BAB I
PENDAHULUAN
Allah telah menciptakan manusia sebagai Khalifah dipermukaan untuk mengurangi pekerjaan dunia dan Allah memilih sebagian hambanya untuk membawa risalah ketuhanan dalam rangka beriman kepada Tuhannya Yang Maha Esa
Maka dari itu Allah mengutus para nabi dan Rasul dar Adam sampai kepada penutup nabi dan Rasul yaitu Nabi Muhammad saw.
Allah pun telah banyak mengubah para Nabi-nabi, bahkan sampai ribuan orang, namun Allah memilih 25 nabi yang wajib kita Imani dan yang tercantum dalam Al-Quran mereka diutus kepada umat untuk berdakwah, dengan seruan mereka mereka beriman kepada Allah dan tidak menyekutukannya.
Walaupun halangan dan rintangan yang mereka hadapi sangat berat karena umatnya mendustakan, mencemooh, bahkan mereka hendak dibunuh dengan kejam.
Contohnya saja nabi kita Muhammad saw berdakwah banyak sekali rintangan yang dihadapi beliau. Padahal dari keluarga beliau sendiri yang menentangnya seperti Abu Jahal dan Abu Lahab. Tapi Rasulullah sangat tabah menghadapi rintangan tersebut, karena beliau sangat tulus menyampaikan risalah ketuhanan dan tidak mengharap uang, harta dan manusia (umatnya) karena beliau orang yang luar biasa di antara manusia yang mulai dari Nabi Adam sampai hari kiamat.
BAB II
PEMBAHASAN
Dunia ini adalah suatu alam yang sarat dengan keajaiban-keajaiban, keanekaragaman dan keanehan-keanehan. Di sini orang dapat menemukan beraneka ragam benda dan makhluk yang tak terhitung jumlahnya dengan karaketiristik-karakteristik yang berbeda-beda. Jika orang memperhatikan dengan sepintas saja terhadap berbagai obyek yang berbeda-beda, niscaya dia akan menemukan bahwa kesadaran dan perasaan secara perlahan-lahan bertambah sejak dari benda inorganik sampai kepada wujud-wujud manusia. Partikel terkecil dari (atau pada) kerajaan alam semesta ini, yang dikenal dengan ether atau atom, itu berasal atau timbul dari segala persepsi rasa dan kesadaran tetapi bekas suatu kehidupan yang kecil sekali nampak pada mineral-mineral. Dalam kerajaan (alam) tumbuh-tumbuhan kepekaan terhadap suatu hakikat yang tak disadari itu terlihat dalam bentuk pembenihan dan pertumbuhan. Sedangkan suatu tipe sensibelitas (cepat merasai) yang lebih tinggi (daripada yang pada tumbuhan) yang disertai dengan suatu kesadaran terbatas dapat terlihat pada kehidupan binatang. Lalu, pada manusia, persepsi rasa mencapai kesempurnaannya dengan munculnya kemauan atau kehendak dan kesadaran. Jadi, benda inorganik bebas dari setiap tanggungjawab. Tumbuh-tumbuhan tunduk kepada hukuh kehidupan dan kematian; hewan-hewan tunduk kepada keresponsifan yang lebih tinggi daripada tumbuhan; sedangkan manusia harus memikul tanggung jawab atas segala sesuatu yang dia lakukan. Dalam hal manusia, juga, tanggung jawing ini berbeda-beda bergantung kepada sensibilitas, kesadaran dan keinginannya: Orang dungu dan orang gila, anak-anak dan orang dewasa serta yang pintar (terpelajar) dan orang arif semuanya bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan mereka sendiri dalam proporsi sedikit atau banyaknya kekuatan-kekuatan ini.
Sekarang mari kita periksa persoalan ini dari segi lain. Alam dengan sendirinya memikul tanggung jawab untuk mempertahankan benda dan makhluk-makhluk yang ada di dalamnya sampai kepada makhluk yang memiliki sensibilitas, kesadaran dan keinginan yang terkecil sekalipun, ia sesuai dengan potensibilitas, kesadaran dan keinginan yang terkecil sekalipun, ia terus membantu tiap makhluk itu dengan tanggung jawabnya ini sesuai dengan potensialitas-potensialitas yang dikembangnya. Siapakah yang menempatkan intan dan manikam-maikam di pertu gunung-gunung dan siapakah yang memberi makan kepada ikan di lautan? Hewan-hewan buas (dipelihara, dibesarkan dan) dididik oleh siapa? Siapakah yang memberikan makanan kepada burung-burung di udara dan siapakah yang mengobati penyakitnya? Mengapakah binatang-binatang dari spesies yang sama yang hidup di gunung-gunung dan rimba-rimba, pada kondisi-kondisi iklim yang berbeda, menimbulkan karakteristik yang berbeda-beda. Mengapakah anjing-anjing Eropa dalam penampilannya berbeda dengan anjing-anjing di Afrika? Mengapakah alam memberikan kuku, bulu dan kulit sesuai dengan kondisi-kondisi iklim dan fisik hewan yang berbeda-beda?
Perbedaan-perbedaan di atas mengindikasikan adanya cara-cara alam dalam membantu setiap makhluk dengan sedemikian bijaksana mengingat bahwa makhluk-makhluk tersebut memiliki keinginan dan kesadaran yang sedikit sekali, dan alam pulalah yang memeliharanya sampai setiap makhluk dapat mengembangkan potensialitas-potensialitas yang membantu kelangsungan hidupnya.
Adapun manusia, ia harus mendapatkan penghidupan sendiri. Dia harus menanam dan menumbuhkan bahan-bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Diapun tidak dianugrahi (dibekali) baju dari rambut (bulu) yang pendek, lunak dan indah seperti dimiliki oleh beberapa jenis binatang untuk melindungi mereka dari tajamnya iklim. Sama halnya, dia pun hraus mengobati penyakitnya oleh diri sendiri dan harus membalut lukanya oleh dia sendiri pula.
