PENDIDIKAN ISLAM

Friday, January 30, 2009

BAB I

PENDAHULUAN

Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya, sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan.

Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi sebaliknya yang terjadi. Saat ini, banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan memakmuran diri, perusahaan dan Negara. Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi. Gelar dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya modal yang selama ini dikeluarkan akan menuai keuntungan. Sistem pendidikan seperti ini sekalipun akan memproduksi anak didik yang memiliki status pendidikan yang tinggi, namun status tersebut tidak akan menjadikan mereka sebagai individu-individu yang beradab. Pendidikan yang bertujuan pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari paradigma pendidikan Barat yang sekular.

Dalam budaya Barat sekular, tingginya pendidikan seseorang tidak berkorespondensi dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang bersangkutan. Dampak dari hegemoni pendidikan Barat terhadap kaum Muslimin adalah banyaknya dari kalangan Muslim memiliki pendidikan yang tinggi, namun dalam kehidupan nyata, mereka belum menjadi Muslim-Muslim yang baik dan berbahagia. Masih ada kesenjangan antara tingginya gelar pendidikan yang diraih dengan rendahnya moral serta akhlak kehidupan Muslim. Ini terjadi disebabkan visi dan misi pendidikan yang pragmatis. Sebenarnya, agama Islam memiliki tujuan yang lebih komprehensif dan integratif dibanding dengan sistem pendidikan sekular yang semata-mata menghasilkan para anak didik yang memiliki paradigma yang pragmatis.

Dalam makalah ini penulis berusaha menggali dan mendeskripsikan tujuan dan sasaran pedidikan dalam Islam secara induktif dengan melihat dalil-dalil naqli yang sudah ada dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, juga memadukannya dalam konteks kebutuhan dari masyarakat secara umum dalam pendidikan, sehingga diharapkan tujuan dan sasaran pendidikan dalam Islam dapat diaplikasikan pada wacana dan realita kekinian.

Memang tidak diragukan bahwa ide mengenai prinsip-prinsip dasar pendidikan banyak tertuang dalam ayat-ayat al Qur’an dan hadits nabi. Dalam hal ini akan dikemukakan ayat ayat atau hadits hadits yang dapat mewakili dan mengandung ide tentang prinsip prinsip dasar tersebut, dengan asumsi dasar, seperti dikatakan an Nahlawi bahwa pendidikan sejati atau maha pendidikan itu adalah Allah yang telah menciptakan fitrah manusia dengan segala potensi dan kelebihan serta menetapkan hukum hukum pertumbuhan, perkembangan, dan interaksinya, sekaligus jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuannya. Prinsip prinsip tersebut adalah sebagai berikut:[1]

Pertama, Prinsip Integrasi. Suatu prinsip yang seharusnya dianut adalah bahwa dunia ini merupakan jembatan menuju kampung akhirat. Karena itu, mempersiapkan diri secara utuh merupakan hal yang tidak dapat dielakkan agar masa kehidupan di dunia ini benar benar bermanfaat untuk bekal yang akan dibawa ke akhirat. Perilaku yang terdidik dan nikmat Tuhan apapun yang didapat dalam kehidupan harus diabdikan untuk mencapai kelayakan kelayakan itu terutama dengan mematuhi keinginan Tuhan. Allah Swt Berfirman, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) kampung akhirat, dan janganlah kanu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi...” (QS. Al Qoshosh: 77). Ayat ini menunjukkan kepada prinsip integritas di mana diri dan segala yang ada padanya dikembangkan pada satu arah, yakni kebajikan dalam rangka pengabdian kepada Tuhan.

Kedua, Prinsip Keseimbangan. Karena ada prinsip integrasi, prinsip keseimbangan merupakan kemestian, sehingga dalam pengembangan dan pembinaan manusia tidak ada kepincangan dan kesenjangan. Keseimbangan antara material dan spiritual, unsur jasmani dan rohani. Pada banyak ayat al-Qur’an Allah menyebutkan iman dan amal secara bersamaan. Tidak kurang dari enam puluh tujuh ayat yang menyebutkan iman dan amal secara besamaan, secara implisit menggambarkan kesatuan yang tidak terpisahkan. Diantaranya adalah QS. Al ‘Ashr: 1-3, “Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal sholeh.” .

Ketiga, Prinsip Persamaan. Prinsip ini berakar dari konsep dasar tentang manusia yang mempunyai kesatuan asal yang tidak membedakan derajat, baik antara jenis kelamin, kedudukan sosial, bangsa, maupun suku, ras, atau warna kulit. Sehingga budak sekalipun mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan. Nabi Muhammad Saw bersabda

“Siapapun di antara seorang laki laki yang mempunyai seorang budak perempuan, lalu diajar dan didiknya dengan ilmu dan pendidikan yang baik kemudian dimerdekakannya lalu dikawininya, maka (laki laki) itu mendapat dua pahala” (HR. Bukhori).

