Thursday, February 16, 2023

BAB I

PENDAHULUAN

PERKAWINAN PRIA MUSLIM DENGAN WANITA NON MUSLIM

A. PENGERTIAN PERNIKAHAN (PERKAWINAN)

Secara etimologi,pernikahan berarti Persetubuhan ada pula yang meartikan “perjanjian”(al-aqlu). Secara etimologi pernikahan menurut Abu Hanifah adalah: Aqad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita yang dilakukan dengan sengaja. Menurut mazhab Maliki,Pernikahan adalah:Aqad yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan dari wanita. Menurut mazhab Syafi’i pernikahan adalah :Aqad yang menjamin diperbolehkan persetubuhan ” Sedang Menurut mazhab Hambali adalah:”Aqad yang di dalamnya terdapat lafaz pernikahan secara jelas agar diperbolehkan bercampur. Kalau kita perhatikan keempat definisi tersebut jelas,bahwa yang menjadi inti pokok pernikahan itu adalah aqad (perjanjian)yaitu serah terima antara orang tua calon mempelai wanita dengan calon mempelai pria.Penyerahan dan penerimaan tanggung jawab dalam arti luas,telah terjadi pada saat aqad nikah itu, disamping penghalalan bercampur keduanya sebagai suami isteri.

B. TUJUAN PERKAWINAN

Sedikitnya ada empat macam yang tujuan perkawinan.Keempat macam tujuan perkawinan itu hendaknya benar-benar dapat dipahami oleh calon suami atau isteri,supaya terhindar dari keretan dalam rumah tangga yang biasanya berakhir dengan perceraianyang sangat dibenci oleh Allah.

1. Menentramkan Jiwa

2. Mewujudkan (Melestarikan)Turunan

3. Memenuhi Kebutuhan Biologis

4. Latihan Memiliki Tanggung Jawab

Keempat faktor yang terpenting (menentramkan jiwa,melestarikan turunan,memenuhi kebutuhan biologis dan latihan bertanggung jawab),dari tujuan perkawinan perlu mendapat perhatian dan direnungkan matang- matang ,agar kelangsungan hidup berumah tangga dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan.

BAB II

PEMBAHASAN

A. PERKAWINAN PRIA MUSLIM DENGAN WANITA BUKAN AHLI KITAB

A.Perkawinan pria muslim dengan wanita bukan ahli kitab,terbagi kepada:

1. Perkawinan denagan wanita musyrik

1.Agama Islam tidak memperkenankan pria muslim kawin dengan wanita musyrik,sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik,sebelum mereka beriman.sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,walaupun dia menarik hatimu(al Baqarah: 221)

Nash diatas dengan jelas melarang mengawini wanita musyrik.Demikian juga pendapat para ulama menegaskan demikian.

2. Perkawinan Dengan Wanita Majusi

Pria muslim juga tidak diperbolehkan mengawini wanita majusi(penyembah api),sebab mereka tidak termasuk ahli kitab.Demikian pendapat Jumhur Ulama,dan yang dimaksud dengan ahli kitab adalah yahudi dan nashara.

Sedangkan golongan Zhahariyah memperbolehkan pria muslim kawin drngan wanita majusi karena orang-orang majusi dimasukkan kedalam kelompok ahli kitab.yang dianggap paling tepat adalah pendapat Jumhur Ulama,yaitu pria muslim tidak diperbolehkan kawin dengan wanita majusi,sebab mereka tidak termasuk ahli kitab,sebagaimana ditegaskan dalam fiirman Allah QS al-An’aam:156 yang artinya:

(Kami turunkan Al-quran itu)agar kamu(tidak)menyatakan:Bahwa Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan(Yahudi dan Nasrani) saja sebelum kami dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.

Sekiranya orang-orang majusi dianggap sebagai ahli kitab,makadalam ayat tersebut seharusnya disebut tiga golongan bukan dua golangan.

3. Perkawinan dengan Wanita Shabi’ah

3. Shabi’ah adalah satu golongan dalam agama Nasrani,Shabi’ah dinisbatkan kepada Shab paman Nabi Nuh as.ada pula yang berpendapat dinamakan Shabi’ah karena berpindah dari satu agama kepada agama yang lain.

Ibnul Hamman mengatakan,bahwa orang-orang Shabi’ahadalah golongan yang memadukan antara agama yahudi dan Nasrani.Mereka menyembah bintang-bintang,dalam berbagai buku hadis disebutkan,bahwa mereka termasuk golongan ahli kitab.

Menurut riwayat Umar,bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat mengagungkan hari Sabtu.Sedangkan Mujahidmenganggap,mereka berada diantara agama yahudi dan Nasrani.

Imam Syafi’i mengambil jalan tengah,yaitu apabila mereka lebih mendekati keyakinan mereka kepada salah satu agama(Yahudi atau Nasrani),Maka orang tersebut termasuk

Para ulama ber beda pendapat yang mengatakan termasuk ahli kitab dan ada pula yang mengatakan tidak.Demikian pula maka hukum perkawinan dengan wanita shabi’ahjuga berbeda pendapat.Abu Hanifah berpendapat boleh kawin dengan wanita shabi’ah.sedang Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan asy Syaibani tidak membolehkannya,karena mereka menyembah patung-patung dan bintang-bintang.Pendapat Maliki juga sejalan dengan pendapat iniMazhab Syafii dan mazhab Hambali membuat garis pembatas dalam maslah ini,jika mereka menyerupai orang-orang yahudi atau nasrani dalam prinsip-prinsip agamanya,maka wanita shabi’ah itu boleh dikawini.Tetapi bila berbeda dalam hal-hal prinsip berarti mereka tidak termasuk golongan yahudi atau nasrani dan berarti pula bahwa wanita shabi’ah itu tidak boleh dikawini oleh pria muslim.

4. Perkawinan dengan Wanita Penyembah Berhala

Para ulama telah sepakat bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanit a penyem bah berhala,dan penyembah benda –benda lainya,karena mereka termasuk orang-orang kafir,sebagaimana firman Allah :

Artinya:Dan janganlah kamu berpegang pada tali(perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir...(al-Muntahanah:10)

Pada ayat lain Allah berfirman:

Artinya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman(al-Baraqarah:221)

B. PERKAWINAN PRIA MUSLIM DENGAN WANITA AHLI KITAB

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum perkawinan pria muslim dengan wanita ahli kitab.

1. Menurut pendapat Jumhur Ulama Baik Hanafi,Maliki,Syafi’i maupun Hambali,seorang pria muslim diperbolehkan kawin dengan wanita ahli kitab yang berada dalam lindungan (kekuasaan) negara Islam(ahli Dzimmah)

2. Golongan Syi’ah Imamiah dan syi’ah Zaidiyah berpendapat,bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanita ahli kitab.

Golonagn pertama (Jumhr Ulama) mendasrkan pendapat mereka kepada beberapa dalil Firman Allah dalam surah al-maidah ayat 5 yang artinya:Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.Makanan(sembelihan)orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu,dan makanankamu halal pula bagi mereka (dan dihalalkan mengawini)wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara Jaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu.

Golongan kedua (Syi’ah)melandaskan pendapatnya pada beberapa dalil, Firman Allah:

Artinya:Dan jangan lah kamu nikahi wanits-wanita musyrik,sebelim mereka beriman...(al-Baqarah:221)

Firman Allah:

Artinya:Dan janganlah kamu berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir,(al-Muntahanah:10)

Kalau kita perhatikan pendapat Syi’ah (Imamiyah dan Zaidiyah) maka mereka menganggap bahwa ahli kitab itu musyrik.Akan tetapi didalam Al-quran sendiri dinyatakan bahwa ahli kitab dan musyik itu tidak sama,sebagaimana firman Allah:

Artinya:Sesungguhnya oramg-orang kafir,yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik(akan masuk)keneraka jahanam ,mereka kekal didalamnya.Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk(al-Bayinah:6)

Dalam ayat diatas cukup jelas,bahwa ahli kitab dan musyrik itu berbeda.Kemudian dikalangan Jumhur Ulama membolehkan kawin dengan ahli kitab,juga berbeda pendapat

1. Sebagian mazhab Hanafi,Maliki,Syafi’i dan Hambali mengatakan bahwa perkawinan itu makruh.

2. Menurut pendapat sebagian mazhab Maliki,Ibnul Qosim,Khalil bahwa perkawinan itu diperbolehkan secara mutlak dan ini merupakan pendapat Malik.

3. Az-Zarkasyi(mazhab Syafi’i)mengatakan bahwa pernikahan itu disunatkan apabila wanita ahli kitab itu diharapkan dapat masuk Islam,Sebagai contohnya adalah perkawinan Usman bin Affan dengan Nailah,sebagaimana telah dikemukakan sebelum ini.sebagian mazhab Syafi’i pun ada yang berpendapat demikian.

Kendatipun Jumhur Ulama membolehkan kawin dengan wanita-wanita ahli kitab,akan tetapi perlu direnungkan lebih mendalam tentang dampak negatip dari perkawinan itu.Tujuan berumah tangga (perkawinan) itu adalah untuk memperoleh ketentraman dan ketenangan jiwa serta mendapatkan turunan yang baik-baik(saleh).Apakah mungkin ketenangan jiwa diperoleh dalam suatu rumah tangga yang berlainan akidahdan apakah mungkin mendidik anak-anak yang saleh dalam satu keluarrga yang beragam keyakinan?

Yang lebih aman adalah menghindar dari persoalan-persoalan yang banyak mengandung teka-teki dan memilih jalan yang sudah jelas arahnya,yaitu kawin dengan sesama muslim.Dengan demikian resiko yang dihadapi lebih kecil dalam membina rumah tangga .Dalam agama Islam ada suatu prinsip,yaitu suatu tindakan preventip(pencegahan) Ibaratnya menjaga kesehatan lebih utama atau lebih baik daripada mengobatinya setelah dibiarkan sakit terlebih dahulu.Membenarkan kawin dengan wanita non muslim berarti mengundang penyakit,yaitu penyakitkufur(murtad)memghindari kawin dengan mereka berarti telah mengadakan tindakan preventif.Kaidah fiqh mengatakan: Menghindar dari kemudaratan harus didahulukan atasmencari/menarik maslahat (kebaikan)

Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam,pasal 40 ayat (c),dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria beragama Islam dengan wanita yang tidak beragama Islam.Sebaliknya pasal 44 disebutkan dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang wanita yang beragama Islam dengan pria yang bukan beragama Islam.Apa yang telah ditetapkan dalam Kompilasi hukum Islam itu telah tepat dan keputusan yang amat bijaksana bagi bangsa kita yang mayoritas memeluk agama Islam.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Hukum perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab menurut pendapat Jumhur Ulama diperbolehkan asalkan berada didalam kekuasaan negara islam

2. Menurut Golongan Syi’ah dan Zaidiyah tidak membolehkan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab karena mereka disamakan dengan wanita –wanita musyik atau wanita yang tidak beriman kepada aAllah

3. problem yang mungkin akan dihadapi seandainya laki-laki muslim kawin dengan wanita ahli kitab adalah tidak adanya ketentraman dan ketenangan jiwa serta tidak akan mendapatkan keturunan yang saleh karna tidak mungkin anak yang saleh terdidikdari orang tua yang berlainan agama

DAFTAR PUSTAKA

Abd,Mua’al M.al-Jabri,Perkawinan antar Agama Tinjauan Islam,(terjemahan)Risalah Gusti Surabaya,cet,ke-2 1994

Departemen Agama,Al-Quran dan terjemahannya,Surabaya Mahkota Tahun 1989

Masail Fiqhiyah Al-haditsah pada masalah-masalah kontemporer Hukum Islam M.Ali Hasan.

BABI

PENDAHULUAN

Allah memerintahkan agar berdoa dengan nama-nama Allah dalam Asma’ul Husna. Setiap suatu kepentingan dianjurkannya dengan menyebutkan nama Tuhan yang ada hubungannya dengan kepentingan itu.

Berdoa dan berharap adalah salah satu upaya manusia untuk mencapai sukses terhadap cita- cita atau kehendak dan sekaligus adalah hak manusia yang diberikan oleh Allah Swt. Betapa beruntungnya umat islam yang telah mendapatkan ajaran tentang berdoa, cara dan tertib doa., sikap kejiwaan dalam berdoa, dan lain- lain. Bagi seorang Mukmin/ Muslim, berhasil doanya atau tidak, adalah tetap bernilai ibadah yang pasti mendapatkan pahala dari sisi Allah Swt. Jadi jelasnya bahwa berdoa dengan nama Tuhan yang ada pada Asma’ul Husna adalah salah satu kunci keberhasilan dari doa yang di sampaikan kepada Allah swt.

Selain dari Asma’ul Husna, ada pula yang dinamaka “ISMUL ‘AZHOM” (Nama Allah yang teragung), yang oleh Rasulullah dijelaskan, siapa saja yang berdoa dengan itu, doanya diperkenankan oleh Allah swt. Ada beberapa pendapat Ulama tentang Ismul ‘Azhom dimaksud:

  1. Ismaul ‘Azhom adalah suatu nama yang diberikan Allah kepada seseorang diantaranya kepada orang lain. Hal itu adalah suatu rahasia yang tersembunyi antara lain. Hal itu adalah suatu rahasia yang tersembunyi antara seorang hamba dengan Allah swt.
  2. Ismul ‘Azhom itu bukan hanya satu, tetapi untuk setiap orang yang telah diberikannyaNya adalah berbeda-beda, dan untuk setiap orang yang mendapat itu adalah dengan pribadinya sendiri.
  3. Ismul ‘Azhom tidak berupa suatu nama yang bisa diucapkan dengan lisan atau tulisan, tetapi adalah hakikat dari suatu nama Allah, yang ada pada hamba tanpa disadarinya. (misalnya seseorang yang memiliki sifat/watak KASIH/SAYANG dan berwujud dalam sikap dan tingkah lakunya sehari-hari, lalu pada suatu saat dia memohon kepada Allah dengan menyebutkan “Ya Allah/Ya Rahman/Ya Rahim… kemudian doanya pun diperkenankan oleh Allah swt.

BAB II

PEMBAHASAN

¬!ur âä!$oÿôœF{$# 4Óo_ó¡çtø:$# çnqãã÷Š$$sù $pkÍ5 ( (#râsŒur tûïÏ%©!$# šcrßÅsù=ムþÎû ¾ÏmÍ´¯»yJór& 4 tb÷rtôfãy $tB (#qçR%x. tbqè=yJ÷ètƒ ÇÊÑÉÈ

Artinya:

Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang Telah mereka kerjakan”. (QS. Al-‘Araf: 180)

Ayat ini masih berhubungan dengan ayat yang lalu, hanya saja terdapat sekian pendapat menyangkut hubungan itu. Thahir Ibnu Asyur menyatakan ayat ini ditujukan pada kaum muslimin – disela-sela kecaman kepada kaum musryikin – karena kedurhakaan yang paling besar adalah syirik, yakni mempersekutukan Allah. Dosa ini adalah pembatalan terhadap sifat yang paling khusus bagi Allah, yakni sifat keesaan-Nya. Karena itu – lanjut Ibnu Asyur – setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan kesesatan mereka, kaum muslimin diingatkan agar tampil menuju Allah swt. Dan hendaklah selalu memanggil-Nya dengan nama-nama-Nya yang menunjuk kepada keagungan sifat-sifat ketuhanan, sambil berpaling dari kesesatan kaum musyrikin perbantahan mereka menyangkut nama-nama Allah swt.

Thabathaba’I berpendapat lain, menurutnya ayat ini merupakan upaya memperbaharui penjelasan setelah selesainya pembicaraan ayat-ayat yang lalu. Ini karena keterangan tentang petunjuk-mengitari seruan kepada Allah swt. Dengan nama-nama indah itu. Manusia – lanjut Thabathaba’I – ada yang menamai-Nya dengan nama yang tidak mengadung kecuali apa yang sesuai dengan keagungan-Nya, seperti halnya kelompok yang menisbahkan (menyandangkan) penciptaan, kehidupan, rezeki dan lain-lain kepada materi, alam atau peredaran masa, atau kelompok penyembah berhala yang menisbahkan kebaikan dan keburukan kepada sesembahan mereka; dan ada lagi yang mempercayai-Nya, sebagai Yang Maha Esa tetapi menisbahkan kepada-Nya hal-hal yang tidak wajar, seperti bahwa Dia memiliki jasmani, tempat, dan bahwa ilmu-Nya serupa dengan ilmu makhluk dan lain-lain. Tiga macam sikap manusia itu dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu pertama, yang menyeru-Nya dengan nama-nama indah. mereka itulah yang mendapat petunjuk dan kedua, yang menyimpang dari nama-nama indah itu, dan inilah yang sesat dan diciptakan oleh Allah untuk neraka, masing-masing sesuai dengan kesesatan mereka. Dengan demikian ayat ini menunjuk kepada kesimpulan yang diuraikan oleh ayat yang lalu yang menekankan bahwa hidayat Allah swt, dianugerahkan untuk yang bertekad memperolehnya dan kesesatan diberikan kepada mereka yang memilihnya sebagai jalan hidup. Demikian lebih kurang Thabathaba’i.

Sayyid Quthub menguraikan bahwa kandungan ayat-ayat yang lalu adalah kesaksian manusia dan pengakuannya tentang keesaan Allah (ayat 172-174) bahkan kesaksian seluruh wujud jagad raya tentang keesaan Allah, karena manusia adalah bagian dari seluruh wujud dan tidak dapat memisahkan diri dari hukum-hukumnya. Lebih jauh beliau menjelaskan bahwa setelah ayat yang lalu menampilkan contoh tentang siapa yang menyimpang dari pengakuan akan keesaan itu (ayat 175-179) maka di sini (ayat 180) Allah swt. Mengingatkan kaum muslimin agar mengabaikan mereka yang menyimpang. Yakni kaum musyrikin yang menghadapi ajakan dakwah Islam dengan mempersekutukan Allah swt. Mereka itulah yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya.

Al-Biqa’i secara sangat singkat menyatakan bahwa kalau yang dibicarakan ayat yang lalu menyandang sifat-sifat buruk, dan yang mereka sembah lebih buruk lagi, maka ayat ini melanjutkan penjelasannya dengan menekankan sifat-sifat indah yang disandang Allah, sehingga tidak timbul dugaan bahwa siapa yang disesatkan dan akhirnya masuk ke neraka disebabkan oleh sesuatu yang tidak wajar dari Allah swt. Ini untuk menggaris bawahi bahwa terjerumusnya seseorang ke neraka tidak lain kecuali karena kelalaian mengingat Allah dan keengganan menyeru-Nya dengan sifat-sifat-Nya yang indah. karena itu disini dinyatakan bahwa Hanya milik Allah asma’ al-husna maka bermohonlah kepada-Nya dengannya, yakni dengan menyebut salah satu dari asma al-husna itu, serta namai dan gelarilah Allah dengan nama-nama indah itu agar kamu mendpat petunjuk-Nya serta meraih kebahagian yang kamu harapkan dan tinggalkanlah, yakni abaikan didorong penilaian buruk orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-nama-Nya, atau menyamakan sesuatu yang tidak layak bagi Zat Allah Yang Maha Agung. Nanti di dunia atau di akhirat mereka akan dibalas menyangkut apa yang telah mereka kerjakan serta sesuai dengan kadar kedurhakaan mereka.

Kata (الأسماء) al-asma adalah bentuk jamak dari kata (الإسم) al-ism yang biasa diterjemahkan dengan nama. Ia berakar dari kata (السمو) as-sumuw yang berarti ketinggian, atau (السمة) as-simah yang berarti tanda. Memang nama merupakan tanda bagi sesuatu, sekaligus harus dijunjung tinggi.

Apakah nama sama dengan yang dinamai atau tidak, di sini diuraikan perbedaan pendapat ulama yang berkepanjangan, melelahkan dan menyita energy itu. Namun yang jelas bahwa Allah memiliki apa yang dinamai-Nya sendiri dengan al-asma dan bahwa al-asma itu bersifat husna.

Kata (الحسن) al-husna adalah bentuk muannast/feminim dari kata (احسن) ahsan yang berarti terbaik. Penyifatan nama-nama Allah dengan kata yang berbentuk superlative ini, menunjukkan bahwa nama-nama Allah dengan kata yang berbentuk superlative ini, menunjukkan bahwa nama-nama tersebut bukan saja, tetapi juga yang terbaik dibandingkan dengan yang lainnya, yang dapat disandang-Nya atau baik hanya untuk selain-Nya saja, tapi tidak baik untuk-Nya. Sifat Pengasih – misalnya – adalah baik. Ia dapat disandang oleh makhluk/manusia, tetapi karena asma al-husna (nama-nama yang terbaik) hanya milik Allah, maka pastilah sifat kasih-Nya melebihi sifat kasih makhluk, baik dalam kapasitas kasih maupun substansinya. Di sisi lain sifat pemberani, merupakan sifat yang baik disandang oleh manusia, namun sifat ini tidak wajar disandang Allah, karena keberanian mengandung kaitan dalam substansinya dengan jasmani dan mental, sehingga tidak mungkin disandangkan kepada-Nya. Ini berbda dengan sifat kasih, pemurah, adil dan sebagainya. Contoh lain adalah anak cucu. Kesempurnaan manusia adalah jika ia memiliki keturunan, tetapi sifat kesempurnaan manusia ini, tidak mungkin pula disandang-Nya karena ini mengakibatkan adanya unsur kesamaan Tuhan dengan yang lain, di samping menunnjukkan kebutuhan, sedang hal tersebut mustahil bagi-Nya.

Nah, demikianlah kata (الحسني) al-husna menunjukkan bahwa nama-nama-Nya adalah nama-nama yang amat sempurna, tidak sedikit pun tercemar oleh kekurangan.

Didahulukannya kata (لله) lillah pada firman-Nya (ولله الأسماء الحسني) wa lillah al-asma al-husna menunjukkan bahwa nama-nama indah itu hanya milik Allah semata. Kalau Anda berkata Allah Rahim, maka rahmat-Nya pasti berbeda dengan rahmat si A yang juga boleh jadi Anda sedangkan padanya.

Memang nama/sifat-sifat yang disandang-Nya itu, terambil dari bahasa manusia. Namun, kata yang digunakan saat disandang manusia, pasti selalu mengandung makna kebutuhan serta kekurangan, walaupun ada di antaranya yang tidak dapat dipisahkan dari kekurangan, walaupun ada di antaranya yang tidak dapat dipisahkan dari kekurangan tersebut dan ada pula yang dapat. Keberadaan pada satu tempat, atau arah, atau kepemilikan arah (dimensi waktu dan tempat) tidak mungkin dapat dipisahkan dari manusia. Ini merupakan keniscayaan sekaligus kebutuhan manusia, dan dengan demikian ia tidak disandangkan kepada Allah swt, karena kemustahilan pemisahannya itu. Berbeda dengan kata kuat buat manusia. Kekuatan diperoleh melalui sesuatu yang besifat materi, yakni adanya otot-otot yang berfungsi baik, dalam arti kita membutuhkan otot-otot yang kuat, untuk memiliki kekuatan fisik. Kebutuhan tersebut tentunya tidak sesuai dengan kebesaran Allah swt, sehingga sifat kuat buat Tuhan hanya dapat dipahami dengan menafikan hal-hal yang mengandung makna kekurangan dan atau kebutuhan itu.

Dua dari empat yang berbicara tentang al-asma al-husna pada intinya mengaitkannya dengan doa/ibadah, yaitu ayat surah al-A’raf ini dan firman-Nya. “Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Diam mempunyai al asma al-husna” (QS. Al-Isra [17]: 110).

Ayat-ayat di atas mengajak manusia berdoa/menyeru-Nya dengan sifat-nama-nama yang terbaik itu. Salah satu makna perintah ini adalah ajakan untuk menyesuikan kandungan permohonan dengan sifat yang disandang Allah. Sehingga, jika seseorang memohon rezeki, ia menyeri Allah dengan sifat ar-Razzaq (Maha Pemberi rezeki) misalnya dengan berkata: “Wahai Allah Yang Maha Pemberi rezeki anugerahilah kami rezeki”, jika ampunan yang dimohonkan, maka sifat Ghafir (pengampunan) yang ditonjolkan,”Wahai Allah Yang Maha Pengampun, ampunilah dosa-dosa saya”demikian seterusnya.

Menyebut sifat-sifat yang sesuai, bukan saja dapat mengundang pengabulan doa, etapi juga akan melahirkan ketenangan dan optimism dalam jiwa si pemohon, kaerna permohonan itu larih dari keyakinan bahwa ia bermohon kepada Tuhan yang memiliki apa yang dimohonkannya itu.

Di dalam berdoa dengan nama-nama tersebaut seseorang hendaknya menyadari dua hal pokok, pertama kebesaran dan keagungan Allah dan kedua kelemahan diri dan kebutuhan kepada-Nya. Disinilah letak keberhasilan doa.

Sangat popular berbagai riwayat yang menyatakan bahwa jumlah al-asma al-husna isebanyak Sembilan puluh Sembilan. Salah satu riwayat tersebut berbunyi: “Sesungguhnya Allah memiliki Sembilan puluh Sembilan nama seratus kurang satu – siapa yang ahshaba (mengetahui/menghitung.memeliharanya) maka dia masuk ke surga. Allah ganjil (esa) senang pada yang ganjil” (HR. Bukhari, Muslim, At-Tirmdizi, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain).

Bermacam-macam penafsiran ulama tentang kata (احصاها) ahshaba, antara lain “memahami maknanya, dan mempercayainya”, atau mampu melaksanakan kandungan-Nya, ada juga yang mempercayai kandungan makna-maknanya, ada lagi yang menghafal, memahami maknanya dan mengamalkannya kandungannya. Itu semua dapat dikandung oleh kata tersebut, dan mereka semua insya Allah dapat memperoleh curahan rahmat Ilahi sesuai niat dan usahanya.

Kembali kepada bilangan asma al-husna.

Ibnu Katsir dalam tasfirnya setlah mengutip hadis di atas dari berbagai sumber berkata bahwa: At-Tirmidzi dalam Sunan-nya setelah kalimat: “Allah ganjil (Esa) senang pada yang ganjil.

Jumlah as-maul husna yang terbaca melebihi semblian puluh Sembilan nama, tetapi ada ulama yang menjadikan jumlah asma’ al-husna hanya Sembilan puluh Sembilan sesuai dengan bilangan popular itu dengan tidak meneybut bebarapa nama yang tercantum di atas, seperti Allah dengan alasan bahwa lafadz mulia itu bukan bagian dari asma al-Husna, tetapi asma al-husna adalah nama bagi Allah.

At-Tirmidzi kemudian berkata: “Hadist ini (dengan tambahan nama-nama itu adalah hadis (غريب) gharib, yakni hanya diriwayatkan oleh seorang perawi dan diriwayatkan dari berbagai sumber malului Abu Hurairah. Kami tidak tahu –tulis Ibnu Katsir selanjutnya – dalam banyak riwayat yang lain ada disebutkan nama-nama itu, bahkan ada riwayat lain yang juga berakhir pada Abu Hurairah yang menguraikan nama-nama tersebut dengan penambahan atau pengurangan. Yang dikukuhkan oleh sekian banyak pakar adalah bahwa penyebutan nama-nama tersebut dalam hadis di atas adalah sisipan dan bahwa itu dilakukan oleh sementara ulama setelah menghimpunnya dari al-Qur’an. Karena itu tulis Ibnu Katsir lebih lanjut: Ketahuilah bahwa asma al-Husna tidak terbatas pada Sembilan puluh Sembilan nama.

Memang para ulama yang merujuk kepada al-Quran mempunyai hitungan yang berbeda-beda tentang bilangan al-asma al-husna Thabathaba’i misalnya menyatakan sebanyak seratus dua puluh tujuh, ini – tulisannya – belum lagi bila dilengkapi dengan hadis-hadis yang juga menguraikan nama-nama tersebut Ibnu Barjam al-Andalusi (wafat 536 H) dalam karyanya Syarh al-Asma al-Husna menghimpun 132 nama popular yang menurutnya termasuk dalam asma al-Husna, nama-nama Tuhan yang disepakati dan yang diperselisihkan dan yang bersumber dari para ulama sebelumnya, keseluruhannya melebihi 200 nama. Bahkan Abubakar Ibnul Araby salah seorang ulama bermadzhab Maliki – seperti dikutip oleh Ibnu Katsir – menyebutkan bahwa sebagian ulama telah menghimpun nama-nama Tuhan dari al-Quran dan Sunnah sebanyak seribu nama. Seprti Mutimmu nurihi, Khairul Waritsin, Khairul Makirin dan lain-lain.

Memang, jika merujuk kepada al-Quran dan Sunnah ditemukan sekian banyak kata/nama yang dapat dinilai sebagai asma al-husna, wlau tidak disebut dalam riwayat hadis di atas, misalnya: (المولي) al-Mauwla, (الناصر) an-Nashr, (الغالب) al-Ghalib, (الرب) ar-Rab, (النصير) an-Nashr, (شديد العقاب) Syadidul ‘Iqab, (قابل التوب) Qabilut taub, (غافر الذنب) Gafirudz dzanb, (مولج اليل في النهار ومولج النهار في اليل) Muliju al-laili fi an-nahar wa muliju annahara fi al-lail, (مخرج الحي من الميت ومخرج الميت من الحي) Mukhriju al-Hayya min al-Mayyiti wa mukhriju al-mayyita min al-hayy, dan sebagainya.

Dari hadis ditemukanjuga nama-nama antara lain: (السيد) As-Sayyid, (الديان) Ad-Dayyan, (الحنان) Al-Hannan, (المنان) Al-Mannan, dan masih banyak yang lain. Jika demikian, jelaskan bahwa nama-nama Allah yang indah itu tidak hanya Sembilan puluh Sembilan nama.

Di sisi lain perlu juga ditambahkan bahwa Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya mengklasifikasikan nam-nama Allah dalam beberapa kategori, antara lain:

Pertama:

1. Nama yang boleh juga disandang oleh makhluk (tetapi tentunya dengan kapasitas dan substansi yang berbeda) seperti (كريم حريم، عزيز، لطيف، كبير خالق) Karim, Rahim, Aziz, Lathif, Kabir, Khaliq.

2. Nama yang tidak boleh disandang oleh makhluk, yakni “Allah” dan “Ar-Rahman.” Bagian pertamapun bila disertai dengan b entuk superlative, atau kalimat tertentu, maka ia tidak boleh disandang kecual oleh Allah, seperti (ارحم الراحمين) Arhamr Rahimin (Yang Maha Pengasih di antara para pengasih), (اكرم الاكرمين) Khaliqus samawati wal ardh (penicpta langit dan bumi).

Kedua:

1. Nama-nama yang boleh disebut secara berdiri sendiri seperti Allah, ar-Rahman, ar-Rahim, Karim dan sebagainya.

2. Nama-nama yang tidak boleh disebut kecuali berangaki. Tidak boleh menyebut (مميت) Mumit (yang mematikan) atau (ضار) Dhar (yang menimpakan mudharat) secara berdiri sendiri, tetapi hars berangaki dengan (محي) Muhyi, sehinga diucapkan (محي و مميت) Muhui wa Mumit (yang menghidupkan dan yang mematikan) dan (ياضر يانافع) Ya Dhar Ya Nafi (Wahai yang menimpakan mudharat dan menganugrahkan manfaat).

Kembali ke penafsiran ayat di atas

Kata (ياحدون) yulhidun/menyimpang terambil dari kata (لحدي) lahada yang mengadung makan menyimpang dari arah tengah ke samping. Kuburan dinamai lianh lahad kaerna tanah setelah di gali ke bawah, digali lagi kesamping dan jenazah diletakkan di bagian samping itu. Penguburan di liang lahad bukan seperti penguburan jenazah dibanyak wilayah Asia Tenggara, yang sekedar menggali lubang beberapa meter ke bawah lalu meletakkan jenazah di bagina terakhir tanah yang telah digali ke bawah tanpa ke samping itu.

Makna asal kata tersebut berkembang sehingga berarti batil, atau menyimpang dari kebenaran. Ini karena sesuatu yang ditengah biasanya memberi kesan benar, haq dan baik, maka yang menyimpang dari arah tengah dinilai buruk dan batil. Darisini kata (الحاد) ilhad diartikan keburukan dan kekufuran.

Melakukan penyimpangan dalam nama-nama-Nya berarti memanggil atau menamai-Nya dengan nama yang tidak wajar, atau menolak nama-nama-Nya yang indah seperti menolak nama ar-Rahman (baca QS. Al-Furqan [25]: 60) atau menyebut nama-Nya dalam konteks kekufuran dan kedurhakaan.


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Menghafal kata-kata Asma’ul Husna amat besar faedahnya bagi Umat Islam dan berpahala membacanya bila dilandasi keyakinan dan membenarkan isinya. Lebih dari itu, memahami dan makrifat terhadap makna hakiki yang terkandung di dalamnya akan membawa kea rah pengalaman dan penghayatan, atau dengan kata lain “mendarah daging” dalam kehidupan. Maka dijamin akan mendapatkan surga keindahan dan kenyamanan yang tiada tara.

2. Izmul ‘Azhom (nama yang agung) tidak semua orang bisa mengetahuinya, dan sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw, yang agaknya tersembunyi dalam suatu kalimat yang cukup panjang.

Dengan makrifat yang benar kepada Allah swt, makrifat terhadap Asma-Nya, muncullah “rasa cinta kasih (mahabbah) yang dalam terhadap Pemilik Nama yakni Allah swt. Dan terpadu cinta kasih itu dalam suatu perpaduan yang indah dan mengasyikkan, yang terlihat, terpandang dan terasa hanya “DIA” TERASA LEBUR DAN SIRNA DIRI INI DALAM LAUTAN “BERCINTA KASIH” maka berbahagialah dengan isyarat Allah yang menegaskan:

`yJÏ9ur t$%s{ tP$s)tB ¾ÏmÎn/u Èb$tF¨Zy_ ÇÍÏÈ

Artinya: Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga.


DAFTAR PUSTAKA

Quraish, M. Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al—Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, 2004

