BAB I
PENDAHULUAN
Tidak lepas dari tafsir lain tasir itizali dimana merupakan suatu jenis tafsir yang termasuk mena’wilkan ayat-ayat al-Quran yang maknanya tidak selaras dengan aqidah, tafsir I’tizali merupakan suatu tafsir yang mendukung golonga mu’tazilah dimana mu’tazilah dalam menafsirkan sesuatu lebih dominant menggunakan aql dari paa naql karena golongan mu’tazilah beranggapan bahwa manusia sudah dapat membedakan baik dan buruk, maka dari itu tafsir I’tizali sukar diterima oleh sebagian orang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Tafsir I’tizaliy yaitu tafsri bir ra’yi yang hanya mengandalkan akan dan kurang mengandalkan naql dan pada umumnya terarah pada usaha mendukung atau melegatimasi faham-faham golongan Mu’tazilah.
Dimana tafsir al-Quran yang beraliran aqidah dari golonga Mu’tazilah ini, difokuskan kepada bidang aqidah mu’tazilah, guna menguatkan paham mu’tazilah dan mempertahankannya. Tafsir jenis inisering mena’wailkan ayat-ayat al-Quran yang maknanya tidak selaras dengan semacam in kurang memenui etika penafsiran al-Quran sehingga sukar diterima oleh sementara orang. Contohnya adalah tafsir Tanziihul Qur’an, anil mathaan’in, oleh al-daadli Abdul Jabar (wafat 415) Ghuratul fawaaid wa durarul dalaaid, oleh Ali Ibnu Thaahir al-Husin (wafat 436 H).
B. Aliran
Tafsir yang didasarkan pada pendapat atau opini yang tearah pada usaha mendukung faham golongan mu’tazilah, dimana jenis tafsir ini di larang secara mutlah oleh sementara ulama. Larangan itu berdasarkan pada sebuah hadits “Barang siapa berbicara mengenai Qur’an menurut pendapatnya sendiri, maupun ternyata tepat, ia tetap telah berbuat sesuatu yang keliru”. Namun menurut pendapat Ahmad Asy-Syirbashi yang dimaksud “pendapat” dalam hadist tersebut ialah peraturan yang diucapkan tanpa dalil yang sah menurut syara tentu pendapatnya patut dipuji dan sama sekali tidak membahayakan agama. Berbicara tentan tersebut diatas. Al-Mawardi berpendapat sebagai berikut: “Sementara orang dengan kaku dan gigih berpegang pada prinsip-prinsip fundamental agama (al-mutawarriah) yang mengartikan hadis itu secara harfiah, ia tidak mau berijtihad untuk mencari kesimpulan dari makna ayat-ayat Quran, kendati pun kesimpulannyat tidak bertentangan denga teks induk karean memang dilandasi dengan dalil-dalil yang sah menurut syara” sikap demikian itu merupakan penyimpangan sehingga menjauhkan kita adri pengertian yang dimaksud ayat-ayat al-Quran, dan kita tidak akan dapat menarik kesimpulan hokum yang ada di dalamnya sebagaimana dikehendaki Allah swt. Dalam firmannya: “…orang-orang yang ingin mengetahui (duduk perkara yang sebenarnya) tentu akan dapat mengetahuinya dari mereka…” (QS. An-Nisa: 83).
Kalau setiap kaku yang demikian itu dibenarkan, niscaya tidak akan pernah memperoleh kesimpulan apa pun yang terkandung dalam Qur’an dan kita pun tidak akan dapat memahami sebagian besar ayat-ayatnya. “Barang siapa berbicara tentan Qur’an menurut pendapatnya semata dan tidak mengikuti makna kata-kata yang seharusnya, maka meski pun pendekatannya itu tepat dan benar, ia telah menempuh jalan yang keliru, karena beberapa pendapatnya hanyalah bersifat kebetulan belaka. Yang sejak dari semula memang tanpa didasari dengan dalil-dalil yang sah menurut syara”.
C. Aspek-aspek Penafsirannya
- At-Tauhid
At-tauhid (pengesaan tuhan) merupakan prinsip utama dari intisari ajran Mu’tazilah untuk memurnikan keesaan Tuha (tanzih) mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan (antromorfosis tajassum), dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Aliran ini berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satu pun yang menyerupainya. Dia Maha Melihat, mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainya, namun mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainya itu bukan sifat melainkan dzatnya. Menurut aliran ini sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat Tuhan yang qadim. Berarti ada dua yang qadim, yaitu dzat dan sifatnya. Wasil bin Ata seperti di kutip oleh Asy-Syahrastani mengatakan “Siapa yang mengatakan sifat yang qadim berarti telah meduakan Tuhan. Ini tidak dapat diterima karena merupakan perbuatan syirik.
- al-Adl
Al-Adl berarti Tuhan yang Maha Adil. Adil merupakan sifat yang paling gambling untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena Tuhan maha sempurna, dan suda pasti adalah. Ajaran ini benar-benar menempatkan adil menurut sudut pandang manusia, karena Alam semesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia, Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik (Ash-Shalah) dan terbaik (al-Ashlah) dan bukan yang tidak baik. Begitu pula Tuhan itu adil apabila tidak melanggar janjinya. Dengan demikian Tuhan terikat dengan janjinya.
- al-Wa’d wa al-Wa’id
ajaran kteika ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua diatas. Al-wa’d wa al-wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang Maha Adil dan Maha Bijaksana, tidak akan melanggar janjinya, perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janjinya sendiri, yaitu memberi pahala surga bagi yang berbuat baik (al-Muthi) dan mengancam denga nsiksa neraka atas orang yang durhaka (al-ashi). Ajaran ini tidak memberi peluang bagi Tuhan, selain menunaikan janjinya, yaitu memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang yang sudah bertobat nasuha. Ini tampak bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.
- al-Manzilah bain al-Manzilatain
Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Bahwa mukmin yang melakukan dosa besar dan belum tobat bukan lagi mukmin atau kafir tetapi fasik. Pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mukmin secara mutlak. Hal ini karena keamanan menurut adanya kepatuhan kepada Tuhan, tidak cukup hanya pengaturan dan pembenaran pelaku tidak dapat dikatakn kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada Tuhan, rasulnya dan mengajarkannya pekerjaan yang baik.
- al-Amr bi al-Ma’ruf wa an-Nahi Munkar
Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang, pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik dan mencegahnya dari kejahatan al-amr bi al ma’ruf wa an-Nahi munkar. Sering digunakan di dalam al-Quran, arti asal Ma’ruf adalah apa yang telah diakui dan diterima oleh masyrakat, karena mengandung kebaikan dan kebenaran, lebih spesifik lagi, al-Ma’ruf adalah apa yang diterima dan diakui Allah, sedangkan al-munkar adalah sebaiknya yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima, atau buruk.
KESIMPULAN
Tafsir I’tizali adalah tafsir bi’rayi yang dikenal lebih dominan menggunakan aql daripada naql karena tafsir I’tizali merupakan tafsir yang mendukung golongan mu’tazilah, oleh karena itu gologan mu’tazilah menggunakan tafsir I’tizali dalam mena’wilkan ayat-ayat al-Quran yang maknanya tidak selaras dengan aqidahnya yang mana termasuk di dalamnya masalah al-Tauhid, al-adl, al-wa’d wa al-wa’id, al-manzilah bain al-manzilatain dan al-amar bi al-ma’ruf wa an-nahi munkar.
DAFTAR PUSTAKA
Rozak, Abdul dan Anwar Rosehan, Ilmu Kalam,
Asy-Syirbashi, Ahmad, Sejarah Tafsir Qur’an
0 comments:
Post a Comment