Keempat, Prinsip Pendidikan Seumur Hidup. Sesungguhnya prinsip ini bersumber dari pandangan mengenai kebutuhan dasar manusia dalam kaitan keterbatasan manusia di mana manusia dalam sepanjang hidupnya dihadapkan pada berbagai tantangan dan godaan yang dapat menjerumuskandirinya sendiri ke jurang kehinaan. Dalam hal ini dituntut kedewasaan manusia berupa kemampuan untuk mengakui dan menyesali kesalahan dan kejahatan yang dilakukan, disamping selalu memperbaiki kualitas dirinya. Sebagaimana firman Allah, “Maka siapa yang bertaubat sesuadah kedzaliman dan memperbaiki (dirinya) maka Allah menerima taubatnya....” (QS. Al Maidah: 39).

Kelima, Prinsip Keutamaan. Dengan prinsip ini ditegaskan bahwa pendidikan bukanlah hanya proses mekanik melainkan merupakan proses yang mempunyai ruh dimana segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada keutamaan-keutamaan. Keutamaan-keutamaan tersebut terdiri dari nilai nilai moral. Nilai moral yang paling tinggi adalah tauhid. Sedangkan nilai moral yang paling buruk dan rendah adalah syirik. Dengan prinsip keutamaan ini, pendidik bukan hanya bertugas menyediakan kondisi belajar bagi subjek didik, tetapi lebih dari itu turut membentuk kepribadiannya dengan perlakuan dan keteladanan yang ditunjukkan oleh pendidik tersebut. Nabi Saw bersabda, “Hargailah anak anakmu dan baikkanlah budi pekerti mereka,” (HR. Nasa’i).

Mengenai mekanisme dalam menjalankan pendidikan Islam Dalam karyanya Tahdzibul Akhlak, Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa syariat agama memiliki peran penting dalam meluruskan akhlak remaja, yang membiasakan mereka untuk melakukan perbuatan yang baik, sekaligus mempersiapkan diri mereka untuk menerima kearifan, mengupayakan kebajikan dan mencapai kebahagiaan melalui berpikir dan penalaran yang akurat. Orang tua memiliki kewajiban untuk mendidik mereka agar mentaati syariat ini, agar berbuat baik. Hal ini dapat dijalankan melalui al-mau’izhah (nasehat), al- dharb (dipukul) kalau perlu, al-taubikh (dihardik), diberi janji yang menyenangkan atau tahdzir (diancam) dengan al-‘uqubah (hukuman).[2] (konsep uqubah dalam Islam)

Akan tetapi, Berbeda dengan beberapa pandangan teori di atas, Ibnu Khaldun justru berpandangan sebaliknya. Ia mengatakan bahwa kekerasan dalam bentuk apapun seharusnya tidak dilakukan dalam dunia pendidikan. Karena dalam pandangan Ibnu Khaldun, penggunaan kekerasan dalam pengajaran dapat membahayakan anak didik, apalagi pada anak kecil, kekerasan merupakan bagian dari sifat-sifat buruk. Disamping itu, Ia juga menambahkan bahwa perbuatan yang lahir dari hukuman tidak murni berasal dari keinginan dan kesadaran anak didik. Itu artinya pendidikan dengan metode ini juga sekaligus akan membiasakan seseorang untuk berbohong dikarenakan takut dengan hukuman.[3]



BAB II

TUJUAN PENDIDIKAN

SURAT KE-3 (QS. ALI IMRAN: 137-139)

\s% ôMn=yz `ÏB öNä3Î=ö6s% ×ûsöß (#rçŽÅ¡sù Îû ÇÚöF{$# (#rãÝàR$$sù y#øx. tb%x. èpt6É)»tã tûüÎ/Éjs3ßJø9$# ÇÊÌÐÈ #x»yd ×b$ut/ Ĩ$¨Y=Ïj9 Yèdur ×psàÏãöqtBur šúüÉ)­GßJù=Ïj9 ÇÊÌÑÈ Ÿwur (#qãZÎgs? Ÿwur (#qçRtøtrB ãNçFRr&ur tböqn=ôãF{$# bÎ) OçGYä. tûüÏZÏB÷sB ÇÊÌÒÈ

Sesungguhnya Telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah[4]; Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (Al Quran) Ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Ali Imran: 137-139)

Pertama-tama mengenai sunnah Allah, yang dalam ayat 137 ini digambarkan sebagai suatu kausalitas (hukum sebab akibat) bagi orang yang mendustakan para rasul. Arti mendustakan disini bukannya berdusta kepada para rasul, tetapi menganggap para rasul itu berdusta termasuk berdusta tentang semua ajaran yang disampaikannya atau wahyu yang diturunkan kepadanya. Artinya mereka itu tidak beriman atau percaya kepada ajaran agama yang disampaikan para rasul itu. Ayat ini juga menyiratkan bahwa jejak-jejak langkah orang atau kaum yang mendustakan agama itu banyak bertebaran di muka bumi dan manusia dengan mudah bisa mengamatinya, dengan berjalan dimuka bumi dengan kakinya atau dengan akalnya (secara intelektual).

Maksud mendustakan disini tidak sekedar menganggap semuanya itu dusta secara verbal atau lughawy/ bahasa, tetapi juga dusta amaliah atau prakteknya. Oleh sebab itu mendustakan agama dalam bentuk amal ini adalah tidak mengusahakan agar dampak syariah dari ajaran-ajaran agama itu dapat tercapai, sebagaimana dicuplikkan dalam potongan kalimat pada ayat [107.1] Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? [107.2] Itulah orang yang menghardik anak yafim, [107.3] dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Jadi pengertian mendustakan agama itu sangat lebih luas daripada sekedar menganggap dusta dan tidak mengimani apa yang disampaikan para rasul itu. Al-Qur'an itu adalah juga bayan atau acuan/ referensi jika ingin mendapatkan data, informasi (termasuk informasi ilmu pengetahuan dan teknologi), atau malahan penjelasan yang terperinci (tafshiel) tentang segala sesuatu. [16:89]. (Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami. bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur 'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri

Kata tafshiel yang juga digunakan dalam ayat (7:145) dan banyak ayat-­ayat lainnya, ini secara etimologis berasal dari kata fashshala-yufashshilu-tafshielan yang artinya menguraikan, menganalisa, menjelaskan secara terperinci. Jadi penjelasan secara terperinci pun ada dalam AI-Qur'an terutama yang berkaitan dengan ayat-ayat kauniah. Begitu pula halnya dengan kisah yang bersejarah dan aturan-aturan pernikahan, hukum waris dlsb aturan terperinci yang bermanfaat bagi manusia selain untuk ummat Islam.

Al-Qur'an berisikan hal yang terperinci, apakah mungkin segala sesuatu dapat dijejalkan dalam Al-Qur'an yang hanya 6 ribuan ayat ? Walaupun AI-Qur'an tibyan untuk segala sesuatu, tapi tak semua dijelaskan AI-Qur'an secara terperinci. Kebanyakan bahkan hanya dikedipkan dalam cuplikan, tetesan atau kilatan isyarat ilmiah. Isyarat ilmiah itu hanya bisa dijadikan informasi setelah melalui proses decoding(dekodifikasi) atau sandi-­sandinya dipecahkan atau diuraikan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan yang melibatkan proses rasionalisme (logika dan teori ilmiah) dan empirisme melalui pengamatan dan pengukuran dll pengumpulan data. Sebagai contoh ada suatu data numerik berupa angka yang jelas-jelas besarnya yaitu limapuluh ribu (50.000). [70.4]. Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.

Hanya beberapa temuan ilmiah yang terkait dengan sejarah bumi dll yang tegas-tegas kelihatan relevansinya dengan Al-Ma'arij : 4 ini. Angka ini mungkin merupakan angka atau bilangan kunci dalam menentukan ukuran alam semesta ini, lnilah yang harus dicari jawabannya oleh para ahli. Angka, ini bukan data berbentuk bilangan satu-satunya yang ada dalam AI-Quran, bilangan tujuh juga belum sepenuhnya dapat menjelaskan potongan ayat : " tujuh langit", belum dapat dikoherenkan dengan kesimpulan ilmiah bahwa alam semesta ini mempunyai tujuh lapisan karena kontradiksi dengan peristiwa transendental : Isra dan Mi'raj.

Jadi masih sangat banyak bayan atau tibyan dalam AI-Qur'an yang belum terpecahkan oleh ilmu pengetahuan manusia.

SURAT KE-3 (QS. AL-HAJR: 38-41)

4n<Î) ÏQöqtƒ ÏMø%uqø9$# ÏQqè=÷èyJø9$# ÇÌÑÈ tA$s% Éb>u !$oÿÏ3 ÏZoK÷ƒuqøîr& £`uZÎiƒy_{ öNßgs9 Îû ÇÚöF{$# öNåk¨]tƒÈqøî_{ur tûüÏèuHødr& ÇÌÒÈ žwÎ) šyŠ$t6Ïã ãNåk÷]ÏB šúüÅÁn=øÜßJø9$# ÇÍÉÈ tA$s% #x»yd îÞºuŽÅÀ ¥n?tã íOŠÉ)tGó¡ãB ÇÍÊÈ

Sampai hari (suatu) waktu yang Telah ditentukan.[5] Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau Telah memutuskan bahwa Aku sesat, pasti Aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti Aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis[6] di antara mereka". Allah berfirman: "Ini adalah jalan yang lurus, kewajiban Aku-lah (menjaganya).[7](QS. Al-Hajr: 38-41)

Dalam pasal ini ada beberapa faktor paling signifikan yang membuat manusia tersesat, di antaranya:

  1. Bujuk rayu syetan.
  2. Insiparasi yang datang dari nafsu ammaarah.
  3. Godaan hawa nafsu.

Ketiga hal tersebut merupakan sumber kejahatan dan fitnah serta sumber kesesatan dan kerusakan pada masa-masa kritis.