Di segi lain alam pun memikul tanggung jawab untuk melindungi makhluk-makhluk lainnya, sampai kepada makhluk yang mempunyai keinginan dan persepsi yang paling sedikit, dari serangan musuh-musuhnya. Alam memberikan kepada mereka berbagai alat pelingung yang berbeda-beda: Sebagian ada yang diberi kuku dan gigi taring, yang lainnya diberi tanduk; sebagian dijari untuk terbang, atau berenang, atau berlari. Sedangkan yang lainnya ada yang melawan musuh-musuhnya dengan cara menggigit atau menyengat. Tapi perhatikanlah manusia! Makhluk yang satu ini tidaklah mempunyai gading seperti gajah dan tidak pula kuku seperti singa, bahkan tidak pula memiliki tanduk atau gigi atau sengan dan kelenjar racun. Dia telah diciptakan dalam keadaan lemah dan tak mempunyai alat pertahanan seperti yang dimiliki oleh binatang, tetapi – senjata besar yang terdiri dari persepsi rasa, kesadaran dan keinginan yang dia miliki untuk memerintah apa saja yang dia inginkan itu melebihi kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh makhluk lain, dan dengan ketiga senjata di atas dia mampu menaklukkan gajah-gajah raksasa dan singa-singa yang bagaimanapun buasnya. Bahkan dia mampu menangkap ular-ular berbisa, burung-burung yang bertebangan di udara dan ikan-ikan yang berbeda di dalam air yang amat dalam. Denga kata lain manusia dapat membuat berbagai jenis persenjataan untuk mempertahankan hidupnya karena memiliki ketiga bekal di atas.
Menganut filsafat atau agama apa saja Anda, bagaimanapun anda akan setuju bahwa manusia itu bertanggung jawab tindakan-tindakannya berdasarkan atas rasa, kesadaran, akal dan juga kehendakserta determinasinya. Tanggung jawab yang mengikat manusia ini dalam fraseologi (cara mengeluarkan perkataan) Islam dikenal dengan taklif syar’i atau kewajiban religisu, yang dibebankan kepada setiap orang sesuai dengan kompetensinya dan bergantung kepada kekuatan dan kekuasaanya (kemampuannya). Prinsip pokok yang telah ditetapkan oleh Allah swt yang menjadi petunjuk bagi kita dalam hal ini ialah firman-Nya yang berbunyi:
“Allah tidaklah membebani suatu jiwa manusia di luar kemampuannya” (QS. Al-Baqarah: 286).
Itulah tugas wajib yang dibebankan kepada manusia yang disinggung dalam al-Quran dengan nama amanah atau kepercayaan dari Allah swt – sebuah amanah yang ada pada mulanya telah ditawarkan kepada mineral yang ada dalam perut bumi dan gunung-gunung menjulang tinggin serta kepada langit-langit tinggi diatas sana, tetapi tidak satupun yang berani memikul tanggung jawab yang berat ini.
Telah kami tawarkan amanah dari kami kepada langit-langit dan bumi sertagunung-gunung, ttetapi mereka merasa enggan untuk menerimanya dan merasa khawatir akan mengkhianatinya. Dan ternyata yang menerimanya adalah manusia. Memang, sesungguhnya manusia itu terbukti zalim dan bodoh. (QS. Al-Ahzab: 72)
Beban amanah yang telah dipikul oleh manusia itu telah diungkapkan secara singkat oleh seorang penyair yang menyatakan:
Langit-langit pada enggan untuk memikul amanah itu, ternyata ia jatuh ke pangkuan nasibku laksana dadu yang dilemparkan.
Kata “zalim” pada ayat tersebut, pada analisis tertingginya, berarti suatu tingkah laku yang melebihi batas-batas seseorang, dan orang-orang yang zalim itu seseringnya adalah orang-orang yang enthusias tetapi dungu atau tolol. Demikian pula halnya kebodohan tiada lain kecuali pelampauan batas intelek. Antithesis dari kezaliman ialah keadilan dan moderasi (hal mengambil jalan tengah-tengah). Sedangkan kebalikan dari kebodohan ialah pengetahuan (ma’rifah) dan pemahaman. Dan dikarenakan manusia itu denga tabiatnya cenderung kepada hal melampaui batas, maka dia memerlukan pengetahuan dan pembatas untuk menerangi jalannya. Itulah sebabnya mengapa al-Quran membicarakan kedua hal ini, pengetahuan dan moderasi, sebagai iman dan amal shaleh.
Demi masa (yang terus) berkurang, sesungguhnya manusia itu berada dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan suka saling menasehati untuk menempuh kebenaran, dan suka saling menasehati untuk menempuh kesabaran“” (QS. Al-Ashr: 1-3).
“kerugian” yangdibicarakan pada ayat di atas ialah melampaui batas da kebodohan, yang hanya bisa diimbangi dengan iman dan amal salhe. Allah swt menyebutkan “masa yang terus berkurang” atau masa yang meupakan suatu saksi terhadap kerugian manusia sebab masa yang telah manusia lewati manjadi saksi terhadap kesewenang-wenangan dan kezalimannya. Dikarenakan mayoritas besar manusia di dunia ini selalu menjadi sebuah bidak atau pion (dalam catur) dalam permainan beberapa orang yang terlalu ambisius dan antusias, maka Thomas Carluli dengan tepat telah menyatakan bahwa “sejarah dunia tiada lain kecuali biografi orang-orang besar.” sejarah dunia cenderung menunjukkan bahwa orang-orang dan bangsa-bangsa di dunia ini selalu diperas dan dibebani pajak oleh teman-teman sebangsanya sendiri kecuali jika mereka tidak meninggalkan keimanan dan kesalehan. Ini senantiasa menjadi sebab kehancuran dan kemusnahan setiap bangsa.
Coba bacalah kitab suci agama apa saja atau pelajaran-palajaran kesusilaan yang mengajarkan pelajaran-pelajaran moral niscayalah akan ada bahwa drama konflik yang sama antara pengetahuan dan kebodohan, antara kezaliman dan keadilan, telah dimainkan dalam berbagi cara penyajian. Akan anda dapati bahwa keimanan dan kebajikan bersama-sama menentang kekuatan kegelapan dan kebodohan, kezaliman dan kekafiran. Jadi apa sebetulnya syair pahlawan-pahlawan besar seperti Iliad dari Yunani, Parallel Livesi dari Romawi, Shahnama dari bangsa Iran serta Ramayana dan Mahabharata dari umat Hindu itu? (Jawabnya: Semua Syair pahlawan itu tiada lain kecuali berisikan tentang pendidikan moral).
Setiap bangsa telah memiliki kejadian-kejadian yang serupa dalam kehidupannya atau dalam kehidupan pendiri bangsanya pada suatu jaman tertentu yang senantiasa menyalakan dan menghidupkan kepahlawanan serta membangkitkan keberanian rakyatnya untuk memerangi kejahatan. Syair-syair pahlawan di atas berbicara mengenai peristiwa-peristiwa besar untuk memberikan pelajaran kepada setiap bangsa bahwa ia (bangsa) harus meninggalkan jalan-jalan kejahatan dan beralih menuju jalan kebajikan
Terdiri dari apakah porsi besar dalam kitab Taurat, Zabur, Injil dan Al-Quran itu? Semua kitab ini memberitahukan kepada kita keterangan-keterangan tentang ajaran-ajaran agama yang dibawakan oleh masing-masing Kitab tersebut. Dan semua kitab itu pun berbicara mengenai bangkitnya kebajikan dan kesalehan di tempat merke masing-masing, agar kita bisa mengambil pelajran dari semua cerita atau kisah itu dan agar kita menjadi orang saleh, adil dan takwa kepada Allah swt. Itulah sebabnya mengapakah para nabi dan orang-orang suci terdahulu diutus oleh Allah swt – untuk mengajarkan jalan-jlan kebajikan – dan lalu datanglah utusan yang terakhir dari mereka itu, sebagai rahman dari semesta alam, agar hidupnya itu menjadi pelita dan hidayah bagi umat manusia sampai akhir masa. Inilah yang al-Quran permaklumkan dalam kata-kata berikut ini melalui Nabi Islam:
“Sesungguhnya aku sudah tinggal besama kalian beberapa lama sebelum al-Quran ini diturunkan. Apakah kalian tidak punya pikiran” (QS. Yunus: 17).
Wahyu dari Allah swt, dalam ayat ini, menyatakan bahwa kehidupan Nabi Muhammad saw yang suci itu sebagai suatu bukti intrinsic (intrinsic evidence) kenabian beliau.
Akan tetapi sejarah pun telah mencatat beberapa kisah tentang kehidupan orang-orang besar beribu-ribu jumlahnya dan telah mendapatkan kedudukan tinggi atau kemashuran dalam satu dan lain lapangan. Mereka semua telah meninggalkan cap pada lembaran-lambaran sejarah. Diantara mereka ada para penguasa yang dikelilingi hidupnya oleh istana-istana kerajaan yang indah, sebaris komandan dan jenderal militer, para filosof yang tenggelam dalam mpemikiran-pemikiran mereka, para penakluk besar yang mabuk dengan kekuasaan, para penyair yang bernyanyi untuk menghibur kesunyian mereka sendiri dengan nyanyian-nyanyian indah dan orang-orang termashur karena kekayaannya. Mereka semua mempunyai daya tarik tersendiri bagi anak-anak Adam. Apakah itu kisah kehidupan Hannibal dari Carthage, Alexander dari Macedonia, Kaisar dari Romawi, atau Darius dari Iran atau bahkan napoleon (Bonaparte) dari Prancis, kehidupan mereka masing-masing memiliki suatu daya pesona tersendiri bagi anak cucu keturunannya. Sama pula halnya kisah-kisah kehidupan para filosof termashur sejak Socrates, Plato, Aristoteles dan Diogenes – yang kesemuanya termasuk filosof kuno sampai kepada Spencer dari Inggris. Bahkan kehidupan raja Namrudz dan Firaun, Abu jahal dan Abu laha serta Qaum Quraish juga menggambarkan ciri atau tabiat dan karakter manusia. Tapi yang jadi pertanyaan ialah: Siapakah di angara orang-orang seperti tersebut di atas yang dapat dianggap sebagai suatu model kebajikan dan kesalehannya yang patut diikuti oleh manusia-manusia lainnya?
Para jenderal dan penaklukan yang besar, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang menghapuskan segala sesuatu yang ada di hadapan mereka dengan kekuatan senjata, tetapi apakah mereka juga telah berhasil meninggalkan suatu tauladan yang mulia dari kehidupan mereka itu untuk diikuti oleh orang-orang yang lain? Memang, mereka telah berhasil memperoleh kemenangan-kemenangan yang brilian, tetapi apakah mereka juga telah dapat menumpas belenggu ketakhyulan dan keyaninan-keyakinan yang asal mudah percaya atau keyakinan sesat? Sudahkah mereka berhasil memecahkan problema sosial dalam upaya menegakkan persamaan (equality) dan persaudaraan umat manusia? Sudah berhasilkan mereka memperbaiki moral dan kesehatan spiritual serta menciptakan kebahagiaan kita, atau telah berhasilkan mereka menyuguhkan suatu model kelurusan akhlak dan tingkah laku yang terpuji bagi anak keturunan mereka?
Memang, dunia ini pun telah melahirkan banyak penyair besar. tetapi mereka ini sebetulnya hanya para pelukis fantasi, sekedar orang-orang yang berutopia melangit yang tidak cocok ditempatkan pada tempat mana pun (dalam Republic karya Plato). Mereka sama sekali tidak bisa memecahkan probelema manusia. Sebab Homer pun misalnya, sampai sekarang tidaklah bisa berbuat banyak selain mengobarkan api emosi manusia dan membantu imajinasi manusia untuk membuat kerusuhan dengan visi-visi dan mimpi-mimpi mereka. Tidak ada sedikit pun model tindakan baik yang praktis yangdapat mereka lahirkan dengan pemikiran-pemikiran musical dan dengan kreasi-kreasi rhythmical itu. Betapa tepatnya Al-Quran memberikan keputusan terhadap para penyair itu.
“Adapun penyair-penyair itu, orang-orang yang sesat mengikuti mereka. Tidaklah kamu lihat bahwasanya para penyair itu mengembara di tiap lembah? Dan bahwasanya mereka itu suka mengatakan apa-apa yang mereka sendiri tidak melakukannya? Kecuali para penyair yang beriman dan beramal saleh” (QS. Asy-Syu’ara: 224-227).
Al-Quran juga memeberitahukan kepada kita mengapakah ungkapan-ungkapan elok yang diutarakan oleh para penyair itu kurang berguna bagi umat manusia. Mereka mengejar setiap ide dengan tanpa arah tujuan yang pasti, lebih seringnya menjerumuskan manusia ke jurang kebodohan bukannya menjunjung tinggi martabat manusia untuk mencapai ketinggian Nur Ilahi. Sejak (atau bait-bait syair) yang timbul dari pikiran dan menancap ke dalam keyakinan terkadang bisa efektif dan menerangi serta dapat menjadi suatu alat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Akan tetapi sejarah dunia telah memberikan bukti yang jelas mengenai ketidakmanfaatan (syair-syair yang diungkapkan oleh) para penyair itu.
Terdapat pula sage-sage dan para filosof yang telah mengira-ngira kerahasiaan-kerahasiaan alam di luar batasan persepsi manusia dan telah merubah konsep tentang benda-benda. Namun walau bagaimanapun, mereka gagal untuk bisa menghasilkan dena (blueprint) untuk petunjuk yang praktis bagi umat manusia. Dikarenakan menjulang tingginya imajinasi mereka itu kurang memiliki kebijaksanaan praktis, maka mereka tidak akan pernah bisa membekali manusia dengan petunjuk atau hidayah apa pun dalam upaya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban hidupnya. Aristoteles adalah seorang pelopor filsafat etika yang kini dipelajari d setiap universitas. Eksposisinya yang brilian mengenai impulse-impulsi etika sedemikian tingginya dihormati oleh orang-orang terpelajar dan juga oleh orang-orang yang masih atau sedang belajar, tetapi berapa banyakkah dari mereka itu yang telah dapat mencapai jalan kebajikan dengan membaca uraian-uraian Aristoteles? Guru-guru yang mahir dalam bidang pelajaran filsafat etika, yang mengetahui premis dan prinsip-prinsipnya, memang bisa dijumpai hampir di setiap institusi pendidikan tinggi, tapi pernahkah dampaknya dirasakan selain di ruang kelas mereka? Sebaliknya kita amati bahwa sangat sering tata dan tingkah laku mereka itu tidak lebih dari tingkah laku orang-orang yang berkeliaran di jalan raya. Untuk dapat berjalan pada jalan yang lurus orang tidaklah (sebegitu) harus mendengarkan seruan-seruan seseorang tidaklah (segitu) harus mendengarkan seruan-seruan seseorang tetapi harus melihat contoh-contoh kebajikannya yang pokok dan nyata.
Raja-raja dan para penguasa yang kuat telah pula tampil di atas panggung dunia ini. Mereka telah berhasil memperluas daerah-daerah dominasi mereka, bermain-main dengan kehidupan dan harta kekayaan milik insan-insan saudaranya sendiri, mengeruk kekayaan melalui pajak-pajak dan punguntan (1/10 dari harta milik seseorang) dan memberikan hadiah-hadiah kepada orang lain. Mereka telah menghinakan seseorang untuk memuliakan yang lainnnya. Kitab Allah swt, dalam kata-kata Ratu Saba, menyajikan gambaran yang jarang mengenai perbuatan-perbuatan mereka di muka bumi ini
“Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya sendiri menjadi hina” (QS. An-Naml: 34).
Pedang-pedang para raja yang berkuasa telah berhasil menebas kepala-kepala para penjahat di jalanan dan tempat-tempat pasar, tetapi mereka telah gagal untuk mengetahui dosa atau kesalahan yang muncul pada benak dan hati manusia. Mereka telah memperkuat hukum dan peraturan di kota-kota dan didesa-desa, tetapi kerajaan ruhani berada di luar jangkauan mereka, atau bahkan, istana-istana mereka sendiri telah menjadi tempat-tempat berkembang biaknya kebingungan moral dan anarki spiritual. Apa lagi yang oleh raja-raja seperti para Alexander dan Kaisar telah tinggalkan buat kita?
Berapa banyakkah pemberi (pembawa) hukum yang telah dunia saksikan sejak dari Sulun sampai sekarang ini? Hukum-hukum mereka itu bukan saja berusia pendek (short-lived laws), tetapi juga telah gagal untuk dapat membersihkan hati dan memurnikan akhlak-akhlak manusia. Para penguasa berikutnya selalu menempatkan seperangkat hukum baru pada kitab undang-undang mereka, walaupun lebih seringnya hanya demi memperlanjut kepentingan-kepentingan mereka sendiri ketimbang untuk memperkuat aturan-aturan persamaan hak. Dunia sekarang ini pun bahkan belum juga berubah. Memang, masih saja para legislator di setiap negeri membuat dan membatalkan hukum-hukum tanpa berkesudahan, tetapi jaranglah usaha-usaha mereka ini bermanfaat bagi rakyat yang, menurut pengakuan mereka, mereka wakili. (Padahal sebenarnya dari upaya-upaya mereka itu) lebih banyaknya hanyalah kepentingan akan kekuasaan yang ingin terus mereka tingkatkan. Begitulah seksi-seksi masyarakat yang berkedudukan lebih tinggi yang dapat diharapkan untuk bisa bekerja demi kesejahteraan umat manusia. Jika Anda pikirkan lebih lanjut perkara ini niscayalah akan Anda lihat bahwa sinar kebajikan apa saja yang Anda jumpai di dunia sekarang ini, maka eksistensinya itu bergantung atau bersandar kepada jiwa-jiwa yang berhati tulus ikhlas yang Anda kenal dengan nama para nabi dan rasul Allah swt. Dimana saja Anda menjumpai kemurahan dan keadilan dan keinginan yang tulus untuk meringankan penderitaan-penderitaan orang-orang miskin dan orang yang tertindas, tidak jadi soal apakah semua ini terdapat di gua di suatu gunung atau sebuah hutan rimba atau sebuah kota yang padat, itu semua karena adanya seruan yang diberikan oleh salah seorang dari insan-insan Allah swt ini. Al-Quran mengatakan kepada kita:
“Tidak ada suatu bangsa pun kecuali telah berlalu di kalangan mereka seorang pemberi peringatan”. (QS. Faathir: 24).
“Untuk setiap umat (pasti telah) ada seorang pemberi petunjuk” (QS. Ar-Ra’d: 7).
Kilauan ajaran-ajaran mereka dewasa ini pun dapat dijumpai di setiap negeri dan bangsa. Bangsa-bangsa Afrika (yang dulunya) biadab dan bangsa-bangsa Eropa yang beradab sama-sama berhutang budi kepada mereka ini karena kebijakan (kesucian) jiwa-jiwa yang mereka miliki. Dari semua kelompok manusia yang telah kami sebutkan tadi, yang paling mulia adalah mereka (para rasul), sebab mereka memerintah manusia itu tidaklah seperti raja-raja, tetapi kekuasaan mereka itu bersemayam pada kalbu rakyat. Kerajaan mereka bukanlah terdiri dari tanah dan negeri-negeri, tetapi terdiri dari hati dan ruh-ruh suci. Mereka tidak menghapus pedang, tetapi terdiri dari hati dan ruh-ruh suci. Mereka tidak menghunus pedang, teatpi mereka menghapuskan noda-noda, mereka bukanlah penyanyi mithe-mithe mimpi, tetapi manisnya pembicaraan (ucapan) mereka bisa menerangi jiwa, mereka bukanlah senator dan bukan pula legislator, tapi hukum-hukum yang mereka berikan mampu mengatur tingkah laku para negarawan dan haim, raja-raja dan orang-orang berpengaruh lainnya dari jaman ke jaman.
Ini bukanlah suatu persoalan kepercayaan atau keyakinan tetapi suatu perkara fakta dan sejarah. Orang mesti melihat apakah perkara ini memang sebenarnya demikian atau tidak. Maklumat-maklumat raja Ashoka Patliputra dikubur pada tiang-tiang batu, tapi maklumat-maklumat Budha tersimpan pada hati-hati rakyat. Dekrit-dekrit para penguasa Ujjain, Hastinapur, Delhi dan Kannauj tidak lagi dijumpai dewasa ini, tetapi Dharma Shastra karya Manu masih berpengaruh. Undang-undang Hamurabbi, Raja Babilonia, telah sekian lamanya terkubur dalam tanah debu (hancur), tetapi ajaran-ajaran Nabi Ibrahim masih tetap hidup. Perintah raja Fir’aun atas rakyatnya agar dia disembah seperti Tuhan (diper-Tuhan) kini sudah lenyap laksana awan, tetapi ajaran-ajaran Nabi Musa masih tetap hidup. Berapa lamakah hukum-hukum buatan Sulun itu berkekuatan? Sekarang sudah lenyap, tapi hukum-hukum dari kitab Taurat masih menjadi ukuran dalam menegakkan keadilan. Hukum Romawi yang telah menjerat Yesus Kristus ke tiang Salib sudah sekian lamanya lenyap, tetapi doktrin-doktrin mengenai cinta yang terlontar dari bibir Yesus masih (menurut keyakinan Kristus) mampu menebus dan mensucikan dosa-dosa mereka yang berbuat dosa. Abu Jahal dari Mekkah, Kisra dari Iran dan para Kaisar dari Romawi semuanya sudah lenyap dan mati, tetapi Sayid dari Madinah (baca: Muhammad saw) masih menguasai dan bersemayam pada hati umat manusia di setiap bagian atau penjuru dunia ini.
Kalau fakta-fakta ini benar, maka orang mesti akan sadar, bukan atas dasar kepercayaan, tetapi melalui akal dan logika fakta-fakta yang kuat, bahwa tiada lagi kelas manusia lain selain kelas para nabi yang telah bekerja keras demi kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia dalam pengertian yang sebenar-benarnya, upaya-upaya mereka itu merupakan usaha yang terdiri dari kebajikan, kesucian hati, moderasi dan keserhanaan. Mereka semua datang ke dunia ini sebagai rasul Allah swt untuk menyampaikan risalah kebenaran dan keimanan, dan jejak-jejak langkah kebajikan yang mereka tinggalkan harus diikuti oleh generasi-generasi mendatang. Dari ajaran-ajaran mereka sajalah (diketahui) bahwa para penguasa dan yang dikuasai, yang kaya dan miskin serta yang terpelajar dan yang tidak, dapat mengambil keuntungan atau manfaat yang sama dalam kehidupan di dunia ini.
“Dan kami Telah menganugerahkan Ishak dan Yaqub kepadanya. kepada keduanya masing-masing Telah kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) Telah kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. semuanya termasuk orang-orang yang shaleh. Dan Ismail, Alyasa', Yunus dan Luth. masing-masing kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya). Dan kami lebihkan (pula) derajat sebahagian dari bapak-bapak mereka, keturunan dan Saudara-saudara mereka. dan kami Telah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul) dan kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus. Itulah petunjuk Allah, yang dengannya dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakinya di antara hamba-hambaNya. seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang Telah mereka kerjakan. Mereka Itulah orang-orang yang Telah kami berikan kitab, hikmat dan kenabian jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya, Maka Sesungguhnya kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya. Mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran)." Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat. Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: "Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia". Katakanlah: "Siapakah yang menurunkan Kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan Kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya, padahal Telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui(nya) ?" Katakanlah: "Allah-lah (yang menurunkannya)", Kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya”
Ayat-ayat Al-Quran yang terang ini membicarakan tentang sekelompok manusia istimewa, yang sebagian dari mereka disebutkan namanya, yang telah diutus oleh Allah swt untuk mengobati penyakit spiritual umat manusia dan memperbaiki kesehatan akhlaknya. Mereka adalah orang-orang suci dan ber-ruh seperti ruh malaikat, yang meneybarkan kalimat Allah swt di setiap negeri (bangsa) pada masa dan iklim yang berbeda-beda. Kelurusan moral, kebajikan, kesucian dan kemurnian jiwa apa pun jenisnya yang dimiliki oleh orang sekrang ini, semua itu adalah warisan dari pada nabi dan rasul Allah swt, dan dengan hanya mengikuti jejak langkah mereka sejalah terletaknya keselamatan dan kebajikan umat manusia.
Para nabi dan rasul itulah yang menghiasi dan menyinari ruh atau diri manusia. Dakwah-dakwah Nabi Nuh yang penuh semangat, prinsip Keesaan Allah swt (tauhid) yang tanpa ragu-ragu, yang dipertahankan oleh Nabi Ibrahim, warisan dari leluhur untuk tawakal kepada iradah Allah yang diwarisi oleh Nabi Ishaq, pengorbanan diri Isma’il, usaha-usaha Nabi Musa yang tidak kenal lelah, kesetiaan Nabi Harun, ketawakalan diri Nabi Musa yang tidak kenal lelah, kesetiaan Nabi Harun, ketawakalan diri Nabi Ya’qub, ratapan-ratapan (taubat) Nabi Daud, kebijaksanaan Nabi Sulaiman, janji atau nazar Nabi Zakariya, kesederhanaan nabi Yahya, kesalehan Nabi Isa, penyesalan Nabi Yunus dan kesabaran Nabi Ayub telah membuat kehidupan manusia menjadi menarik hati, sehat, indah dan bersinar. Berasal dari orang-orang yang berjiwa suci inilah setiap macam kebajikan dan kesalehan yang dapat dijumpai di dunia sekarang ini.
Namun, bukanlah menolak fakta bahwa kebudayaan dan peradaban, kemajuan dan peningkatan, setiap seseuatu yang telah memberikan sumbangan terhadap kesejahteraan dan kemajuan manusia dalam bidang material serta telah membantu manusia untuk meningkatkan taraf hidup dirinya ke peringkat jabatannya sebagai khalifah Allah swt di bumi, telah dihasilkan oleh usaha semua manusia yang berkesinambungan. Para astronom telah berhasil menemukan gerakan benda-benda angkasa, para ahli kimia telah telah menemukan dan mengetahui sifat-sifat berbagai substansi (zat), apra dokter telah berhasil meneliti dan menemukan obat-obatan untuk mengobati macam-macam penyakit, para arstek teleh berhasil membangun sains dan design-design bangunan dan para tukang telah banyak melahirkan pelbagai hasil kerajinan tangan yang indah-indah dan bermanfaat.
Jadi, mereka semua telah sama-sama ikut ambil bagian dalam menata dunia kita ini. Kita harus berterimakasih kepada mereka semua. Namun demikian bahkan kita harus lebih berterimakasih kepada orang-orang yang telah mendekor dunia yang ada dalam diri kita atau dunia ruhani kita. Mereka adalah dokter atau tabib yang telah mengobati penyakit ketamakan, penyakit iri dalam dairi telah mendiagnosa penyakit-penyakit jiwa dan telah memulihkan energy dan semangat diri kita yng sudah lemah. Mereka telah mengelaborasi pola-pola dan bakat-bakat tingkah laku kita, ide serta niat-niat kita adan telah menunjukkan kepada kita jalan untuk mencapai kesucian hati dan kemuliaan ruhani. Melalu usaha-usaha mereka inilah Allah swt telah menggerakkan jiwa-jiwa manusia sehingga apa-apa yang telah dicapai dalam bidang kultur (cultural attainment) telah diperhalus dan diperindah, tali hubungan antara manusia dengan Allah swt, hamba dengan Majikannya (baca: Tuhan), dibina. Bagaimana bisa dunia memperoleh kemuliaannya kalau kita menolak pengetahuan yang bisa diperoleh dari ajaran-ajaran para nabi? Sesungguhnya, kita lebih berhutang budi pada insan-insan utusan Tuhan ini ketimbang keapda kelas atau kelompok manusia lainnya. Inilah “salam” yang berhak dimiliki oleh para nabi Allah swt dan wajib dicurahkan oleh kita semua kapan saja nama mereka muncul dari mulut seseorang. Dan inilah ucapan syukur serta doa yang telah diajarkan oleh Islam untuk dilimpaahkan oleh kita kepada mereka – “Ya Allah! Limpahkanlah rahmat dan salam kepada mereka semua”.
Karena tidak ada apa pun di dunia ini yang kekal, maka para pembawa petunjuk bagi umat manusia yang terbebas dari cela ini (orang-orang maksum, yakni para nabi dan rasul Allah swt) mestilah pula meninggalkan alam fana ini dan pergi menuju tempat kediaman yang kekal setelah mereka (menunaikan dan) menyempurnakan kewajiban yang telah diembankan dan diperintahkan oleh Allah swt sebab untuk menunaikan kewajiban inilah mereka di utus.
Dengan demikian maka genarasi-generasi berikutnya harus memelihara catatan-catatan tentang kehidupan mereka: Perkataan dan perbuatan-perbuatan mereka. Sebab fakta bahwa potret-potret para leluhur terdahulu yang telah terdokumentasi dan catatan-catatan mengenai prestasi-prestasi mereka yang tercatat dalam biografi dan sejarah adalah satu-satunya alat untuk melestarikan seni-seni dan sains-sains, penemuan-penemuan dan ide-ide beberapa generasi sebelumnya. Jadi tidak diragukan lagi bahwa kita mendapatkan pelajaran (dari dan) pada setiap pengalaman di masa silam dan, atas alasan itu, kesucian jiwa dan akhlak kita bergantung kepada mengikuti atau tidaknya jejak langkah para guru moralitas yang mulia ini dan kepada para pengikut mereka yang berhati suci. Manusia sampai sekarang ini telah mendapatkan inspirasi (ilham) dari ketauladanan-ketauladanan mereka yang tulus itu dan akan terus demikian pada masa yang akan datang juga. Maka dengan demikian kita wajib, lebih wajib daripada apa pun lagi, untuk memelihara dan mempertahankan catatan-catatan dan usaha-usaha para nabi Allah swt itu demi untuk menjadi petunjuk dan kemaslahatan kita sendiri.
Tapi, tidak ada satu pun filsafat, pendidikan dan ajaran yang bagaimanapun tinggi dan terpujinya yang dapat mengilhami manusia jika penyebar atau gurunya sendiri tidak memiliki suatu kepribadian yang indah yang mampu menarik cinta dan penghormatan dari para pengikutnya. Baru-baru ini ketika saya kembali pulang bulan Pebruari tahun 1942, setelah selesai menunaikan kunjungan singkat ke Hijaz dan Mesir, kebetulan saya mendapat kesempatan untuk menyertai penyair termashur, Dr. Rabindranath Tagore, yang pulang dari Amerika dengan kapal yang sama. Seorang penumpang sekapal bertanya kepada Tagore, “Mengapa ya, gerakan Brahmo Samaj di India tidak berhasil dalam misinya padahal keyakinannya sedemikian tinggi, mengagungkan semua agama dan para pendirinya dan prinsip-prinsip fundamentalisnya pun sedemikian logisnya serta diformulasi menurut sains dan filsafat modern?”
Penyair yang plus filosof itu mencapai inti perkara yang ditanyakan ketika beliau menjawab: “Pergerakan itu tidak bisa berjalan dengan baik sebab tidak memiliki kepribadian (untuk dijadikan tauladan) di belakangnya untuk menyuguhkan suatu contoh praktis dan menarik serta mengilhami umat manusia. Jadi sebenarnya tidak ada satu pun agama yang bisa berhasil (dalam menyebarkan misinya) tanpa adanya tauladan yang terang dari pembawa atau yang mengajarkannya.”
Oleh karena itu kita benar-benar membutuhkan insan-insan atau utusan Allah swt, yang berhati bersih serta terbebas dari cela, yang merupakan contoh kesempurnaan manusia, untuk menjadi hidayah dan keselamatan kita. Semoga Allah swt memberkati mereka semua.
“Yang Mahaagung berfirman dalam Al-Quran, sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasululah itu suri taualadan yang baik bagimu, yatu bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah” (QS. Al-Ahzab: 21).
Salah satu sumber ‘suri tauladan’ adalah perilaku Rasullah sallahu ‘Alaihi Wasallam(saw). Satu dari sekiang banyak rahmat Allah dan bagian dari kebanggan kita sebagai umat Islam, dibandingkan dengan para pengikut agama lain, terletak pada faktwa bahwa sebagian besar perkataan otentik Rasullah (sesuatu yang tidak kita ragukan lagi diucapkan langsung dari Rasullah) sekarang masih berlaku bagi kita. Padahal agama lain tidak ada yang dapat memastikan sebuah pernyatan tertentu yang benar-benar telah didengar dari Musa as. Isa as atau nabi-nabi lainnya. Meskipun banyak kutipan kalimat diambil dari mereka, namun kutipan-kutipan itu tidak pasti dan masih diragukan.
Perbedaan kedua antara Islam (dan Nabi Islam) dengan agama-agama lain adalah riwayat kehidupan Muhammad saw. Yang jelas dan berlandaskan fakta-fakta. Jelas tak satu pun dari para pemimpin dunia yang sebanding dengannya. Bahgkan hal-hal otentik dan saksama yang berhubungan dengan kehidupan Rasul yang suci masih dapat kita peroleh, sedangkan hal yang demikian itu tidak akan kita temukan pada orang lain. Tuhan, bulan, dan bahkan hari kelahirannya, periode setelah kelahiran, kehidupan di padang pasir, masa mudanya, perjalanannya ke negeri lain (di luar Arabia), pekerjaannya sebelum menjadi rasul, tahun perkawinan dan usianya ketika menikah, jumlah putra-putri dan usia mereka, jumlah mereka yang meninggal mendahului beliau dan usia mereka yang meninggal mendahului beliau dan usai mereka ketika meninggal, semuanya sangat akurat. Bahkan semua itu sejelas dan seterang kejadian-kejadian setelah masa kenabian yang berkaitan dengan orang-orang pertama, kedua, dan ketiga yang menyatakan dirinya beriman dan memeluk Islam, berikut catatan lengkap mengenai mereka. Tercatat pula dengan jelas percakapan-percakapan, prestasi yang telah dicapai dan metode-metode yang beliau pergunakan dalam bertindak.
Misalnya saja mengenai Nabi as yang merupakan nabi sebelum Muhammad saw dan satu di antara para rasul-rasul utama (ulul azmi) yang menyampaikan agama, bukankah telah dibenarkan oleh Al-Quran bahwa banyak yang akan selalu meragukan kenabiannya (kaum Muslimin mengakuinya sebagai seorang nabi yang suci dan lurus berdasarkan Al-Quran). Pada dasarnya orang-orang Kristen sendiri tidak mempercayai sama sekali penanggalan Kristen dari sudut sejarah. Dan jika mereka mengatakan seribu Sembilan ratus tahun atau lebih beberapa tahun telah berlalu sejak kelahiran Yesus, hal itu hanya merupakan suatu anggapan umum saja dan bukan berdasarkan pada fakta yang ada.
Berbeda dengan penanggalan dan kalender orang-orang Kristen, penanggalan kita sangat tepat apabila menegaskan seribu atau lebih beberapa tahun silam setelah setelah hijrahnya Rasullah ke Madinah. Sangat mungkin Yesus Kristus hidup dua atau tiga ratus tahun sebelum tanggal yang ditetapkan oleh orang-orang Kristen sebagai tangal kelahirannya. Orang-orang Kristen sendiri (yang bukan benar-benar percaya kepada Kristus) merasa skeptic apakah Yesus Kristus itu benar-benar ada dalam kenyataan di dunia atau hanya figur khayalan belaka. Jadi mereka sebenarnya masih meragukan keberadaan Kristus. Menurut pandangan Islam, hal ini tentu saja tidak benar karena Al-Quran telah menegaskan keberadaannya, dank arena kita beriman keapda Al-Quran, maka kita tidak meragukannya lagi.
Siapakah sebenarnya yang menjadi pengikut Yesus Kristus? Berapa lama Injil dikumpulkan menjadi sebuah kitab setelah kematian Kristus? Ada beberapa Bibel sesungguhnya? Semua pertanyaan di atas tidak memiliki jawaban yang pasti. Sedangkan mengenai nabi Islam yang suci, perilaku dan perkataan-perkataan beliau berasal dari dua sumber otentik yang dapat dipertanggungjawabkan bukan berdasarkan pada skeptisme, yang memberi kita petunjuk dan kebenaran dalam bertindak. Adapun yang benar-benar penting adalah adanya ketepatan dalam perkataan-perkataan manusia-manusia agung itu, yang mudah dipahami oleh orang awam. Hal ini benar khususnya pada Nabi saw. Yang tidak hanya membuat pernyataan-pernyataan, namun juga memberi suri teladan dalam praktik keseharian Rasulullah saw. Pernah bersabda, “Allah telah menganugerahkan kepadaku kata-kata yang luas, yaitu Dia memberi saya kemampuan untuk membuat pernyatan-pernyataan singkat dengan makna yang mendalam”.
Memang seua orang dapat mendengarkan kata-kata Rasul, tetapi tidak semua orang dapat mengerti dengan baik kedalaman maknanya. Mungkin Sembilan persen dari mereka tidak dapat sepenuhnya menangkap arti kata-katanya. Rasulullah sendiri telah mengetahui sebelumnya kenyataan ini, bila kita meninjau sabda beliau, “Catatlah perkataan-perkataanku, simpan dan sampaikan kepada generasi mendatang. Sangat mungkin generasi mendatang memahami lebih baik makna kata-kataku daripada para pengikut yang sekarang duduk disebelah mimbarku ini”. Selanjutnya Rasulullah saw bersabda: “Semoga Allah Subhanahuwataala (swt). Melimpahkan kebahagiannya kepada semua yang mendengarkan, mencatat serta menyampaikan kata-kataku kepada mereka yang tidak mendengarkan langsung dariku.” Beliau kemudian melanjutkan, “Adalah mungkin bahwa seseorang yang menyampaikan pengetahuan dan kearifan dalam sebuah kalimat kepada orang lain, tidak memahami arti kalimat itu sepenuhnya.”
Perbedaan antara Fahm dan fiqh
Fahm berarti pengertin mutlak, sedangkan fiqh menunjukkan pemahaman yang mendalam terhadap sesuatu, dan bila fiqh kita kaitkan dengan wacana maka wacana tersebut memiliki makna yang mendalam. Seperti telah diterangkan sebelumnya, Nabi saw. Mengatakan bahwa adalah mungkin jika orang-orang terpelajar (faqih) menyampaikan pernyataan bermakna mendalam yang telah didengarnya dari beliau kepada orang lain, yang mempunyai pemahaman yang lebih dalam daripada mereka yang membawa pernyataan itu. Oleh karena itu, dengan berlalunya abad, lebih banyak lagi kedalam makna yang dapat ditemukan dari kata-kata Rasullah yang mencakup berbagai bidang. Contohnya adalah perihal perkataan-perkataan Rasullah tentang moral. Sejarah ilmu pengetahuan Islam menunjukkan bahwa baru setelah abad kedua dan ketiga orang menyadari pentingnya arti perkataan-perkataan Rasul dama masalah moral. Demikian pula halnya dalam abad keempat dan kelima, pernyataan-pernyataan Rasulullah tersebut menjadi semakin jelas. Hal yang sama juga dapat dilihat pada ilmu hukum, ideologi, filsafat, etika, imu kebatinan, dan berbagai bidang lainnya.
Para ahli tafsir yang muncul pada periode berikutnya dapat memahami lebih baik kedalaman makna kata-kata Rasulullah. Dan sifat mukjizat dari perkataan-perkataan itu terletak pada kenyataan ini.
Jika kita melihat fiqh secara khusus, kemudian membandingkan seorang jenius seperti Syaikh Shaduq, atau Syaikh Mufid, dan Syaikh Thusi, yang hidup seribu tahun yang lalu, dengan Syaikh Murtadha Anshari yang hidup Sembilan ratus tahun setelah mereka, maka kita akan mendapati bahwa pemahaman dan analisis mutakhirnya terhadap sunnah Rasulullah jauh lebih mendalam. Apakah hal ini disebabkan Syaikh Anshari lebih pandai daripada Syaikh Thusi? Tentu saja tidak! Alasannya adalah bahwa ilmu pengetahuan pada zaman Syaikh Anshari lebih berkembang dan bertambah luas. Oleh karena itu, ia mempunyai pemahaman yang lebih baik terhadap ucapan-ucapan Rasulullah saw. Daripada mereka yang hidup seribu tahun sebelumnya. Demikian pula, seratus atau dua ratus tahun yang akan datang, akan lebih banyak orang yang mempunyai pemahaman lebih baik terhadap kata-kata Rasullah dibandingkan dengan pemahaman yang dimiliki oleh Syaikh Anshari.
Perilaku Rasullah
Bukan hanya perkataan-perkataan beliau saja yang menandung tersembunyi, bahkan perilaku Rasulullah sendiri merupakan subjek untuk penafsiran.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan bahwa Rasul Allah diutus kepermukaan bumi untuk menyelematkan umuat manusi dari kesesatan.dan sebagai perilaku dari kehidupan umat manusia membawa dari kegelapan menuju cahaya kedidupan. Rasulullah tauladan bagi setiap umat manusia dan harus mengikutinya agar selamat di dunia dan di akhirat. Menuju surga yang penuh kenikmatan yang diberikan oleh Allah untuk umat manusia yang menuruti akan jejak langkah para Nabi dan Rasul khususnya mengikut jejak langkah Nabi Muhammad saw sebagai tauladan umat manusia dan generasi sekerang dan yang akan datang.
0 comments:
Post a Comment