BABI
PENDAHULUAN
Allah memerintahkan agar berdoa dengan nama-nama Allah dalam Asma’ul Husna. Setiap suatu kepentingan dianjurkannya dengan menyebutkan nama Tuhan yang ada hubungannya dengan kepentingan itu.
Berdoa dan berharap adalah salah satu upaya manusia untuk mencapai sukses terhadap cita- cita atau kehendak dan sekaligus adalah hak manusia yang diberikan oleh Allah Swt. Betapa beruntungnya umat islam yang telah mendapatkan ajaran tentang berdoa, cara dan tertib doa., sikap kejiwaan dalam berdoa, dan lain- lain. Bagi seorang Mukmin/ Muslim, berhasil doanya atau tidak, adalah tetap bernilai ibadah yang pasti mendapatkan pahala dari sisi Allah Swt. Jadi jelasnya bahwa berdoa dengan nama Tuhan yang ada pada Asma’ul Husna adalah salah satu kunci keberhasilan dari doa yang di sampaikan kepada Allah swt.
Selain dari Asma’ul Husna, ada pula yang dinamaka “ISMUL ‘AZHOM” (Nama Allah yang teragung), yang oleh Rasulullah dijelaskan, siapa saja yang berdoa dengan itu, doanya diperkenankan oleh Allah swt.
- Ismaul ‘Azhom adalah suatu nama yang diberikan Allah kepada seseorang diantaranya kepada orang lain. Hal itu adalah suatu rahasia yang tersembunyi antara lain. Hal itu adalah suatu rahasia yang tersembunyi antara seorang hamba dengan Allah swt.
- Ismul ‘Azhom itu bukan hanya satu, tetapi untuk setiap orang yang telah diberikannyaNya adalah berbeda-beda, dan untuk setiap orang yang mendapat itu adalah dengan pribadinya sendiri.
- Ismul ‘Azhom tidak berupa suatu nama yang bisa diucapkan dengan lisan atau tulisan, tetapi adalah hakikat dari suatu nama Allah, yang ada pada hamba tanpa disadarinya. (misalnya seseorang yang memiliki sifat/watak KASIH/SAYANG dan berwujud dalam sikap dan tingkah lakunya sehari-hari, lalu pada suatu saat dia memohon kepada Allah dengan menyebutkan “Ya Allah/Ya Rahman/Ya Rahim… kemudian doanya pun diperkenankan oleh Allah swt.
BAB II
PEMBAHASAN
Artinya:
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang Telah mereka kerjakan”. (QS. Al-‘Araf: 180)
Ayat ini masih berhubungan dengan ayat yang lalu, hanya saja terdapat sekian pendapat menyangkut hubungan itu. Thahir Ibnu Asyur menyatakan ayat ini ditujukan pada kaum muslimin – disela-sela kecaman kepada kaum musryikin – karena kedurhakaan yang paling besar adalah syirik, yakni mempersekutukan Allah. Dosa ini adalah pembatalan terhadap sifat yang paling khusus bagi Allah, yakni sifat keesaan-Nya. Karena itu – lanjut Ibnu Asyur – setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan kesesatan mereka, kaum muslimin diingatkan agar tampil menuju Allah swt. Dan hendaklah selalu memanggil-Nya dengan nama-nama-Nya yang menunjuk kepada keagungan sifat-sifat ketuhanan, sambil berpaling dari kesesatan kaum musyrikin perbantahan mereka menyangkut nama-nama Allah swt.
Thabathaba’I berpendapat lain, menurutnya ayat ini merupakan upaya memperbaharui penjelasan setelah selesainya pembicaraan ayat-ayat yang lalu. Ini karena keterangan tentang petunjuk-mengitari seruan kepada Allah swt. Dengan nama-nama indah itu. Manusia – lanjut Thabathaba’I – ada yang menamai-Nya dengan nama yang tidak mengadung kecuali apa yang sesuai dengan keagungan-Nya, seperti halnya kelompok yang menisbahkan (menyandangkan) penciptaan, kehidupan, rezeki dan lain-lain kepada materi, alam atau peredaran masa, atau kelompok penyembah berhala yang menisbahkan kebaikan dan keburukan kepada sesembahan mereka; dan ada lagi yang mempercayai-Nya, sebagai Yang Maha Esa tetapi menisbahkan kepada-Nya hal-hal yang tidak wajar, seperti bahwa Dia memiliki jasmani, tempat, dan bahwa ilmu-Nya serupa dengan ilmu makhluk dan lain-lain. Tiga macam sikap manusia itu dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu pertama, yang menyeru-Nya dengan nama-nama indah. mereka itulah yang mendapat petunjuk dan kedua, yang menyimpang dari nama-nama indah itu, dan inilah yang sesat dan diciptakan oleh Allah untuk neraka, masing-masing sesuai dengan kesesatan mereka. Dengan demikian ayat ini menunjuk kepada kesimpulan yang diuraikan oleh ayat yang lalu yang menekankan bahwa hidayat Allah swt, dianugerahkan untuk yang bertekad memperolehnya dan kesesatan diberikan kepada mereka yang memilihnya sebagai jalan hidup. Demikian lebih kurang Thabathaba’i.
Sayyid Quthub menguraikan bahwa kandungan ayat-ayat yang lalu adalah kesaksian manusia dan pengakuannya tentang keesaan Allah (ayat 172-174) bahkan kesaksian seluruh wujud jagad raya tentang keesaan Allah, karena manusia adalah bagian dari seluruh wujud dan tidak dapat memisahkan diri dari hukum-hukumnya. Lebih jauh beliau menjelaskan bahwa setelah ayat yang lalu menampilkan contoh tentang siapa yang menyimpang dari pengakuan akan keesaan itu (ayat 175-179) maka di sini (ayat 180) Allah swt. Mengingatkan kaum muslimin agar mengabaikan mereka yang menyimpang. Yakni kaum musyrikin yang menghadapi ajakan dakwah Islam dengan mempersekutukan Allah swt. Mereka itulah yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya.
Al-Biqa’i secara sangat singkat menyatakan bahwa kalau yang dibicarakan ayat yang lalu menyandang sifat-sifat buruk, dan yang mereka sembah lebih buruk lagi, maka ayat ini melanjutkan penjelasannya dengan menekankan sifat-sifat indah yang disandang Allah, sehingga tidak timbul dugaan bahwa siapa yang disesatkan dan akhirnya masuk ke neraka disebabkan oleh sesuatu yang tidak wajar dari Allah swt. Ini untuk menggaris bawahi bahwa terjerumusnya seseorang ke neraka tidak lain kecuali karena kelalaian mengingat Allah dan keengganan menyeru-Nya dengan sifat-sifat-Nya yang indah. karena itu disini dinyatakan bahwa Hanya milik Allah asma’ al-husna maka bermohonlah kepada-Nya dengannya, yakni dengan menyebut salah satu dari asma al-husna itu, serta namai dan gelarilah Allah dengan nama-nama indah itu agar kamu mendpat petunjuk-Nya serta meraih kebahagian yang kamu harapkan dan tinggalkanlah, yakni abaikan didorong penilaian buruk orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-nama-Nya, atau menyamakan sesuatu yang tidak layak bagi Zat Allah Yang Maha Agung. Nanti di dunia atau di akhirat mereka akan dibalas menyangkut apa yang telah mereka kerjakan serta sesuai dengan kadar kedurhakaan mereka.
Kata (الأسماء) al-asma adalah bentuk jamak dari kata (الإسم) al-ism yang biasa diterjemahkan dengan nama. Ia berakar dari kata (السمو) as-sumuw yang berarti ketinggian, atau (السمة) as-simah yang berarti tanda. Memang nama merupakan tanda bagi sesuatu, sekaligus harus dijunjung tinggi.
Apakah nama sama dengan yang dinamai atau tidak, di sini diuraikan perbedaan pendapat ulama yang berkepanjangan, melelahkan dan menyita energy itu. Namun yang jelas bahwa Allah memiliki apa yang dinamai-Nya sendiri dengan al-asma dan bahwa al-asma itu bersifat husna.
Kata (الحسن) al-husna adalah bentuk muannast/feminim dari kata (احسن) ahsan yang berarti terbaik. Penyifatan nama-nama Allah dengan kata yang berbentuk superlative ini, menunjukkan bahwa nama-nama Allah dengan kata yang berbentuk superlative ini, menunjukkan bahwa nama-nama tersebut bukan saja, tetapi juga yang terbaik dibandingkan dengan yang lainnya, yang dapat disandang-Nya atau baik hanya untuk selain-Nya saja, tapi tidak baik untuk-Nya. Sifat Pengasih – misalnya – adalah baik. Ia dapat disandang oleh makhluk/manusia, tetapi karena asma al-husna (nama-nama yang terbaik) hanya milik Allah, maka pastilah sifat kasih-Nya melebihi sifat kasih makhluk, baik dalam kapasitas kasih maupun substansinya. Di sisi lain sifat pemberani, merupakan sifat yang baik disandang oleh manusia, namun sifat ini tidak wajar disandang Allah, karena keberanian mengandung kaitan dalam substansinya dengan jasmani dan mental, sehingga tidak mungkin disandangkan kepada-Nya. Ini berbda dengan sifat kasih, pemurah, adil dan sebagainya. Contoh lain adalah anak cucu. Kesempurnaan manusia adalah jika ia memiliki keturunan, tetapi sifat kesempurnaan manusia ini, tidak mungkin pula disandang-Nya karena ini mengakibatkan adanya unsur kesamaan Tuhan dengan yang lain, di samping menunnjukkan kebutuhan, sedang hal tersebut mustahil bagi-Nya.
Nah, demikianlah kata (الحسني) al-husna menunjukkan bahwa nama-nama-Nya adalah nama-nama yang amat sempurna, tidak sedikit pun tercemar oleh kekurangan.
Didahulukannya kata (لله) lillah pada firman-Nya (ولله الأسماء الحسني) wa lillah al-asma al-husna menunjukkan bahwa nama-nama indah itu hanya milik Allah semata. Kalau Anda berkata Allah Rahim, maka rahmat-Nya pasti berbeda dengan rahmat si A yang juga boleh jadi Anda sedangkan padanya.
Memang nama/sifat-sifat yang disandang-Nya itu, terambil dari bahasa manusia. Namun, kata yang digunakan saat disandang manusia, pasti selalu mengandung makna kebutuhan serta kekurangan, walaupun ada di antaranya yang tidak dapat dipisahkan dari kekurangan, walaupun ada di antaranya yang tidak dapat dipisahkan dari kekurangan tersebut dan ada pula yang dapat. Keberadaan pada satu tempat, atau arah, atau kepemilikan arah (dimensi waktu dan tempat) tidak mungkin dapat dipisahkan dari manusia. Ini merupakan keniscayaan sekaligus kebutuhan manusia, dan dengan demikian ia tidak disandangkan kepada Allah swt, karena kemustahilan pemisahannya itu. Berbeda dengan kata kuat buat manusia. Kekuatan diperoleh melalui sesuatu yang besifat materi, yakni adanya otot-otot yang berfungsi baik, dalam arti kita membutuhkan otot-otot yang kuat, untuk memiliki kekuatan fisik. Kebutuhan tersebut tentunya tidak sesuai dengan kebesaran Allah swt, sehingga sifat kuat buat Tuhan hanya dapat dipahami dengan menafikan hal-hal yang mengandung makna kekurangan dan atau kebutuhan itu.
Dua dari empat yang berbicara tentang al-asma al-husna pada intinya mengaitkannya dengan doa/ibadah, yaitu ayat surah al-A’raf ini dan firman-Nya. “Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Diam mempunyai al asma al-husna” (QS. Al-Isra [17]: 110).
Ayat-ayat di atas mengajak manusia berdoa/menyeru-Nya dengan sifat-nama-nama yang terbaik itu. Salah satu makna perintah ini adalah ajakan untuk menyesuikan kandungan permohonan dengan sifat yang disandang Allah. Sehingga, jika seseorang memohon rezeki, ia menyeri Allah dengan sifat ar-Razzaq (Maha Pemberi rezeki) misalnya dengan berkata: “Wahai Allah Yang Maha Pemberi rezeki anugerahilah kami rezeki”, jika ampunan yang dimohonkan, maka sifat Ghafir (pengampunan) yang ditonjolkan,”Wahai Allah Yang Maha Pengampun, ampunilah dosa-dosa saya”demikian seterusnya.
Menyebut sifat-sifat yang sesuai, bukan saja dapat mengundang pengabulan doa, etapi juga akan melahirkan ketenangan dan optimism dalam jiwa si pemohon, kaerna permohonan itu larih dari keyakinan bahwa ia bermohon kepada Tuhan yang memiliki apa yang dimohonkannya itu.
Di dalam berdoa dengan nama-nama tersebaut seseorang hendaknya menyadari dua hal pokok, pertama kebesaran dan keagungan Allah dan kedua kelemahan diri dan kebutuhan kepada-Nya. Disinilah letak keberhasilan doa.
Sangat popular berbagai riwayat yang menyatakan bahwa jumlah al-asma al-husna isebanyak Sembilan puluh Sembilan. Salah satu riwayat tersebut berbunyi: “Sesungguhnya Allah memiliki Sembilan puluh Sembilan nama seratus kurang satu – siapa yang ahshaba (mengetahui/menghitung.memeliharanya) maka dia masuk ke surga. Allah ganjil (esa) senang pada yang ganjil” (HR. Bukhari, Muslim, At-Tirmdizi, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain).