  1. Bujuk rayu syetan

Allah SWT berfirman (artinya), Iblis berkata: "Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan". Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh." Iblis menjawab: "Karena Engkau Telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)," (Al-A'raaf: 14-17).

Sebagaimana bunyi ayat di atas

Berkata Iblis: "Ya Tuhanku!, (kalau begitu) Maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan." Allah berfirman: "(Kalau begitu) Maka Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai hari waktu yang Telah ditentukan." Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa Aku sesat, pasti Aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti Aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka," (Al-Hijr: 36-40).

1. Trik melepaskan diri dari godaan dan penyesatan syetan

    1. Menjadikan syetan sebagai musuh. Sebagaimana dalam firman Allah:

"Sesungguhnya syetan itu adalah musuh bagi kalian, Maka jadikanlah ia musuh (kalian), karena sesungguhnya syetan-syetan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala," (Fathir: 6).

    1. Mengikuti rambu-rambu yang telah ditentukan oleh Allah dan berjalan di atas jalan yang lurus. Firman Allah SWT:

"Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu", dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus," (Yaasiin: 60-61).

"Dan sesungguhnya (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa," (Al-An'am: 153).

    1. Berusaha menjadi seorang mukmin yang bertawakkal dan memohon perlindungan kepada Allah. Firman Allah SWT, "Apabila kamu membaca Al-Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syetan yang terkutuk. Sesungguhnya syetan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhan-nya. Sesungguhnya kekuasaannya (syetan) hanyalah atas orang-orang yang menjadikannya sebagai wali-wali mereka dan atas orang-orang yang mempersekutukan dengan Allah," (An-Nahl: 98-100).
    2. Senantiasa bersungguh-sungguh menjadi orang yang mengingat Allah, melaksanakan ibadah dan ketaatan kepada-Nya. Firman Allah SWT:

"Barangsiapa yang berpaling dari mengingat Allah yang Maha Pemurah (Al-Quran), maka akan Kami datangkan baginya syetan (yang menyesatkan), maka syetan Itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan Sesungguhnya syetan-syetan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk," (Az-Zukhruf: 36-37).

    1. Senantiasa menumbuhkan ketakwaan kepada Allah dan muraqobah kepada-Nya. Firman Allah SWT:

"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya," (Al-A'raf: 201).

    1. Selalu mengingat, dan sadar setelah dilupakan oleh syetan, menjauhkan diri dari orang-orang yang sesat supaya keimanannya kembali dan selalu berada bersama orang-orang yang bertakwa dan beriman. Firman Allah SWT:

"Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syetan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu)," (Al-An'aam: 68).

  1. Insipirasi Yang datang dari Nafsu Ammarah

Ketika Allah menciptakan jiwa manusia, Ia telah mengiringkan padanya dua kecenderungan, kecenderungan terhadap hal-hal yang baik dan kecenderungan kepada hal-hal yang buruk.

Jika manusia menghiasi dengan akhlak-akhlak terpuji, memuliakan dengan amal shaleh, dan memperbaikinya dengan ilmu dan pengajaran maka jiwa tersebut akan tumbuh di atas pondasi kecenderungan untuk mengikuti petunjuk dan kebaikan.

Adapun jika manusia mengabaikan jiwanya dan meninggalkannya tanpa perhatian sama sekali, sehingga karat jahliyiyah akan menggerogotinya, penyakit kawan-kawan jahat menutupinya, dan lingkungan yang rusak, maka sesungguhnya jiwanya akan tumbuh di atas kecenderungan kuatu untuk berbuat jahat, membuat kerusakan dan melenceng dari jalan yang benar.

Kecenderungan-kecenderungan ini, yang baik ataupun yang buruk pada jiwa manusia, telah dijelaskan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Allah SWT berfirman, Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 7-10).

Rasulullah saw. bersabda (artinya), “Setiap bayi yang dilahirkan itu menurut fitrahnya, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (HR Bukhari).

Imam Al-Ghazali rhm dalam kitabnya Ihya 'Ulumiddin menegaskan makna hadits di atas, yakni perihal kecenderungan dan kesiapan jiwa manusia untuk mengikuti kebaikan atau keburukan dan kesiapannya untuk istiqamah atau melenceng, beliau mengatakan, "Anak itu adalah amanah yang ada di pundak kedua orang tua, hatinya bersih sebersih batu permata mulia, dan jika ia dibinasakan berbuat jahat dan tak dipedulikan layaknya binatang ternak, maka ia akan celaka dan binasa. Adapun cara menjaganya adalah dengan mendidiknya, mengajarinya dan menuntunnya dengan akhlak-akhlak yang terpuji."

Jiwa manusia itu menurut pandangan Al-Qur'an ada tiga macam:

    1. Nafsul amarah bis suu', yaitu jiwa yang selalu memerintahkan kepada hal-hal yang buruk.
    2. Nafsul Lawwamah, yaitu yang selalu menyesali diri sendiri.
    3. Nafsul Muthma'innah, yaitu yang penuh dengan ketenangan.

Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

    1. Nafsul Ammaarah bis Suu' Allah SWT berfirman, "Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang,"(Yusuf: 53).
    2. Nafsul Lawwamah Allah SWT berfirman, "Aku bersumpah demi hari kiamat, Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri),"(Al-Qiyamah: 1-2).

Mujahid menafsirkan ayat di atas, "Ia adalah jiwa yang menyesali dirinya sendiri atas kejahatan atas kejahatan mengapa ia lakukan dan menyesali kebaikan, mengapa ia tidak banyak mengerjakannya. Dan ia senantiasa menyesali meski telah bersungguh-sungguh dalam melakukan keta'atan."

Al-Farra' berkata, "Tiada jiwa yang baik ataupun yang fajir itu melainkan ia menyesali dirinya, jika ia mengerjakan kebaikan, ia mengatakan, 'Mengapa engkau tidak menambahnya lebih banyak?' Dan jika ia melakukan perbuatan buruk, ia mengatakan, 'Duhai kiranya aku tidak mengerjakannya!' Jadi bisa dikata bahwa ia merupakan sanjungan bagi jiwa."

    1. Nafsul Muthma'innah

Allah SWT berfirman, "Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam syurga-Ku," (Al-Fajr: 27-30).

Nafsul mutma'innah adalah jiwa yang teguh dan mantap dalam keimanan, taqwa, dan Islam. Ia merupakan jiwa yang paling atas kedudukan dan tingkatannya, paling tinggi kemuliaan serta kesuciannya dibandingkan dengan dua jiwa sebelumnya. Ia memiliki berbagai keistimewaan: teguh keimanannya, mantap keyakinannya, senantiasa dalam ketaatan, dan istiqamah dalam menempuh jalan Islam.

Adapun sikap dan solusi bagi orang yang diuji bagi orang yang diuji dengan jiwa yang senantiasa mengajak berbuat buruk adalah hendaknya ia mengetahui bahwa ketika Allah meletakkan pada jiwa manusia dan kecenderungan tersebut. Allah menjadikan pula di dalamnya: kebebasan untuk memilih, kekuatan iradah, akal budi, dan fitrah yang bersih. Dengannya memungkinkan bagi jiwa tersebut untuk memenangkan kecenderungan yang baik atas kecenderungan yang buruk, mendorongnya untuk melangkah di atas jalan yang lurus dan menjauhkan dari jalan maksiat dan kefasikan.

Selain itu, Allah tidak membiarkan manusia berjalan tanpa petunjuk dan terpuruk dalam hawa nafsu, akan tetapi Allah menjelaskan padanya jalan dan menerangkan cara untuk menempuh kehidupan di atas petujuk, akal sehat, dan jalan yang lurus.

Mengenai kebebasan memilih, Allah telah terangkan dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada yang kafir,” (Al-Insaan: 3).

Adapun mengenai kekutan irodah (kemauan), Allah SWT berfirman, Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya Jannahlah tempat tinggalnya,” (An-Naazi’aat: 40-41).

Sementara mengenai akal, Allah berfirman, Dan tiadalah kehidupan dunia ini selain dari main-main dan sundau gurau belaka. Dan sungguh kampung akherat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka apakah kalian tidak memikirkannya?” (Al-An’aam: 32).

Sedangkan mengenai fitrah Allah yang diberikan pada jiwa, Allah berfirman, “…(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah…,” (Ar-Ruum: 30)

Adapun mengenai jalan yang telah Allah jelaskan, Allah berfirman, Dan telah kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri,” (An-Nahl: 89).

Selain itu, Allah akan memudahkan bagi manusia untuk menjalankan syari’at. Allah berfirman, “…Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian…,” (Al-Baqarah: 185).

Dengan solusi-solusi dan sikap-sikap tersebut, jiwa manusia menjadi sempurna. Sehingga ia cepat berpindah dari nafsul lawwamah menjadi nafsul muthma’innah.

Demikianlah jiwa manusia kembali kepada kemuliaannya jika ia mau membersihkan fitrah, mengokohkan iman, mengikuti manhaj (rabbani), berpegang teguh pada batas-batas syari’at Allah, berjihad fisabilillah dan meninggikan kalimat-Nya.

  1. Godaan Hawa Nafsu

Yang dimaksud dengan al-hawa al-mutabba’ (hawa nafsu yang diikuti) adalah yang tercela, baik menurut pandangan syar’i maupun akal.

Apabila diperhatikan dengan seksama ayat-ayat Allah yang jelas, hadits-hadits Nabi saw. dan perkataan kaum salaf, niscaya kita dapati bahwa ketiga-tiganya sangat mencela hawa nafsu.

Di antara ayat-ayat Allah yang mencela hawa nafsu adalah firman Allah SWT, “Maka pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan-nya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan penutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya tersesat)? Maka mengapa kalian tidak mengambil pelajaran?” (Al-Jaatsyiah: 23).

“Andaikan kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini dan semua yang ada di dalamnya,” (Al-Mukminuun: 71).

Dan ayat-ayat lain yang senada cukup banyak jumlahnya.

Adapun dalam hadits, Imam Ahmad, Ibnu Majah, dan al-Hakim telah meriwayatkan dari Nabi saw., beliau bersabda, “Orang yang terhormat itu adalah orang yang menundukkan dirinya dan beramal untuk bekal setelah mati, dan orang yang fajir itu adalah seseorang yang dirinya memperturutkan hawa nafsunya dan berangan-berangan memperoleh balasan yang baik dari Allah.”

Dari Abu Umamah berkata, “Aku pernah mendengar Nabi saw. bersabda, ‘Tiada sesuatu di bawah langit ini yang dipertuhankan oleh manusia yang paling dibenci oleh Allah selain daripada hawa nafsu.”

Adapun di antara ucapan para salaf, sebagaimana yang diucapkan oleh sahabat Ibnu Abbas r.a., ia berkata, “Tiadalah Allah menyebut kata hawa nafsu di dalam Al-Qur’an melainkan pasti mencelanya.”

Sahal at-Tsauri berkata, “Hawa nafsumu adalah penyakitmu, jika engkau melawannya, maka ia jadi obatmu.”

Al-Isybaily az-Zahid berkata, “Lawanlah hawa nafsumu dan tentanglah, karena sesungguhnya orang yang mematuhi hawa nafsunya, maka ia akan dilepaskan oleh hawa nafsunya sejahat-jahat pelepasan. Barang siapa yang mematuhi jiwa yang keras kepala maka ia akan melemparkannya ke jurang kebinasaan.”

Dan perkataan para salaf yang senada masih cukup banyak dan tak mungkin disebutkan satu persatu.

Solusi dan Langkah Yang Harus Diambil Untuk Membebaskan Diri Dari Hawa Nafsu

  1. Memperdalam iman.

Yaitu dengan menyakini dari dalam kalbu dan perasaannya bahwa Allah senantiasa menyertainya, mendengarnya, melihatnya, mengetahui apa yang ia nampakkan dan apa yang ia sembunyikan. Allah berfirman, “…tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada pembicaraan antara lima orang melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada pula pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia bersama mereka di mana pun mereka berada,” (Al-Mujaadilah: 7).

  1. Mengisi waktu luang dengan sesuatu yang bermanfaat.

Nabi saw. bersabda, “…tamaklah terhadap sesuatu yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah…” (HR Muslim).

  1. Bergaul dengang orang-orang shaleh.

Nabi saw. bersabda, “Seorang itu mengikuti agama teman karibnya, maka hendaklah seseorang di antara kailan melihat kepada siapa dia berteman karib,” (HR Tirmidzi).

Demikianlah kiat melepaskan diri dari godaan syetan yang menyesatkan dan memohonlah pertolongan kepada Allah untuk melakukannya.

Sumber: Diringkas dari kitab Asy-Syabab al-Muslimu Fii Muwaajahati at-Tahaddiyaati, atau Aktivis Islam Menghadapi Tantangan Global, karya: Dr. Abdullah Nashih 'Ulwan, terj. Abu Abu Abida al-Qudsi (Pustaka Al 'Alaq, 2003), hlm. 19-38.

SURAT KE-3 (QS. AT-TAUBAH: 51)

@è% `©9 !$uZu;ÅÁムžwÎ) $tB |=tFŸ2 ª!$# $uZs9 uqèd $uZ9s9öqtB 4 n?tãur «!$# È@ž2uqtGuŠù=sù šcqãZÏB÷sßJø9$# ÇÎÊÈ

Artinya:

Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang Telah ditetapkan Allah untuk kami. dialah pelindung kami, dan Hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal."(QS. At-Taubah: 51)

Seorang Muslim yang mempunyai kenyakinan yang kokoh terhadap Allah SWT akan selalu berani dan teguh prinsip. Dia sangat yakin, segala sesuatu yang datang padanya adalah atas kuasa-Nya, seperti firman Allah dalam Alquran surat At Taubah (9) ayat 51, ''Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang beriman harus bertawakal.'' Karenanya, tak ada satu alasan pun yang membuatnya takut menjalani hidup.

Imam Al Qurthubi menjelaskan dalam tafsirnya tentang surat At Taubah ayat 51 itu, bahwa ketetapan Allah SWT itu ada di Lauhul Mahfuzh. Juga dikatakan bahwa apa yang Allah SWT kabarkan kepada kita ada di dalam ketetapan-Nya (Lauhul Mahfuzh), baik kita akan mendapatkan kemenangan, dan kemenangan itu baik buat kita, maupun kita bakal terbunuh, dan mati syahid itu jauh lebih baik bagi kita. Segala sesuatunya ada ketentuan Allah di dalamnya.

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah SWT memberikan petunjuk kepada Rasulullah SAW cara menjawab pernyataan musuh-musuh kaum Muslimin. Yaitu, untuk mengatakan kepada mereka: ''Tidak akan menimpa kepada kami kecuali apa yang Allah tetapkan buat kami. Kami di bawah kehendak dan ketentuan Allah. Dialah pemimpin dan pelindung kami. Dan kami pasrah diri kepada-Nya. Cukuplah Dia menjadi penolong kami dan Dia adalah sebaik-baik pelindung.''

Umar bin Al Khathab adalah salah satu contoh Muslim yang memutus urat rasa takutnya dan hanya merendahkan diri di hadapan Allah SWT. Ibnu Asakir menceritakan, setiap orang yang berhijrah tentu melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, kecuali Umar bin Al Khathab. Ketika hendak hijrah, dia menghunus pedangnya, menyandang busurnya, dan memegang anak panahnya, lalu dia pergi ke Ka'bah.

Pada saat itu para pemuka Quraisy sedang berada di serambi Ka'bah. Umar melakukan thawaf mengelilingi Ka'bah tujuh kali lalu mendirikan shalat dua rakaat di dekat Maqam. Kemudian, dia mendekati para pemuka Quraisy yang membentuk beberapa gerombol. Dia berkata ''Siapa yang ingin ibunya mati nelangsa, anaknya menjadi yatim, dan istrinya menjadi janda, maka silakan menghadangku di balik lembah ini, tapi dengan syarat tak seorang pun yang menyertainya.'' Sudah saatnya kaum Muslim belajar dari keberanian pada pendahulunya. Wallahu a'lam bish-shawab.

Tujuan Pendidikan

Sebagaimana ayat-ayat di atas adalah Salah satu aspek penting dan mendasar dalam pendidikan adalah aspek tujuan. Merumuskan tujuan pendidikan merupakan syarat mutlak dalam mendefiniskan pendidikan itu sendiri yang paling tidak didasarkan atas konsep dasar mengenai manusia, alam, dan ilmu serta dengan pertimbangan prinsip prinsip dasarnya. Hal tersebut disebabkan pendidikan adalah upaya yang paling utama, bahkan satu satunya untuk membentuk manusia menurut apa yang dikehendakinya. Karena itu menurut para ahli pendidikan, tujuan pendidikan pada hakekatnya merupakan rumusan-rumusan dari berbagai harapan ataupun keinginan manusia.[8]

Dan harapan-harapan itu juga akan cepat tercapai apabila kita menjalankan apa yang telah diperintahkan oleh Allah swt, sebagaimana ayat-ayat diatas yaitu

1. Memperdalam ilmu dan iman dengan memperhatikan sunah-sunah Allah swt. sebagaimana surat Ali Imran 137-139.

2. Mengisi waktu luang dengan sesuatu yang bermanfaat.

3. Bergaul dengan orang-orang shaleh.

4. Setelah berikhtiar dan berdo’a baru lah kita berserah diri atau bertawakal.

Maka dari itu berdasarkan definisinya, Rupert C. Lodge dalam philosophy of education menyatakan bahwa dalam pengertian yang luas pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman. Sehingga dengan kata lain, kehidupan adalah pendidikan dan pendidikan adalah kehidupan itu. Sedangkan Joe Pack merumuskan pendidikan sebagai “the art or process of imparting or acquiring knomledge and habit through instructional as study”. Dalam definisi ini tekanan kegiatan pendidikan diletakkan pada pengajaran (instruction), sedangkan segi kepribadian yang dibina adalah aspek kognitif dan kebiasaan. Theodore Meyer Greene mengajukan definisi pendidikan yang sangat umum. Menurutnya pendidikan adalah usaha manusia untuk menyiapkan dirinya untuk suatu kehidupan yang bermakna. Alfred North Whitehead menyusun definisi pendidikan yang menekankan segi ketrampilan menggunakan pengetahuan.[9]

Untuk itu, pengertian pendidikan secara umum, yang kemudian dihubungkan dengan Islam -sebagai suatu sistem keagamaan- menimbulkan pengertian pengertian baru yang secara implisit menjelaskan karakteristik karakteristik yang dimilikinya. Pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya, dalam konteks Islam inheren salam konotasi istilah “tarbiyah”, “ta’lim” dan “ta’dib” yang harus dipahami secara bersama-sama. Ketiga istilah itu mengandung makna yang amat dalam menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah istilah itu sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam; informal, formal, dan nonformal.[10]

Ghozali melukiskan tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan hidupnya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya, yakni memberi petunjuk akhlak dan pembersihan jiwa dengan maksud di balik itu membentuk individu-individu yang tertandai dengan sifat-sifat utama dan takwa. Dengan ini pula keutamaan itu akan merata dalam masyarakat.[11]

Hujair AH. Sanaky menyebut istilah tujuan pendidikan Islam dengan visi dan misi pendidikan Islam. Menurutnya sebenarnya pendidikan Islam telah memiki visi dan misi yang ideal, yaitu “Rohmatan Lil ‘Alamin”. Selain itu, sebenarnya konsep dasar filosofis pendidikan Islam lebih mendalam dan menyangkut persoalan hidup multi dimensional, yaitu pendidikan yang tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan manusia, atau lebih khusus lagi sebagai penyiapan kader-kader khalifah dalam rangka membangun kehidupan dunia yang makmur, dinamis, harmonis dan lestari sebagaimana diisyaratkan oleh Allah dalam al Qur’an. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang ideal, sebab visi dan misinya adalah “Rohmatan Lil ‘Alamin”, yaitu untuk membangun kehidupan dunia yang yang makmur, demokratis, adil, damai, taat hukum, dinamis, dan harmonis.[12]

Munzir Hitami berpendapat bahwa tujuan pendidikan tidak terlepas dari tujuan hidup manusia, biarpun dipengaruhi oleh berbagai budaya, pandangan hidup, atau keinginan-keinginan lainnya. Bila dilihat dari ayat-ayat al Qur’an ataupun hadits yang mengisyaratkan tujuan hidup manusia yang sekaligus menjadi tujuan pendidikan, terdapat beberapa macam tujuan, termasuk tujuan yang bersifat teleologik itu sebagai berbau mistik dan takhayul dapat dipahami karena mereka menganut konsep konsep ontologi positivistik yang mendasar kebenaran hanya kepada empiris sensual, yakni sesuatu yang teramati dan terukur.[13]

Qodri Azizy menyebutkan batasan tentang definisi pendidikan agama Islam dalam dua hal, yaitu; a) mendidik peserta didik untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai atau akhlak Islam; b) mendidik peserta didik untuk mempelajari materi ajaran Islam. Sehingga pengertian pendidikan agama Islam merupakan usaha secara sadar dalam memberikan bimbingan kepada anak didik untuk berperilaku sesuai dengan ajaran Islam dan memberikan pelajaran dengan materi-materi tentang pengetahuan Islam.[14]


BAB III

KESIMPULAN

Dari beberapa uraian yang telah penulis kemukakan dari beberapa pendapat para tokoh pendidikian Islam bahwa pendidikan pada dasarnya memiliki beberapa tujuan. Tujuan yang terpenting adalah pembentukan akhlak objek didikan sehingga semua tujuan pendidikan dapat dicapai dengan landasan moral dan etika Islam, yang tentunya memiliki tujuan kemashlahatan di dalam mencapai tujuan tersebut.

Sebagaimana dalam ayat-ayat di atas ada beberapa hal yang harus dilakukan seseorang untuk mencapai tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu:

1. Memperdalam ilmu dan iman dengan memperhatikan sunah-sunah Allah swt. sebagaimana surat Ali Imran 137-139.

2. Mengisi waktu luang dengan sesuatu yang bermanfaat.

3. Bergaul dengang orang-orang shaleh.

4. Setelah berikhtiar dan berdo’a baru lah kita berserah diri atau bertawakal.

Mengenai mekanisme pelaksanaanya, hal ini tentunya memerlukan kajian yang lebih mendalam sehingga nantinya implementasi dari teori tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan dipandang relevan dengan kondisi yang terikat dengan faktor-faktor tertentu.


DAFTAR PUSTAKA

Azizy, Ahmad Qodri A. 2000. Islam dan Permaslahan Sosial; Mencari Jalan Keluar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Azra. Azyumardi. 2002. Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Hitami, Munzir. 2004. Menggagas Kembali Pendidikan Islam. Yogyakarta: Infinite Press

Khaldun, Ibnu. 2001. Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta: Pustaka Firdaus

Miskawaih, Ibnu. Tanpa tahun. Tahzib al-Akhlaq, Mesir: al-Mathbah al-Husainiyyah

Sanaky, Hujair AH. 2003. Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI

Tafsir, Ahmad. 2002. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya



[1] Munzir Hitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, Yogyakarta: Infinite Press, 2004, hal. 25-30

[2] Ibnu Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, Mesir: al-Mathbah al-Husainiyyah, tanpa tahun, hal. 27

[3] Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, hal. 763

[4] yang dimaksud dengan sunnah Allah di sini ialah hukuman-hukuman Allah yang berupa malapetaka, bencana yang ditimpakan kepada orang-orang yang mendustakan rasul.

[5] yakni waktu tiupan pertama tanda permulaan hari kiamat.

[6] yang dimaksud dengan mukhlis ialah orang-orang yang Telah diberi taufiq untuk mentaati segala petunjuk dan perintah Allah s.w.t.

[7] Maksudnya pemberian taufiq dari Allah s.w.t. untuk mentaati-Nya, sehingga seseorang terlepas dari tipu daya syaitan mengikuti jalan yang lurus yang dijaga Allah s.w.t. jadi sesat atau tidaknya seseorang adalah Allah yang menentukan.

[8] Hilda Taba dalam Munzir Hitami, Ibid, hal. 32

[9] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002, hal. 6

[10] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002, hal. 5

[11] Sulaiman, dalam Ibid, hal. 33

[12] Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI, hal. 142

[13] Munzir Hitami, Op. Cit, hal. 32

[14] Ahmad Qodri Azizy, Islam dan Permaslahan Sosial; Mencari Jalan Keluar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 22

0 comments: