A. Pembahasan
Hadits mudraj terbagi ke dalam beberapa bagian. Pertama, kemudrajan yang terdapat pada Hadits Nabi, dimana rawinya menuturkan beberapa kalimat di sela-sela Hadits itu. Beberapa kalimat tambahan itu bisa diucapkan oleh rawi itu sendiri, bisa juga diucapkan oleh orang lain. Sedang para rawi sesudahnya menuturkan kalimat-kalimat itu bersambung dalam satu rangkaian redaksi Hadits. Sehingga kalimat-kalimat itu diduga merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari redaksi Hadits.
Kedua, seorang rawi yang mempunyai dua matan dan dua sanad Hadits tapi ia hana meriwayatkan salah satunya. Ketiga, seorang rawi yang menerima Hadits dari kelompok rawi diatasnya yang berbeda-beda dalam sanad atau matannya, ia lalu meriwayatkannya dengan menggabungkan periwayatan orang-orang itu kedalam satu periwayatan. Tiga bentuk Hadits mudraj di atas semuanya diharamkan. Menurut al-Khattib menulis kitab yang lengkap dan berbobot mengnai tema ini.
Definisi Mudraj menurut bahasa yaitu (merupakan isim mafùl dari kata adrajtu) yang berarti aku memasukkan sesuatu pada sesuatu yang lain. Dan menurut istilah yaitu Hadits yang dirubah menurut sanadnya atau matannya dimasuki sesuatu yang bukan menjadi bagiannya, tanpa ada pemisah.
1. Jenis-enis Hadits mudraj
Hadits mudraj itu terdiri dari dua macam : mudraj isnad dan mudraj matan.
a. Mudraj isnad
1. Definisinya : Hadits yang dirubah susunan sanadnya
2. Bentuknya : Seorang rawi menyusun suatu sanad, terhadapnya dilontarkan sanad lain. Lalu si rawi mengucapkan kata-kata yang merupakan pernyataanya sendiri tetapi sebagian orang yang mendengarnya menduga bahwa pernyataannya itu merupakan matamn Hadits. Kemudian hal itu diriwatkan dalam bentuk seprti itu darinya.
3. Contohnya : Kisah Tsabit bin Musa az-Zahid riwayatnya
من
Barangsiapa memperbanyak shalatnya di malam hari, maka pada siang hari wajahnya menjadi indah[1].
Kisahnya bahwa Tsabit bin Musa masuk ke (ruangan) Syarik bin Abdullah al-Qadli, sementara Syarik tengah mendiktekan sesuatu, dan berkata: “Telah bercerita kepada kami al-Amsyi dari Abu Sufyan dari Jabir, yang berkata: "Rasulullah SAW. …..” lalu ia terdiam agar si penulis mencatatnya[2]. Tatkala ia melihat Tsabit, ia berkata: “Barangsiapa memperbanyak shalatnya di malam hari, maka pada siang hari wajahnya menjadi indah”. Hal itu di tujukan kepada Tsabit karena kezuhudan dan sikap wara`nya, namun Tsabit mengira bahwa hal itu merupakan matan Hadits. Lalu ia pun menceritakannnya.
b. Mudraj matan
1. Definisinya: Hadits yang matannya dimasuki sesuatu yang bukan menjadi bagiannya, tanpa pemisah.
2. Jenisnya ada tiga macam
a. Idrajnya dilakukan pada bagian awal (matan) Hadits. Kasus sangat sedikit, karena yang terbanyak justru di bagian tengah.
b. idrajnya dilakukan pada bagian tengah Hadits, ini lebih sedikit dari yang pertama.
c. idraj dilakukan pada bagian Hadits, ini yang paling banyak.
3. CONTOH
a. Contoh Idraj pada bagian awal Hadits: Penyebabnya karena si rawi mengucapkan suatu perkataan yang di maksudkan untuk menunjukkan (menerangkan) Hadits tersebut, tetapi ucapannya itu tanpa ada (tanda) pemisah. Lalu orang mendengarnya mengira hal itu termasuk bagian dari Hadits. Contohnya adalah Hadits yang diriwayatkan al-Khattib melalui riwayat Abu Quthn dan Syababah –beliau memisahkan keduanya- dari Syu`bah dari Muhammad bin Ziyad dari Abu Huraira, yang berkata: `Rasulullah SAW bersabda:
Sempurnakanlah wudlu kalian, karena kecelakaan (berupa api neraka) bagi tumit kalian (yang tidak terkena air wudlu_pen).
Kalimat `sempurnakanlah wudlu kalian`merupakan mudraj, yaitu perkataan Abu Hurairah yang tersusupkan. Hal ini telah dijelaskan oleh Imam Bukhari dari Adam dari Syu`bah dari Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah, yang berkata:
“Sempurnakanlah wudlu kalian, karena Aba al-Qasim SAW yang bersabda: kecelakaan (berupa api neraka) bagi tumit kalian (yang tidak terkena air wudlu-pen).
Al-Khattib berkata: Abu Qathn dan Syababah bersikap ragu dalam meriwayatkan kepadanya dari Syu`bah, ia (al-Khattib) menggabungkan riwayat seperti riwayat (tentang) Adam[3].
b. Contoh idraj di pertengahan Hadits: yaitu Hadits Aisyah tentang permulaan wahyu:
Nabi SAW melakukan tahannuts (menyepi) di gua hhira –beliau beribadah- beberapa malam[4].
Disini terdapat perkataan –wa huwa taàbbud (beliau beribadah). Ini merupakan mudraj dari perkataanya az-Zuhri.
c. Contoh idraj pada bagian akhir Hadits: Hadits Abu Hurairah secara marfu`:
Bagi hamba sahaya yang dimiliki ada dua pahala. Demi dzat yang jiwaku berada ditangannya, seandainya jihad fi sabilillah, menunaikan haji dan berbuat baik terhadap ibuku itu tidak dilakukan, aku lebih menyukai mayi dan aku dalam kondisi sebagai hamba sahya[5].
Perkataan: “Demi dzat yang jiwaku berada ditangannya…, merupakan ucapan Abu Hurairah. Sebab tidak mungkin hal itu berasal dari ucapan Nabi SAW, karena tidak mungkin beliau berandai-andai sebagai budak, lagi pula ibunyasudah tidak ada meskipun beliau berbuat baik kepadanya.
4. TUNTUTAN IDRAJ
Idraj dilakukan karena adanya tuntutan yang bermacam-macam, yang terpopuler, diantaranya:
a. Untuk menjelaskan hukum Syara`.
b. Melakukan Istinbath hukum syar`ì dari Hadits tersebut sebelum Hadits sempurna (diucapkan atau ditulis).
c. untuk menjelaskan lafadz-lafadz yang asing dalam Hadits.
5. Bagaimana mengetahui Hadits mudraj
Hadits mudraj diketahui melalui beberapa hal:
a. Terdapat Hadits (yang terpisah) dalam riwayat lain.
b. Adanya penetapan terhadap Hadits tersebut di bagian iamam dan pakar.
c. Pengkuan rawi itu sendiri bahwa dia telah menyusupkan perkataan.
d. Kemustahilan bahwa hal itumerupakan ucapan Rasulullah SAW.
6. HUKUM HADITS MUDRAJ
Menurut kesepakatan ulama`dari kalangan ahli Hadits, Fuqaha`, dan selain mereka, idraj itu tidak boleh dilakukan. Pengecualiannya hanya untuk menafsirkan lafadz-lafadz Hadits yang asing, hal ini tidak dilarang. Karena itu az-Zuhri dan imam-imam lain telah melakukanya.
7. Al-Fashlu li al-Washli al-Mudrajfi an-Naqli, karya al-Khattib al-Baghdadi.
Taqrib al-Manhajbi Tartib al-Mudraj, karya Ibnu Hajar.
B. ZIYADAAT ATS-TSIQAAT
1. Maksud dari Ziyadaat ats-tsiqat
Ziyadaat merupakan bentuk jama`dari kata ziyadah, sedangkan tsiqaat merupakan jama`dari kata tsiqah. Tsiqah itu adalah orang yang adil lagi dlabith. Yang dimaksud dari ziyadaat ats-tsiqah adalah lafadz tambahan sebagian (rawi) tsiqah yang kita lihat dalam riwayat Hadits dari perawi tsiqah lainnya.
2. Tokoh yang member perhatian
Tambahan-tambahan oleh sebagian rawi tsiqah yang ada pada sebagian hadits hamper terlupakan oleh oara ulama. Diantara mereka ada yang mencermatinya, mengumpulkan dan memahaminya, yang popular antara lain:
a. Abu Bakar Abdullah binMuhammad bin Zayad an-Naisaburi.
b. Abu Nuàim al-Jurjani.
Abu al-Walid Hassan bin Muhammad al-Qursyi.
3. Tempat terjadinya
a. Pada Matan: berupa tambahan kata atau kalimat.
b. Pada sanad: berupa memarfu`kan yang mauquf, atau menyambung yang mursal.
4. Hukum tambahan pada matan
Para ulama` telah berselisih pendapat mengenai hukum tambahan pada matan:
a. Diantara mereka ada yang menerimanya secara mutlak.
b. Ada juga yang menolaknya secara mutlak.
c. Tetapi adajuga yang menolak tambahan dari awal Hadits yang meriwayatkannya dari rawi yang pertama tanpa disertai tambahan, namun menerimanya jika dari yang selainnya[6].
Ibnu Shalah telah membagi Ziyadaat ats-tsiqat sesuai dengan diterima atau ditolak menjadi tiga macam. Pembagiannya termasuk bagus, dan hal itu disepakati oleh Nawawi maupun lainnya itu:
a. Tambahan yang tdak saling meniadakan dari para perawi tsiqah atau yang lebih tsiqah. Hukumnya dapat diterima, sebab hal itu sama seperti Hadits yang diriwayatkan sejumlah rawi tsiqah dari rawi-rawi tsiqah.
b. Tambahan yang saling meniadakan dari para perawi tsiqah atau yang lebih tsiqah. Hukumnya ditolak, sama sseperti Hadits syadz.
c. Tambahan yang didalamnya terdapat jenis yang saling meniadakan dari para perawi tsiqah atau yang lebih tsiqah. Secara ringkas jenis yang saling meniadakan itu ada dua:
1. Taqyid dari yang mutlak.
2. Takhsis yang umum.
Terhadap pembagian Ibnu Shalah tidak berkomentar mengenai hukumnya; tetapi an-Nabawi berkata: “Yang benar, bagian terakhir dapat diterima[7].
5. Contoh tambahan pada matan
a. Contoh tambahan yang tidak saling meniadakan; Hadits yang diriwayatkan Muslim[8] melalui jalur Àli bin Mushir dari al-Àmsyidari Abu Razin dan Abu Shaleh, dari Aabu Hurairah ra, berupa tambahan kata falyuriqhu pada Hadits mengenai jilatan anjing. Seluruh penghafal dari kawan-kawannya A`masy tidak menyabutkan hal itu, mereka meriwayatkan:
Äpabila seekor anjing menjilat bejana kalian, maka basuhlah sebanyak enam kali”.
Tambahan semacam ini sama meperti khabar yang menyendiri dari Ali bin Mushir, sedangkan ia seorang tsiqah. Karena itu tambahan ini dapat diterima.
b. Contoh tambahan yang saling meniadakan: Tambahan yaum àrafah pada Hadits:
“Hai Arafah, hari nahar, dan hari-hari tasyriq merupakan hari raya kita para pemeluk islam; itu merupakan hari-hari untuk makan dan minum”.
Hadits dari seluruh jalur tidak menyertakan tambahan kata tadi. Namun kata tersebut datang dari Musa bin Ali dari Rabah dari bapaknya dari Ùqbah bin Amir, dan Haditsnya dikeluarkan oleh Tirmidzi, Abu Dawud dan lainnya.
c. Contoh tambahan dari salah satu jenis yang saling meniadakan: Hadits yang diriwayatkan Muslim melalui jalur Abi Malik al-Asyjaì dari Ribì dari Hudzaifah, yang berkata: “Rasulullah SAW bersabda:
“…..Dan telah dijadikan bagi kita, bumi itu sebagai masjid dan telah dijadikan bagi kita, debu itu suci”.
Riwayat Abu Malik yang disertai tambahan kata turbatuha menyendiri, dan hal itu tidak pernah disebut-sebut oleh perawi lain. Mereka meriwayatkan Hadits dari redaksi:
“Dan telah dijadikan bagi kita, bumi itu sebagai masjid dan suci”.
6. Hukum tambahan pada sanad
Mengenai tambahan pada sanad, dalam hal ini harus ditempatkan dalam dua hal pnting, yang banyak sekali terjadi, keduanya saling bertentangan baik antara yang bersambung dengan yang mursal, ataupun antara yang marfu`dengan yang mauquf. Sedangkan bentuk tambahan lainnya pada sanad, para ulama`telah mengkhususkan pengkajiannya, seperti dalam topik al-Mazid fi al-Muttashil al-Asanid.
Para ulama`berbeda pendapat mengenai diterima atau ditolaknya hukum tambahan pada sanad menjadi empat kategori:
a. hukumnya bagi riwayat yang bersambung (muttashil) atau marfu`, maka tambahannya dapat diterima. Ini merupakan pendapat jumhur Fuqaha`dan ulama`ushul.
b. Hukum bagi riwayat yang mursaldan mauquf, maka tambahannya ditolak. Ini merupakan pendapat banyak ahli Hadits.
c. Hukumnya berdasarkan pada jumlah (banyaknya). Ini merupakan pendapat sebagian ahli Hadits.
d. Hukumnya berdasarkan hafalan. Ini merupakan pendapat sebagian ahli Hadits.
Contohnya adalah Hadits:
“Tidak ada nikah (melainkan)ada wali”.
Diriwayatkan oleh Yunus bin Abi Ishak as-Sabiì dan anaknya adalah bangsa Israel, dan Qais bin Rabi`dari Abi Ishak dengan status musnad muttashil. Dan riwayat sufyan at-Tsauri dan Syu`bah bin al-Hajjaj dari dari abi Ishak secara mursal[9]
[1]. Dikeluarkan Ibnu Majah, Bab Quyamul al-Lail, juz 1/422, no Hadits 1333
[2] . Penulis (al-Mustamil) adalah orang yang mencatatsi penutur Hadits, jika jumlah para pelajar Hadits di suatu majlis berjumlah banyak.
[3]. Tadrib ar-Rawi, juz 1/270.
[4]. Bukhari, Bab tentang permulaan wahyu.
[5]. Bukhari, Bab tentang al-Ìtqi
[6]. Ùlum al-Hadits, hal.77. dan kitab al-Kifayah, hal.424 dan seterusnya.
[7] At-Taqrib dan at-Tadrib, juz 1/247. Syafiì dan Malik menerima tambahan jenis ini, sedangkan Hanafi menolaknya.
[8] Lihat dalam Muslim dan Syarah Nawawi, juz III/182 dan seterusnya.
[9] Mengenai contoh-contoh perselisihan para perawi mengenai Hadits yang mursal dan muttashil bisa dilihat pada kitab al-Kifayah, hal.409 dan seterusnya.
MUDRAJ
Tuesday, December 1, 2009
Posted by Funnys_home at 6:13 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment