Muhammad Ali Madani Busaq, 2000, Dar Al Buhus Liddirasat Al Islamiyah Wa Ihya Itturas, Dubai. H. 79.

[2]Mukhtar Yahya, 1986. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: PT. Al-Maarif.

[3]Muhammad Abu Zahra, 1994, Ushul Fiqh, Jakarta Djajamurni.

[4]Rahmat Syafi’i, 2007, Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia.

0 comments: