MUSYAWARAH DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN
A. Pendahuluan
Dalam kehidupan bersama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat ataupun bangsa, musyawarah mutlak diperlukan. Dalam proses musyawarah itu berlangsung dialog dan komunikasi sesuai dengan prinsip-prinsip akhlak untuk menegakkan nilai-nilai Islam.
Musyawarah memiliki posisi mendalam dalam kehidupan masyarakat Islam. Bukan sekadar sistem politik pemerintahan, tapi juga merupakan karakter dasar seluruh masyarakat. Seluruh persoalan didasarkan atas musyawarah, lalu dari masyarakat, prinsip ini merembes ke pemerintahan.
Dalam Islam, musyawarah telah menjadi wacana yang sangat menarik. Hal itu terjadi karena istilah ini disebutkan dalam al-Qur’an dan Hadits, sehingga musyawarah secara tekstual merupakan fakta wahyu yang tersurat dan bisa menjadi ajaran normatif dalam Islam. Bahkan menjadi sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan umat manusia, yang dalam setiap detik perkembangan umat manusia, musyawarah senantiasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan di tengah perkembangan kehidupan umat manusia.
Musyawarah yang diajarkan oleh al-Qur’an bisa dianggap sebagai tawaran konsep utuh yang selalu relevan dengan setiap perkembangan politik umat manusia. Bagaimanapun bentuk konsep politik yang terjadi, musyawarah tetap memiliki relevensi yang tidak terbantahkan, karena musyawarah merupakan ajaran yang bersumber langsung dari Tuhan.
Rasulullah adalah orang yang suka bermusyawarah dengan para sahabatnya, bahkan beliau adalah orang yang paling banyak bermusyawarah dengan sahabat. Beliau bermusyawarah dengan mereka di perang badar, perang uhud, perang khandak dan lainnya. Terkadang beliau mengalah dan mengambil pendapat mereka untuk membiasakan mereka bermusyawarah dan berani menyampaikan pendapat dengan bebas sebagaimana di perang uhud. Di Hudaibiyah Rasulullah bermusyawarah dengan Ummu Salamah ketika para sahabatnya enggan bertahallul dari ihram.
Rasulullah telah merumuskan musyawarah dalam masyarakat muslim dengan perkataan dan perbuatan, dan para sahabat dan tabi’in para pendahulu umat Islam mengikuti petunjuk beliau, sehingga musyawarah sudah menjadi salah satu ciri khas dalam masyarakat muslim dalam setiap masa dan tempat.
B. Pengertian Musyawarah
Al-Razi menyatakan, al-musywarah adalah al-syura, demikian juga al-masyurah.[1] Asal kata musyawarah berasal dari kata (ش- و- ر) yang pada mulanya berarti mengeluarkan madu dari sarang lebah.[2] Sedangkan kata (مشاورة) yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja شاور- يشاور berarti meminta pendapat,[3] meminta nasihat atau petunjuk.[4] Sedangkan al-Mahally mengartikan mengeluarkan pendapat.[5]
Secara istilah, Ibn al-’Arabi berkata, sebagian ulama berpendapat bahwa musyawarah adalah berkumpul untuk membicarakan suatu perkara agar masing-masing meminta pendapat yang lain dan mengeluarkan apa saja yang ada dalam dirinya.[6]
Sedangkan al-Alusi menulis dalam kitabnya, bahwa al-Raghib berkata, musyawarah adalah mengeluarkan pendapat dengan mengembalikan sebagiannya pada sebagian yang lain, yakni menimbang satu pendapat dengan pendapat yang lain untuk mendapat satu pendapat yang disepakati.[7]
Dengan demikian musyawarah adalah berkumpulnya manusia untuk membicarakan suatu perkara agar masing-masing mengeluarkan pendapatnya kemudian diambil pendapat yang disepakati bersama.
Musyawarah pada dasarnya hanya dapat digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya, yaitu mengeluarkan madu. Oleh karena itu unsur-unsur musyawarah yang harus dipenuhi adalah; a) Al-Haq; yang dimusyawarahkan adalah kebenaran, b) Al-’Adlu; dalam musyawarah mengandung nilai keadilan, c) Al-Hikmah; dalam musyawarah dilakukan dengan bijaksana.
B. Ayat-ayat Musyawarah.
Dalam al-Qur’an, kata شَوَرَ dengan segala perubahannya berulang 4 kali, yaitu أشَارَ (ت) ,[8] تَشَاوُر,[9] شَاوِر,[10] dan شُوْرَى.[11] Sedangkan kata yang menunjukkan tentang musyawarah ada 3 (tiga): QS. Al-Syura: 38, QS. Al-Baqarah: 233 dan QS. Ali Imran: 159
Pertama, surat al-Syura, ayat 38 (Makkiyyah):
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya, mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka.” (QS. Al-Syura: 38)
Ayat ini di turunkan di Makkah (Makiyyah) sebelum hijrah dan sebelum berdirinya daulah Islamiyah (era Madinah). Ini menunjukan bahwa musyawarah merupakan salah satu karakteristik penting yang khas bagi umat Islam, selain iman kepada Allah, mendirikan shalat, saling menolong dalam masalah ekonomi. Oleh karena itu Allah memuji orang yang melaksanakannya.
Musyawarah merupakan salah satu ibadah terpenting. Oleh sebab itu, masyarakat yang mengingkari atau mengabaikan musyawarah dapat dianggap sebagai masyarakat yang cacat dalam komitmen terhadap salah satu bentuk ibadah.
Dari ayat tersebut di atas dapat diketahui, bahwa sebelum masa hijrah, kaum muslimin sudah mengenal musyawarah. Bahkan sebelum agama Islam datang, masyarakat Arab sudah mengenal musyawarah. Sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an, surat al-Naml: 32, bahwa Ratu (Balqis penguasa negeri Saba’) yang hidup pada masa Nabi Sulaiman dalam kepemimpianannya sering bermusyawarah dengan bawahannya.
Kedua, terdapat dalam surah Al-Baqarah, ayat 233 (Madaniyyah):
لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
“Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya (suami isteri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan antara mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya.
Ayat ini tergolong ayat Madaniyyah yang menjelaskan bagaimana seharusnya hubungan suami isteri sebagai mitra dalam rumah tangga saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak mereka (seperti menyapih anak) dengan jalan musyawarah. Allah juga berfirman,
(#rãÏJs?ù&ur /ä3uZ÷t/ 7$rã÷èoÿÏ3 ( bÎ)ur ÷Län÷| $yès? ßìÅÊ÷äI|¡sù ÿ¼ã&s! 3t÷zé&
“Bicarakanlah di antara kalian segala sesuatu dengan baik dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu untuknya.” (QS. At-Thalaq: 6)
Ibnu katsir mengatakan, Di dalam menyapih anak, kedua orang tua harus mengadakan musyawarah. Tidak diperbolehkan penyapihan yang dilakukan tanpa ada musyawarah.[12] Lebih jauh lagi, dalam berhubungan rumah tangga (suami isteri) baik masalah pendidikan anak-anak mereka, harta benda, rencana pengembangan masa depan mereka dan permasalahan apapun dalam rumah tangga seharusnya dimusyawarahkan antara suami isteri dan juga anak-anaknya. Yang demikian telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim bermusyawarah dengan anaknya (Nabi Ismail),
قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Nabi Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Shaffat: 102)
Ketiga, terdapat dalam surah Ali Imran ayat 159 (Madaniyyah):
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka dengan rahmat dari Allah engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakkallah kepada-Nya.
Dalam ayat-ayat musyawarah di atas tidak ditemukan satupun Asbab al-Nuzul, baik itu dalam kitab Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul karya al-Suyuthi, Asbab al-Nuzul karya al-Wahidi ataupun dalam kitab-kitab Tafsir Salaf. Namun demikian dalam surah Ali Imran ayat 159 dapat dipahami dari penafsiran para ulama, bahwa ayat ini diturunkan seusai perang Uhud. Ketika itu sebagian sahabat ada yang melanggar perintah Nabi. Akibat pelanggarana itu akhirnya menyeret kaum muslimin ke dalam kegagalan sehingga kaum musyirikin dapat mengalahkan mereka (kaum muslimin) dan umat Islam menderita kehilangan tujuh puluh sahabat terbaik, di antaranya adalah Hamzah, Mush’ab dan Sa’ad bin ar Rabi’. Namun Rasulullah tetap diserukan untuk bersabar, tahan uji dan bersikap lemah lembut, tidak mencela kesalahan para sabahatnya dan tetap bermusyawarah dengan mereka, sebagaimana yang terkandung dalam surah Ali Imran ayat 159.
Para sahabat merasa bersalah dan takut kalau Rasulullah tidak mengajak bermusyawarah lagi, karena ide keluar menemui musuh adalah dari mereka. Yang demikian sebagaimana dikatan Muhammad Thahir bin ‘Asyur, Dalam perperangan Uhud Rasulullah menerima ide para sahabat dalam bermusyawarah, yang demikian sumber dari perasaan hina (merasa bersalah) yang ada pada mereka.[13]
Begitu juga Ibnu Katsir mengatakan, bahwa Rasulullah telah bermusyawarah dengan para shahabat dalam perang Uhud untuk menentukan tindakan, tetap tinggal di Madinah atau keluar mengahadapi musuh. Para sahabat memilih keluar menghadapi musuh, maka keluarlah (pasukan muslim) menghadapi mereka.[14]
Kegagalan ini tidak membuat Rasulullah mencela dan membenci mereka pada peperangan Uhud, namun Rasulullah bersikap lemah lembut pada mereka. Yang demikian Allah memberitahukan, bahwa itu semua merupakan taufik yang Allah berikan pada beliau.[15]
Ayat di atas (QS. Ali Imran: 159) secara tekstual ditujukan pada Rasulullah, namun kandungan perintahnya juga untuk para umat setelahnya secara umum.
Dari ayat-ayat tersebut di atas, dapat diambil pelajaran bahwa musyawarah dilakukan dalam tiga aspek.
1. Musyawarah terhadap persoalan keluarga, hal ini karena dalam kehidupan keluarga, khususnya antara suami dengan isteri, terdapat hal-hal yang harus disepakati dan diatasi sehingga kehidupan rumah tangga bisa berjalan dengan baik.
Dari ayat di atas (QS. 2: 233), juga dapat diambil sebuah pelajaran bahwa dalam kehidupan keluarga, persoalan yang tidak terlalu besar saja seperti menyusui harus disepakati melalui proses musyawarah, apalagi persoalan yang lebih besar dan lebih prinsip dari masalah tersebut.
2. Musyawarah terhadap persoaan-persoalan dalam kemasyarakatan (QS. 42:38).
3. Musyawarah terhadap persoalan politik, perjuangan, kenegaraan dan lainnya. Karena itu, ketika Rasulullah Saw memimpin pasukan perang beliau harus bermusyawarah dengan para sahabat yang menjadi pasukannya. Namun pada saat hasil keputusan musyawarah tidak sesuai harapan, maka hal itu tidak boleh membuat seorang pemimpin menjadi emosional. (QS. 3:159)
C. Kedudukan Musyawarah dalam Islam
Islam telah menganjurkan musyawarah dan menjadikannya suatu hal terpuji dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan negara; dan menjadi elemen penting dalam kehidupan umat, ia disebutkan dalam sifat-sifat dasar orang-orang beriman dimana keislaman dan keimanan mereka tidak sempurna kecuali dengannya.
Kedudukan musyawarah sangat agung di sisi Allah. Oleh karenanya Allah menyuruh rasul-Nya melakukannya. Allah berfirman,
وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ
“Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan.” (QS. Ali Imran: 159).
Dalam ayat ini merupakan perintah Allah kepada Nabi untuk berpegang kepadanya. Kalau Nabi sebagai orang yang ma’sum, diperintahkan untuk bermusyawarah dalam masalah urusan umat, maka umatnya sebagai manusia yang tidak maksum lebih-lebih lagi harus melakukan musyawarah.
Ayat di atas seakan-akan berpesan kepada Rasulullah, bahwa musyawarah harus tetap dipertahankan dan dilanjutkan, walaupun terbukti pendapat yang pernah mereka putuskan keliru. Kesalahan mayoritas lebih dapat ditoleransi dan menjadi tanggung jawab bersama, dibandingkan dengan kesalahan seseorang meskipun diakui kejituan pendapatnya sekalipun.
Rasulullah adalah orang yang paling senang dengan bermusyawarah. Abu Hurairah mengatakan,
ما رأيت أحدا أكثر مشاورة لأصحابه من رسول الله صلى الله عليه و سلم (رواه الشافعى و ابن حبّان)
“Saya tidak pernah melihat seseorang yang lebih banyak bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya daripada Rasulullah.[16]
Allah menyerukan Nabi-Nya bermusyawarah untuk menyatukan hati para sahabatnya, dan agar orang-orang setelahnya mengikuti beliau dalam bermusyawarah untuk mengeluarkan pendapatnya apabila wahyu tidak turun, dalam urusan perang, urusan-urusan pokok dan lainnya.[17]
Musyawarah telah menjadi bagian dari kehidupan Rasulullah dan para sahabat, sehingga hampir tidak ada yang tidak dimusyawarahkan oleh beliau pada saat mendapatkan masalah, karena selain musyawarah merupakan perintah Allah, musyawarah juga dapat dijadikan sebagai media untuk menyelesaikan segala problem.
Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa Rasul bersabda,
ما خاب من استخار ولا ندم من استشار
“Tidak akan gagal orang yang senantiasa mengerjakan istikharah untuk menentukan pilihan dan tidak menyesal orang yang mengimplementasikan musyawarah.” (HR. Thabrani, no. 6627. hadits ini dinilai Albani tidak shahih). [18]
Sedangkan Hasan mengatakan,
والله! ما استشار قوم قط إلا هدوا لأفضل ما بحضرتهم، ثم تلا: ? وأمرُهُم شورى بينهم [الشورى: 38]. (رواه البخارى)
“Demi Allah, tidakalah suatu kaum bermusyawarah, kecuali mereka diberi petunjuk, karena keutamaan muhadharah mereka. Kemudian beliau membaca, ‘Sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.”[19]
D. Anggota Musyawarah
Dalam musyawarah dibutuhkan beberapa anggota untuk memecahkan persoalah yang dihadapi. Dengan mengikutsertakan anggota-anggota masyarakat dalam permusyawaratan selain akan menambah ide demi kesempurnaan suatu pemecahan masalah atau suatu rencana, para peserta juga dapat melepaskan suatu yang terpendam dalam hatinya sehingga bebas dari ketidakpuasan dan sekaligus terciptanya rasa memiliki terhadap keputusan tersebut. Perasaan ini biasanya berlanjut pada pertanggungjawaban.
Dalam musyawarah tidak mudah melibatkan seluruh anggota masyarakat, tetapi keterlibatan mereka dapat diwujudkan melalui orang-orang tertentu yang mewakili mereka, yang oleh para pakar diistilahkan Ahl al-Hal wa al-’Aqd[20] atau Ahl al-Ijtihad atau Ahl al-Syura.
Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyatakan, dalam urusan hukum agama seharusnya orang yang berilmu. Sedangkan dalam urusan dunia orang yang diajak musayawarah adalah orang yang berakal (mengerti dalam perkara yang dibicarakan).[21]
Imam syafi’ie mengatakan, orang yang diajak musyawarah adalah orang yang berilmu dan juga dapat dipercaya.[22] Oleh karenanya, tidak sepatutnya mengajak orang bodoh (tidak mengerti permasalahan) untuk musyawarah, karena tidak ada manfaatnya dan juga tidak mengajak orang yang berilmu tapi tidak dapat dipercaya, karena bisa saja dia malah menyesatkan. Rasulullah bersabda,
الْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ. (رواه أبو داود و صححه البانى)
“Yang diajak bermusyawarah (diminta pendapatnya) adalah orang yang dapat dipercaya.”[23]
Musyawarah merupakan persoalan yang dapat mengalami perkembangan dan perubahan, oleh karenanya al-Quran menjelaskan petunjuknya dalam bentuk global (prinsip-prinsip umum), agar petunjuk itu dapat menampung segala perubahan dan perkembangan sosial budaya manusia.
Persoalan yang perlu dimusyawarahkan ada dua pendapat, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qadhi, yaitu: Pendapat pertama: yang dimusyawarahkan adalah urusan dunia, dan pendapat kedua: yang dimusyawarahkan adalah urusan dunia dan akhirat (keagamaan) dan yang ini adalah lebih benar.[24]
Menurut hemat penulis pendapat yang kedua lebih baik dari pendapat pertama. Namun demikian tidak semua persoalan dalam urusan agama dimusyawarahkan. Persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Allah secara qath’i, baik langsung maupun melalui Nabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan. Musyawarah hanya dilakukan pada hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya secara pasti dalam urusan agama.
Inilah di antara yang membedakan antara Musyawarah dalam Islam dengan demokrasi sekuler. Dalam demokrasi sekular persoalan apa pun dapat dibahas dan diputuskan. Tetapi musyawarah yang diajarkan Islam, tidak dibenarkan untuk memusyawarahkan segala sesuatu yang telah ada ketetapannya dari Tuhan secara tegas dan pasti, dan tidak pula dibenarkan menetapkan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Ilahi.
Diriwayatkan dari ‘Amru bin Dinar, beliau berkata, bahwa Ibnu Abbas membaca,
وشاورهم في ( بعض) الأمر. (آل عمران : 159). (رواه بخارى)
“Bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam sebagian urusan”[25]
Dan juga sebagaimana yang diriwayatkan dalam Hadits Thabrani,
قال علي: يا رسول الله أرأيت إن عرض لنا أمر لم ينزل فيه قرآن ولم يخصص فيه بينة منك ؟ قال : تجعلونه شورى بين العابدين من المؤمنين ولا تقضونه برأي خاصة. (رواه الطبرانى)
Ali berkata pada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu jika tanpak suatu persoalan pada kami yang belum ada dalam al-Qur’an dan tidak ada keterangan jelas di dalamnya?’ Rasulullah bersabda, ‘Kalian mengadakan musyawarah dalam persoalan dengan hamba-hamba mu’min dan jangan memutuskan pendapat sendiri.”[26]
Adapun methode pengambilan keputusan dalam musyawarah adalah:
Pertama, dalam masalah hukum agama yang tidak qath‘i (pasti) , maka yang menentukan keputusan dalam hal ini adalah faktor kekuatan dalil; bergantung pada yang paling baik (ahsan). Allah berfirman,
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
”Orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Al-Zumar: 18)
Al-Qusyairi mengatakan, mendengarkan segala sesuatu, namun yang diikuti adalah yang terbaik.[27]
Kedua, dalam perkara yang menjelaskan pelaksanaan suatu aktivitas. Dalam masalah ini, keputusan dikembalikan pada pendapat mayoritas atau dapat dilakukan dengan cara voting. Hal ini sesuai dengan praktik Rasulullah dalam musyawarah saat perang Uhud.
Voting memang bukan jalan satu-satunya dalam musyawarah. Boleh dibilang voting itu hanya jalan keluar (terakhir) dari sebuah deadlock musyawarah. Sebelum voting diambil, seharusnya ada brainstorming. Dari sana akan dibahas dan diperhitungkan secara eksak faktor keuntungan dan kerugiannya. Tentu dengan mengaitkan dengan semua faktor yang ada.
F. Sikap dalam Musyawarah
Sesunguhnya musyawarah adalah di antara bentuk ibadah-ibadah untuk mendekatkan pada Allah.[28] Oleh karena itu, agar musyawarah mendapatkan suatu keputusan yang baik dan diridhai Allah, hendaknya anggota musyawarah memiliki sikap-sikap dalam bermusyawarah sebagaimana yang disebutkan dalam surat Ali Imran: 159 di atas, yaitu:
1. (لِنْتَ لَهُمْ ): Lemah lembut, baik dalam sikap, ucapan maupun perbuatan, bukan dengan sikap emosiaonal dan kata-kata yang kasar, karena hal itu hanya akan menyebabkan orang-orang meninggalkan majelis musyawarah.
2. (فَاعْفُ عَنْهُمْ ): Memberi maaf atas hal-hal buruk yang pernah dilakukan oleh anggota musyawarah sebelumnya. Juga dalam bermusyawarah harus menyiapkan mental pemaaf terhadap orang lain karena bisa jadi dalam proses musyawarah itu akan terjadi hal-hal kurang menyenangkan atas sikap, perkataan atau tindak-tanduk orang lain. Manakala sikap pemaaf ini tidak dimiliki dalam bermusyawarah, hal itu akan berkembang menjadi pertengkaran secara emosional dan berujung pada perpecahan yang melemahnya kekuatan jamaah.
3. (وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ): Memohon ampun pada Allah. Karena dalam bermusyawarah, merupakan suatu kemungkinan berbuat kesalahan yang tidak disadari, baik pada sesama anggota musyawarah ataupun pada Allah. Oleh karena itu Rasulullah mengajarkan doa kaffaratul majlis. Sebgaimana yang diriwayatkan dari Abdullah bin Ja’far, bahwa Rasulullah bersabda,
“(Doa) penghapus dosa dalam majlis, hendaknya seorang hamba mengucapakan,
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ. (رواه أحمد و صححه الأرنؤوط)
“Maha Suci Engkau. Ya Allah, aku memuji-Mu yang tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.” Kecuali diampuni dosanya selama dia berada di majlis itu.”[29]
4. عَزَمْتَ) ): Membulatkan tekad. Seharusnya dalam suatu musyawarah membulatkan tekad dalam mengambil suatu keputusan yang disepakati bersama bukan saling ingin menang sendiri tanpa ada keputusan. Kemudian keputusan-keputusan yang telah diambil harus dijalankan.
5. فَتَوَكَّلْ)): Bertawakkal kepada Allah. Setelah bermusyawarah, seharusnya keputusan yang telah diambil diserahkan pada Allah, karena Dialah yang menentukan segala sesuatu. Ibnu katsir mengatakan, Jika selesai bermusyawarah dan telah membulatkan keputusan, maka bertawakkallah pada Allah.[30] Begitu juga di kemudian hari jika hasilnya tidak sesuai dengan harapan, bertawakkal pada Allah sangat diperlukan, bukan malah saling salah-menyalahkan. Yang demikian itu telah dicontohkan Rasulullah seusai perang Uhud yang memperoleh kegagalan, namun tidak saling salah-menyalahkan.
G. Faidah Musyawarah
Di antara faidah-faidah yang dapat dipetik dari musyawarah adalah:[31]
1. Sesunggunya musyawarah merupakan di antara bentuk ibadah-ibadah sebagai pendekatan pada Allah.
2. Memecahkan masalah-masalah yang terpendam dalam hati.
3. Dalam musyawarah terdapat tukar pikiran. Dengan demikian akan menambah ide-ide (baru).
4. Dengan musyawarah tidak akan saling menyalahkan dalam berbuat (karena ada rasa memiliki terhadap isi keputusan musyawarah tersebut dan dapat mempertanggungjawabkannya secara bersama-sama).
5. Jika harapan dalam musyawarah tidak sesuai harapan bukan suatu hal yang hina.
Di samping itu, faidah yang di dapat dengan musyawarah adalah, dengan musyawarah akan diketahui mana baiknya suatu urusan dan mana jeleknya suatu urusan, keputusan yang akan diambil akan lebih sempurna dibanding tanpa musyawarah, dapat dihindari terjadinya perpecahan yang diakibatkan perbedaan pendapat dan memperkokoh hubungan persaudaraan dengan sesama muslim pada umumnya dan anggota dalam jamaah pada khususnya yang harus saling kuat menguatkan.
H. Kesimpulan
Musyawarah merupakan suatu jalan untuk menciptakan kedamaian dalam kehidupan manusia, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan bahkan dalam suatu negara. Karena musyawarah adalah merupakan suatu bentuk pemberian penghargaan terhadap diri manusia yang ingin diperlakukan sama dalam derajatnya sebagai manusia untuk ikut bersama baik dalam aktivitas kerja maupun pemikiran.
Al-Quran menjelaskan tentang musyawarah dalam bentuk global (prinsip-prinsip umum), agar petunjuk itu dapat menampung segala perubahan dan perkembangan sosial budaya manusia.
Pada masa Rasulullah musyawarah memang belum bisa dikatagorikan telah menjadi lembaga formal, tetapi apa yang dilakukan oleh Rasulullah telah menjadi bagian signifikan dalam pembentukan lembaga syuro pada hari kemudian. Rasulullah dan para sahabat telah meletakkan pondasi sangat penting dalam proses pembentukan lembaga syuro.
Orang-orang yang diajak musyawarah hendaknya orang yang berilmu dan juga dapat dipercaya serta orang yang berpengaruh dalam urusan yang dibahas. Adapun persoalan yang perlu dimusyawarahkan adalah urusan dunia dan keagamaan yang tidak ada petunjuknya dari Allah secara qath’i, baik langsung maupun melalui Nabi-Nya.
Sedangkan dalam bermusyawarah seharunya para anggota memiliki sikap lemah lembut, pemaaf, merasa tidak luput dari salah dan dosa, membulatkan tekad dalam mencari keputusan dan bertawakkal pada Allah.
REFERENSI
Al-Qur'an al-Karim
Abdurrahman bin Nashir bin al-Sa'di, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan (Bairut: Muassasah al-Risalah, 2000) , jilid. 1
Abu Daud, Sunan Abu Daud (Bairut: Dar al-Kitab al-Arabi, t.t.), jilid. 1
Al-Razi, al-Fakhr, Tafsir al-Fakhr al-Razi (Bairut: Dar al-Nasyr, t.t.), jilid 1
Al-Mahilly dan al-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain (Kairo: Dar al-Hadits, t.t.)
Al-Alusi, Mahmud, Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-Qur'an al-Adhim wa al-Sab' al-Matsani (Bairut: Dar al-Ihya' al-Turats al-Arabi, t.t.), jilid.25
Al-Jazairi , Abu Bakar, Aisar al-Tafasir li al-Kalam al-'Ali al-Kabir (Madinah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 2003), jilid. 1
Al-Jauzi , Muhammad, Zad al-Masir fi 'Ilm al-Tafsir (Bairut: al-Maktab al-Islami, t.t.), jilid. 1
Al-Syafi'ie, Musnad al-Syafi'ie (Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.t.), jilid. 1
Al-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir (Mushal: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 1983), jilid. 6 dan jilid. 11
Al-Suyuthi, Jalaluddin, al-Dur al-Mantsur (Bairut: Dar al-Fikr, 1993), jilid. 2
Al-Bani, Shahih al-Adab al-Mufrad li al-Imam al-Bukhari (Bairut: Dar al-Shiddiq, 1421 H), jilid. 1
Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra fi Dzailih al-Jauhar (India: Majlis Dairah al-Ma'arif al-Nidhamiyah al-Kainah, 1344 H), jilid. 10, hal. 110
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir (Beirut: Dar Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi', 1999), jilid. 1 dan jilid. 2
Al-Qurthubi , Syamsuddin, al-Jami' al-Ahkam (Riyadh: Dar 'Alim al-Kutub, 2003), jilid. 4
Ibnu 'Asyur, Muhammad Thahir, al-Tahrir wa al-Tanwir (Tunis: Dar Sahnun li al-Nasyr wa al-Tauzi'', 1997) , jilid. 4
Ibn Hibban, Shahih ibn Hibban (Bairut: Muassasah al-Risalah, 1993)
Ibnu Taimiyah, Majmu' al-Fatawa (Bairut: Dar al-Wafa', 2005), jilid. 28
Ibnu al-Sa'di , Abdurrahman bin Nashir, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir
Kalam al-Mannan (Bairut: Muassasah al-Risalah, 2000) , jilid. 1
Ibn Hambal, Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal (Bairut: Muassasah al-Risalah, 1999), jilid. 2
Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab (Bairut: Dar Shadir, t.t.)
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah (Bairut: Dar al-Masyriq, 1998)
Musthafa, Ibrahim, al-Mu'jam al-Wasith, (Riyadh: Dar al-Da'wah, t.t.)
[1] Al-Fakhr al-Razi, Tafsir al-Fakhr al-Razi (Bairut: Dar al-Nasyr, t.t.), jilid 1, hal. 1291
[2] Ibnu Mandhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab (Bairut: Dar Shadir, t.t.), jilid. 4, hal. 434
[3] Ibrahim Musthafa, al-Mu'jam al-Wasith, (Riyadh: Dar al-Da'wah, t.t.) , jilid 1, hal. 499
[4] Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah (Bairut: Dar al-Masyriq, 1998), hal. 407
[5] Al-Mahilly dan al-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain (Kairo: Dar al-Hadits, t.t.), hal. 88
[6] Ibnu al-A'rabi, ahkam al-Qur'an, jilid. 1, hal. 298
[7] Mahmud al-Alusi, Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-Qur'an al-Adhim wa al-Sab' al-Matsani (Bairut: Dar al-Ihya' al-Turats al-Arabi, t.t.), jilid.25, hal.46
[8] QS. Maryam: 29
[9] QS. Al-Baqarah: 233
[10] QS. Ali Imran: 159
[11] QS. Al-Syura: 38
[12] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir (Beirut: Dar Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi', 1999), jilid. 1, hal. 635
[13] Muhammad Thahir bin 'Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir (Tunis: Dar Sahnun li al-Nasyr wa al-Tauzi'', 1997) , jilid. 4, hal. 147
[14] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir , jilid. 2, hal. 149
[15] Abu Bakar al-Jazairi, Aisar al-Tafasir li al-Kalam al-'Ali al-Kabir (Madinah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 2003), jilid. 1, hal. 402
[16] Al-Syafi'ie, Musnad al-Syafi'ie (Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.t.), jilid. 1, hal. 277, no. 1328. Lihat juga: Ibn Hibban, Shahih ibn Hibban (Bairut: Muassasah al-Risalah, 1993), hal. 11, hal.216, no. 4872
[17] Ibnu Taimiyah, Majmu' al-Fatawa (Bairut: Dar al-Wafa', 2005), jilid. 28, hal. 387
[18] Al-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir (Mushal: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 1983), jilid. 6, hal.365. Lihat juga: Jalaluddin al-Suyuthi, al-Dur al-Mantsur (Bairut: Dar al-Fikr, 1993), jilid. 2, hal. 359
[19] Al-Bani, Shahih al-Adab al-Mufrad li al-Imam al-Bukhari (Bairut: Dar al-Shiddiq, 1421 H), jilid. 1, hal. 116.
[20] Orang yang mempunyai pengaruh di tengah masyarakat, sehingga kecenderungan mereka kepada satu pendapat atau keputusan mereka dapat mengantarkan masyarakat pada hal yang sama.
[21] Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami' al-Ahkam (Riyadh: Dar 'Alim al-Kutub, 2003), jilid. 4, hal. 250
[22] Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra fi Dzailihi al-Jauhar (India: Majlis Dairah al-Ma'arif al-Nidhamiyah al-Kainah, 1344 H), jilid. 10, hal. 110
[23] Abu Daud, Sunan Abu Daud (Bairut: Dar al-Kitab al-Arabi, t.t.), jilid. 1, hal. 203
[24] Muhamma al-Jauzi, Zad al-Masir fi 'Ilm al-Tafsir (Bairut: al-Maktab al-Islami, t.t.), jilid. 1, hal. 489
[25]Al-Bani, Shahih al-Adab al-Mufrad li al-Imam al-Bukhari , jilid. 1, hal. 116.
[26] Al-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jilid. 11, hal.371
[27] Al-Qusyairi, Tafsir al-Qusyairi, jilid. 7, hal. 24
[28] Abdurrahman bin Nashir bin al-Sa'di, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan (Bairut: Muassasah al-Risalah, 2000), jilid. 1, hal. 154
[29]Ahmad ibn Hambal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal (Bairut: Muassasah al-Risalah, 1999), jilid. 2, hal. 369, no. 8804
[30] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, jilid. 2, hal. 150
[31] Abdurrahman bin Nashir bin al-Sa'di, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, jilid. 1, hal. 154
0 comments:
Post a Comment