POLIGAMI

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus pada suatu saat (berlawanan dengan monogami, di mana seseorang memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat). Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namum poligini merupakan bentuk yang paling umum terjadi. Walaupun diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang oleh sebagian kalangan. Terutama kaum feminis menentang poligini, karena mereka menganggap poligini sebagai bentuk penindasan kepada kaum wanita.  
BAB II
PEMBAHASAN
Poligami atau menikahi dari seorang istri bukan merupakan masalah baru, ia telah ada dalam kehidupan manusia sejak dulu kala di antara berbagai kelompok masyarakat di berbagai kawasan dunia. Orang-orang Arab telah berpoligami bahkan jauh sebelum kedatangan Islam, demikian pula masyarakat lain di sebagian besar kawasan dunia selama masa itu. Bila orang menelaah kitab suci agama yahudi nasrani, maka dia akan mendapatkan bahwa poligami telah merupakan jalan hidup yang diterima. Semua Nabi yang disebutkan dalam Talmud Perjanjian lama, dan Al-Quran, beristri lebih dari seorang kecuali Yesus/Nabi Isa as. Yang kala dia berusaha lebih panjang mungkin juga akan melakukannya, menerima cara yang sama seperti nenek moyangnya. Bahkan di arah sebelumnya Islam, telah dipraktek poligami yang tanpa batas. A. Ayat-ayat dan Hadis Tentang Poligami Dengan tibanya Islam, poligami yang tak terbatas ditetapkan menjadi istri saja pada suatu saat, dengan persyaratan khusus serta juga sejumlah ketentuan yang dikenakan padanya dan akan kita pelajari disini. Hanya ada satu ayat padanya dan kita pelajari di sini. Hanya ada satu ayat al-Quran menyebutkan masalah poligami sebagai berikut:                                Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.(QS. An-Nisa: 3) Ketentuan tentang poligami di atas diperbolehkan dengan bersyarat. Ayat ini secara lebih khusus merujuk pada keadilan yang harus dilakukan terhadap anak-anak yatim. Ayat ini diturunkan segera setelah Perang Uhud ketika masyrakat Muslim dibebankan dengan banyak anak yatim, janda serta tawanan perang. Maka perlakuan itu diatur dengan prinsi-prinsip kemanusian dan keadilan besar. sebagaimana kata Yusuf Ali, Peristiwanya terjadi pada masa lalu, tetapi prinsi-prinsipnya tetap berlaku terus. Kawinlah anak yatim bila engkau yakin bahwa dengan cara itu engaku dapat melindungi kepentinga dan hartanya secara adil terhadap mereka dan terhadap anak-anak yatim melaikan juga merupakan penerapan yang umum atas hukum perkawinan dalam Islam. Oleh karena itu, para ulama dan fuqaha muslim telah menetapkan persyaratan berikut bila seseorang ingin menikahi leibh dari seorang istri. 1. Dia harus memiliki kemampuan dan kekayaan cukup untuk membiayai berbagai kebutuhan denga bertambahnya istri yang dinihainya itu. 2. Dia harus memperlakukan semua istrinya itu deng adil. Setiap istri diperlakukan secara sama dalam memenuhi hak perkawinan mereka serta gak-hak lainnya. Bila seorang lelaki merasa baha dia tak akan mampu memeperlakukaknya mereka degnan adil, atau dia tidak memiliki harta untuk membiayai mereka, maka dia harus menahan dirinya sendiri dengan menihai hanya seorang istri. Imam malik berkata dalam kitabnya Al-Muwattha bahwa Ghaylan bin Salmah memluk Islam sedangkan dia memiliki sepuluh orang istri. Maka Rasulullah saw bersabda: امسك منهن اربعاوفارق سائرهي Artinya: “Peliharalah empat orang di antara mereka dan bebaskalah (ceraikanlah) yang lainnya”. Beristri belih dari satu seorang membuatnya sangat penting bagi si suami agar berlaku seadil mungkin, sebagai yang dimungkinkan orang terhadap setiap istrinya itu. Tujuan utama perkawinan dalam Islam adalah untuk menciptakan suatu keluarga yangsejatera dimana suami dan istri atau istri-istrinya, serta anak-ananya hidup dalam kedamaian, kasih sayang keharmonisan sebagaimana yangdimaksud dalam perintah Al-Qur’an (Q.S 30:21). Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah bahwa Dia (Alla) telah menicptaka untukmu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang dan kedamaian. (QS. 30:21). Denga demikian maka lelaki sebagai ayah dan perempuan sebagai ibu dari anak-anak mereka hidup bersama membentuk suatu keluarga yang utuh. Setiap orang memiliki perangai yang berbeda, namun bila keramahan, kasih sayang dan kedamaian dapat diciptakan dalam keluarga itu, maka seseorang harus membatasi dirinya sendiri dengan apa yang dapat dikelolanya secara mudah yaitu seorang istri. Keadaan berikut merupakan pemecahan terbaik bagi diperbolehkankannya poligami: 1. Bila istri menderita suatu penyakit yang berbahaya seperti lumpuh, ayan, atau penyakit menular. Dalam keadan ini maka akan lebih baik bila ada istri yang lain untuk memenuhi dan melayani berbagai keperluan si suami dan akan-anaknya. Kehadirannya pun akan turut membantu istri yang sakit itu. 2. Bila si istri terbukti mandul dan stelah melalui pemeriksaan medis, para ahli berpendapat bahwa dia tak dapat hami. Maka sebaiknya sumai menikah istri kedua sehingga dia mungkin akan memperoleh keturunan, karena anak merupakan permata kehidupan. 3. Bila istri sakit ingatan. Dalam hal ini tentu suami dan anak-anak sangat menderita. 4. Bila istri telah lanjut usia dan sedemikian lemahnya sehingga tak mampu memenuhi kewajibannya sebagai seorang isri, memelihara rumah tangga dan kekayaan suaminya. 5. Bila suami mendapatkan bahwa istrinya memeliki sifat yang buruk dan tak dapat diperbaiki. Maka secepatnya dia menikahi istri yang lain. 6. Bila dia minggat dari rumah suaminya dan membangkang, sedangkan si suami merasa sakit untuk memperbaikinya. 7. Pada masa perang di mana kaum lelaki terbunuh meninggalkan wanita yang sangat banyak jumlahnya, maka poligami dapat berfungsi sebagai jalan pemecahan yang terbaik. 8. Selain hal-hal tersebut di atas, bila lelai itu merasa bahwa dia tak dapat bekerja tanpa adanya istri kedua untuk memenuhi hajat syahwatnya yang sangat kuat serta dia memiliki harta yang cukup untuk membiayanya, maka sebaiknya dia mengambil istri yang lain. Ada beberapa daerah tertentu di dunia ini di mana kaum lelakinya secara fisik sangat kuat dan tak dapat dipuaskan hanya denga seorang istri. Dalam hal demikian, maka poligami inilah jawabannya. Islam melarang poligami tak terbatas yang dipraktekkan oleh orang-orang jahilliyah Arab maupun bukan Arab. Sudah merupakan kebiasaan para pemimpin dan kepala suku untuk memelihara harem/gundik yang banyak. Bahkan beberapa pengusaha Muslim telah menjadi korban dan melakukan poligami yang tak terbatas pada masa-masa kemudian dari sejarah Islam. Apapun yang mereka lakukan, yang jelas poligami semacam itu tidak diperkenankan dalam Islam. Kalau memeang perlu, seorang Muslim dapat menikahi sampai empat haram khukmnya bagi setiap orang, selain nabi saw, menikahi lebih dari istri empat pada waktu tertentu. B. Hanya Poligami Terbatas yang Dibolehkan Beberapa ulama Zhahiri mengatakan bahwa kata-kata al-Quran matsna berarti “dua,dua”, “tiga,tiga”, dan “ruba”, “artinya “empat-empat” sehingga dengan demikian jumlah yang diizinkan mengembung menjadi delapan belas. Adapula yang berpikrian salah bahwa “Matsa wa tsulatsa wa ruba” dijumlahkan menjadi Sembilan belas, sehingga Islam mengizinkan poligami sampai Sembilan orang istri. Sesungguhnya ini merupakan penafsiran Nabawi atas ayat ini tercantum dalam hadist Nabi saw berikut ini: أن النبي صلي الله عليه وسلم قال لعلاذين اسية الثقغي وقد اسلم و تحته عسر سوة أحترمنهن أربعا وفارق سائرهن Artinya: “Sesungguhnya Nabi saw telah bersabda Ghayalan bin Umayyah Al-Tsaqafi yang telah memeluk Islam dan memiliki sepuluh orang istri: “Pilihlah empat orang dari mereka dan ceraikanyang lain”. Begitu seorang Muslim menikahi lebih dari seorang istri, maka dia bekewajiban untuk memerplakukan mereka secara sama dalam hal makan, kediaman, pakaian, dan bahka hubungan seksual sejauh yang memunkinkan. Bila seorang agar ragu untuk dapat membeikran perlakukan yang sama dalam memenuhi hak mereka, maka dia tak boleh beristri dari seorang. Kalau dia merasa hanya mampu memenui kewajibannya terhadap seorang istri, dia pun tak diperkanankan menikahi yang kedua. Berikutnya; jikadia hanya dapt berlaku adil terhadap dua istri, maka dia tak boelh menikahi tiga. Batas terakhir adalah empat orang istri, bila dia merasa perlu melakukakannya.          •            Artinya: “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinlah seorang saja”. Keadilan yangdisebut dalam ayat ini hanya berhubungan dengan usaha yangdimungkina secara manusiawi. Dalam hal cinta kasih, sekalipun andaikan seorang benar-benar ingin berbuat adil denga tujuan yang tulis dia tetap tak akan mampu melakukanya mengingat keterbatasannya sebagai manusia. Al-Quran menyebutkan kelemahan manusia ini denga kata-kata berikut:            •              Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Sewaktu menjelaskan ayat ini, syeikh Muhammad bin Sirin berkata bahwa ketidak mamuan yang disebutkan dalam al-Quran inilah bertalian denga cinta kasih dan hubungan kelamin. Sedangkan Syikh Abu Bakar bin Al-Arabi berpendapat, “Tak seorangpun yang dapat mengendalikan “rasa” hatinya, karena dia sepenuhnya berada dalam kekuasaan Ilahi”. Demikian pula dalam kehidupan berkeluarga, seorang mungkin merasa lebih senang kepada istri dibandingkan kepada yang lainnya. Dikarenakan hal ini tidak disengaja oleh si suami, maka ia bukan kesalahannya dank arena tak akan dimintai pertanggung jawaban. Ibu orang-orang beriman, Aisyah, telah meriwayatkan sabda nabi saw: كان رسول الله صلي عليه وسلم يعسم في بعدل ويقول اللهم هذا قسصي Artinya: “Adalah rasululah saw selalu mebangikan berbagai hal dan berbuat denga adil )kepada semua istrinya), dan berdo’a: “wahai Allah, inilah pembagian yang dapat aku usahakna, maka janga tuntut aku atas hal yang berada dalam kauasa-Mu, dan aku berkuasa atasnya”. Disini yang dimaksud adalah hati dan hal-hal yang berhubungan denga hati ketika hadis terebut mengatakan: “Hal yang berada dalam kuasa Allah”. (Abu Daud). Setelah memahami aspek yang harus diperlukan secara adil kepada semua istir, maka hadis Bai saw berikut ini dicamkan dalam hati untuk menghidarkan hal-hal yang melampui batas. Rasulullahsaw telah bersabda: “Seorang lelaki yang menikahi lebih dari seorang wanita lalu tidak berlaku adil terhadap merka, niscaya akan dibangkitkan kembali (pada hari akhirat) dengan separuh naggota tubuhnya lumpuh”. Pemeliharaan nilai-nilai yang lebiht tinggi dan menunjang kebaikan harus selalu merupakan tujuan utama. Maka izin untuk menikah leibh dari seorang wanita pada suat uketika, merupakan jalan darurat dan pencegahan yang penting untuk melindungi masyrakat dari kekacauan. C. Pendekatan Modern Terhadap Poligami Terhadap suatu kecednurang yang berkembang yang menganggap beerapa kelembagaan islam ketinggalan zaman bila ia tidak sesuai denga pola kehidupan Barat. Hal ini terutama berhubungan dengan masalah poligami yang sangat ditentang oleh beberapa sarjana. Bahkan mereka telah berusaha untuk menyalah artikan bahwa poligami tidak diperkenankan dalam islam. Ada dua ayat Al-Quran yang mereka sebut memperkuat bantahan mereka yaitu surat an-Nisa, ayat 3 dan 129. ayat menyebutkan.                                Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Sedangkan ayat 129 menyatakan:            •              Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Orang-orang modern itu menganggap ayat 129 tersebut sebagai suatu syarat hukum bagi sahnya poligami. Dikarenakan berlaku adil itu tak dapat dimungkinkan, maka seorang harus membatasi dirinya dalam kenyataannya bahwa “berlaku adil” dalam hal kediaman, pada orang perorangan dan antara satu negeri lainnya, sesuai dengan standar perekonomian masyrakat tersebut. Apa yang perlu mereka berikan di negeri Eropah dalam hal makanan, pakaian dan kediaman tak akan dapat diterapkan di beberapa negeri tertentu di Asia dan Afrika di mana standard an biaya hidup jauh lebih rendah. Oleh karenanya, ia merupakan masalah nurani bagi setiap pribadi suami untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap istri-istrinya berdasarkan pada keadaan sendiri. Bahkan pada sebuah masyarakat tertentu, standar hidup mereka akan berada. Akibat dari masa penjajahan atas negeri-negeri Muslim sangat besar sehingga mereka mengubah hukum status perorangannya serta memaksakan pembatasan-pembatasan pada suami yang mengawini lebih dari seorang istri. Usaha pertama dari perbatasan ini dilakukan oleh Syria pada 1953. Hukum Syria tentang status perorangan (Dekrit No. 59) tahun 1953 menyatakan: “…Hakim berhak menolak izin seorang lelaki yang telah menikahuntuk mengawini wanita lain bila ternyata dia tak mampu untuk menafkahi dua orang istri…” (Artikel 17). Di sini di tetapkan terlarangnya menikahi istri tambahan jika mereka tidak mampu membiayai. Dalam hal ini para ahli Hukum Syria, yang telah dilatih di negeri-negeri Barat, mempertahankan bahwa syariat yang ditetapkan al-Quran Surat An-Nisa ayat tiga harus dipandang sebagai persyaratan hukum positif yang mendahului untuk melakukan poligami serta dipaksakan sedemikian rupa oleh pengadilan bahwa hal-hal yang menjurus pada kesewenangan-kesewenangan harus ditutup. Mereka menetapkan suami yang ingin kawin lagi harus memperoleh izin pengadilan. Di Tunisia, poligami dilarang sama sekali oleh Hukum Status Perorangan tahun 1957. undang-undang Tunisia tentang status perorangan tahun 1957 itu menyatakan: Poligami dilarang, setiap orang yang telah masuk dalam satu ikatan perkawinan lalu menikah lagi sebelum yang terdahulu bubar maka dia dapat dihukum satu tahun penjara dan denda sebesar…. Undang-undang Maroko tahun 1958 mengambil jalan tengah dan melarang poligami dengan syarat bila terdapat adanya kekhawatiran akan perlakuan yang tak adil. Undang-udangn Marokok tentang perorangan tauhn 1985 itu menyebabkan: “Poligami dilarang bila tampaknya akan terjadi perlakuan yang tak adil terhadap para istri tersebut….” (Artikel 30). Ikatan perkawinan terhadap istri kedua tak akan diterima/disetujui sampai dia. Istri kedua itu, diberitahu bahwa calon suaminya telah menikah. Begitu pula di Iraq, Hukum status perorangan tahun 1959 tidak menyatakan bahwa poligami terlarang melainkan menetapkan pembatasan-pembatasannya. Undang-undang Iraq tahun 1959 tentang status peroangan menyatakan: “…tidak diperkenankan menikahi lebih dari seorang wanita tanpa izin dari Hakim. Pemberian izin itu diatur dengan syarat bahwa kondisi keuangan suami memungkinkannya untuk membiayai para istrinya dan hal itu benar-benar demi kemaslahatan mereka.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan Poligami atau menikah lebih dari 1 orang istri atas ketentuan tentang poligami telah diperbolehkan dengan bersyarat. Di dalam al-Quran telah tercantum bahwa secara lebih khusus merujuk pada keadilan yang harus dilakukan dengan istri yang pertama. Serta harus ada kenyataan dari istri pertama harus atas izin istrinya. Karena tujuan utama perkawinan dalam islam adalah untuk menciptakan suatu keluarga yang sejahtera di mana suami dan istri/istri-istrinya, serta anak-anaknya hidup dalam kedamaian, kasih
DAFTAR PUSTAKA
Ramulyo, Idris, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, 1996, Jakarta.