Bermacam-macam penafsiran ulama tentang kata (احصاها) ahshaba, antara lain “memahami maknanya, dan mempercayainya”, atau mampu melaksanakan kandungan-Nya, ada juga yang mempercayai kandungan makna-maknanya, ada lagi yang menghafal, memahami maknanya dan mengamalkannya kandungannya. Itu semua dapat dikandung oleh kata tersebut, dan mereka semua insya Allah dapat memperoleh curahan rahmat Ilahi sesuai niat dan usahanya.
Kembali kepada bilangan asma al-husna.
Ibnu Katsir dalam tasfirnya setlah mengutip hadis di atas dari berbagai sumber berkata bahwa: At-Tirmidzi dalam Sunan-nya setelah kalimat: “Allah ganjil (Esa) senang pada yang ganjil.
Jumlah as-maul husna yang terbaca melebihi semblian puluh Sembilan nama, tetapi ada ulama yang menjadikan jumlah asma’ al-husna hanya Sembilan puluh Sembilan sesuai dengan bilangan popular itu dengan tidak meneybut bebarapa nama yang tercantum di atas, seperti Allah dengan alasan bahwa lafadz mulia itu bukan bagian dari asma al-Husna, tetapi asma al-husna adalah nama bagi Allah.
At-Tirmidzi kemudian berkata: “Hadist ini (dengan tambahan nama-nama itu adalah hadis (غريب) gharib, yakni hanya diriwayatkan oleh seorang perawi dan diriwayatkan dari berbagai sumber malului Abu Hurairah. Kami tidak tahu –tulis Ibnu Katsir selanjutnya – dalam banyak riwayat yang lain ada disebutkan nama-nama itu, bahkan ada riwayat lain yang juga berakhir pada Abu Hurairah yang menguraikan nama-nama tersebut dengan penambahan atau pengurangan. Yang dikukuhkan oleh sekian banyak pakar adalah bahwa penyebutan nama-nama tersebut dalam hadis di atas adalah sisipan dan bahwa itu dilakukan oleh sementara ulama setelah menghimpunnya dari al-Qur’an. Karena itu tulis Ibnu Katsir lebih lanjut: Ketahuilah bahwa asma al-Husna tidak terbatas pada Sembilan puluh Sembilan nama.
Memang para ulama yang merujuk kepada al-Quran mempunyai hitungan yang berbeda-beda tentang bilangan al-asma al-husna Thabathaba’i misalnya menyatakan sebanyak seratus dua puluh tujuh, ini – tulisannya – belum lagi bila dilengkapi dengan hadis-hadis yang juga menguraikan nama-nama tersebut Ibnu Barjam al-Andalusi (wafat 536 H) dalam karyanya Syarh al-Asma al-Husna menghimpun 132 nama popular yang menurutnya termasuk dalam asma al-Husna, nama-nama Tuhan yang disepakati dan yang diperselisihkan dan yang bersumber dari para ulama sebelumnya, keseluruhannya melebihi 200 nama. Bahkan Abubakar Ibnul Araby salah seorang ulama bermadzhab Maliki – seperti dikutip oleh Ibnu Katsir – menyebutkan bahwa sebagian ulama telah menghimpun nama-nama Tuhan dari al-Quran dan Sunnah sebanyak seribu nama. Seprti Mutimmu nurihi, Khairul Waritsin, Khairul Makirin dan lain-lain.
Memang, jika merujuk kepada al-Quran dan Sunnah ditemukan sekian banyak kata/nama yang dapat dinilai sebagai asma al-husna, wlau tidak disebut dalam riwayat hadis di atas, misalnya: (المولي) al-Mauwla, (الناصر) an-Nashr, (الغالب) al-Ghalib, (الرب) ar-Rab, (النصير) an-Nashr, (شديد العقاب) Syadidul ‘Iqab, (قابل التوب) Qabilut taub, (غافر الذنب) Gafirudz dzanb, (مولج اليل في النهار ومولج النهار في اليل) Muliju al-laili fi an-nahar wa muliju annahara fi al-lail, (مخرج الحي من الميت ومخرج الميت من الحي) Mukhriju al-Hayya min al-Mayyiti wa mukhriju al-mayyita min al-hayy, dan sebagainya.
Dari hadis ditemukanjuga nama-nama antara lain: (السيد) As-Sayyid, (الديان) Ad-Dayyan, (الحنان) Al-Hannan, (المنان) Al-Mannan, dan masih banyak yang lain. Jika demikian, jelaskan bahwa nama-nama Allah yang indah itu tidak hanya Sembilan puluh Sembilan nama.
Di sisi lain perlu juga ditambahkan bahwa Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya mengklasifikasikan nam-nama Allah dalam beberapa kategori, antara lain:
Pertama:
1. Nama yang boleh juga disandang oleh makhluk (tetapi tentunya dengan kapasitas dan substansi yang berbeda) seperti (كريم حريم، عزيز، لطيف، كبير خالق) Karim, Rahim, Aziz, Lathif, Kabir, Khaliq.
2. Nama yang tidak boleh disandang oleh makhluk, yakni “Allah” dan “Ar-Rahman.” Bagian pertamapun bila disertai dengan b entuk superlative, atau kalimat tertentu, maka ia tidak boleh disandang kecual oleh Allah, seperti (ارحم الراحمين) Arhamr Rahimin (Yang Maha Pengasih di antara para pengasih), (اكرم الاكرمين) Khaliqus samawati wal ardh (penicpta langit dan bumi).
Kedua:
1. Nama-nama yang boleh disebut secara berdiri sendiri seperti Allah, ar-Rahman, ar-Rahim, Karim dan sebagainya.
2. Nama-nama yang tidak boleh disebut kecuali berangaki. Tidak boleh menyebut (مميت) Mumit (yang mematikan) atau (ضار) Dhar (yang menimpakan mudharat) secara berdiri sendiri, tetapi hars berangaki dengan (محي) Muhyi, sehinga diucapkan (محي و مميت) Muhui wa Mumit (yang menghidupkan dan yang mematikan) dan (ياضر يانافع) Ya Dhar Ya Nafi (Wahai yang menimpakan mudharat dan menganugrahkan manfaat).
Kembali ke penafsiran ayat di atas
Kata (ياحدون) yulhidun/menyimpang terambil dari kata (لحدي) lahada yang mengadung makan menyimpang dari arah tengah ke samping. Kuburan dinamai lianh lahad kaerna tanah setelah di gali ke bawah, digali lagi kesamping dan jenazah diletakkan di bagian samping itu. Penguburan di liang lahad bukan seperti penguburan jenazah dibanyak wilayah Asia Tenggara, yang sekedar menggali lubang beberapa meter ke bawah lalu meletakkan jenazah di bagina terakhir tanah yang telah digali ke bawah tanpa ke samping itu.
Makna asal kata tersebut berkembang sehingga berarti batil, atau menyimpang dari kebenaran. Ini karena sesuatu yang ditengah biasanya memberi kesan benar, haq dan baik, maka yang menyimpang dari arah tengah dinilai buruk dan batil. Darisini kata (الحاد) ilhad diartikan keburukan dan kekufuran.
Melakukan penyimpangan dalam nama-nama-Nya berarti memanggil atau menamai-Nya dengan nama yang tidak wajar, atau menolak nama-nama-Nya yang indah seperti menolak nama ar-Rahman (baca QS. Al-Furqan [25]: 60) atau menyebut nama-Nya dalam konteks kekufuran dan kedurhakaan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Menghafal kata-kata Asma’ul Husna amat besar faedahnya bagi Umat Islam dan berpahala membacanya bila dilandasi keyakinan dan membenarkan isinya. Lebih dari itu, memahami dan makrifat terhadap makna hakiki yang terkandung di dalamnya akan membawa kea rah pengalaman dan penghayatan, atau dengan kata lain “mendarah daging” dalam kehidupan. Maka dijamin akan mendapatkan surga keindahan dan kenyamanan yang tiada
2. Izmul ‘Azhom (nama yang agung) tidak semua orang bisa mengetahuinya, dan sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw, yang agaknya tersembunyi dalam suatu kalimat yang cukup panjang.
Dengan makrifat yang benar kepada Allah swt, makrifat terhadap Asma-Nya, muncullah “rasa cinta kasih (mahabbah) yang dalam terhadap Pemilik Nama yakni Allah swt. Dan terpadu cinta kasih itu dalam suatu perpaduan yang indah dan mengasyikkan, yang terlihat, terpandang dan terasa hanya “DIA” TERASA LEBUR DAN SIRNA DIRI INI DALAM LAUTAN “BERCINTA KASIH” maka berbahagialah dengan isyarat Allah yang menegaskan:
`
Artinya: Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga.
DAFTAR PUSTAKA
Quraish, M. Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al—Qur’an,
0 comments:
Post a Comment