POLIGAMI

Monday, November 24, 2008

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus pada suatu saat (berlawanan dengan monogami, di mana seseorang memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat).
Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namum poligini merupakan bentuk yang paling umum terjadi.
Walaupun diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang oleh sebagian kalangan. Terutama kaum feminis menentang poligini, karena mereka menganggap poligini sebagai bentuk penindasan kepada kaum wanita.

BAB II
PEMBAHASAN


Poligami atau menikahi dari seorang istri bukan merupakan masalah baru, ia telah ada dalam kehidupan manusia sejak dulu kala di antara berbagai kelompok masyarakat di berbagai kawasan dunia. Orang-orang Arab telah berpoligami bahkan jauh sebelum kedatangan Islam, demikian pula masyarakat lain di sebagian besar kawasan dunia selama masa itu. Bila orang menelaah kitab suci agama yahudi nasrani, maka dia akan mendapatkan bahwa poligami telah merupakan jalan hidup yang diterima. Semua Nabi yang disebutkan dalam Talmud Perjanjian lama, dan Al-Quran, beristri lebih dari seorang kecuali Yesus/Nabi Isa as. Yang kala dia berusaha lebih panjang mungkin juga akan melakukannya, menerima cara yang sama seperti nenek moyangnya. Bahkan di arah sebelumnya Islam, telah dipraktek poligami yang tanpa batas.

A. Ayat-ayat dan Hadis Tentang Poligami
Dengan tibanya Islam, poligami yang tak terbatas ditetapkan menjadi istri saja pada suatu saat, dengan persyaratan khusus serta juga sejumlah ketentuan yang dikenakan padanya dan akan kita pelajari disini. Hanya ada satu ayat padanya dan kita pelajari di sini. Hanya ada satu ayat al-Quran menyebutkan masalah poligami sebagai berikut:
                              
Artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.(QS. An-Nisa: 3)

Ketentuan tentang poligami di atas diperbolehkan dengan bersyarat. Ayat ini secara lebih khusus merujuk pada keadilan yang harus dilakukan terhadap anak-anak yatim. Ayat ini diturunkan segera setelah Perang Uhud ketika masyrakat Muslim dibebankan dengan banyak anak yatim, janda serta tawanan perang. Maka perlakuan itu diatur dengan prinsi-prinsip kemanusian dan keadilan besar. sebagaimana kata Yusuf Ali, Peristiwanya terjadi pada masa lalu, tetapi prinsi-prinsipnya tetap berlaku terus. Kawinlah anak yatim bila engkau yakin bahwa dengan cara itu engaku dapat melindungi kepentinga dan hartanya secara adil terhadap mereka dan terhadap anak-anak yatim melaikan juga merupakan penerapan yang umum atas hukum perkawinan dalam Islam. Oleh karena itu, para ulama dan fuqaha muslim telah menetapkan persyaratan berikut bila seseorang ingin menikahi leibh dari seorang istri.
1. Dia harus memiliki kemampuan dan kekayaan cukup untuk membiayai berbagai kebutuhan denga bertambahnya istri yang dinihainya itu.
2. Dia harus memperlakukan semua istrinya itu deng adil. Setiap istri diperlakukan secara sama dalam memenuhi hak perkawinan mereka serta gak-hak lainnya.
Bila seorang lelaki merasa baha dia tak akan mampu memeperlakukaknya mereka degnan adil, atau dia tidak memiliki harta untuk membiayai mereka, maka dia harus menahan dirinya sendiri dengan menihai hanya seorang istri. Imam malik berkata dalam kitabnya Al-Muwattha bahwa Ghaylan bin Salmah memluk Islam sedangkan dia memiliki sepuluh orang istri. Maka Rasulullah saw bersabda:
امسك منهن اربعاوفارق سائرهي
Artinya:
“Peliharalah empat orang di antara mereka dan bebaskalah (ceraikanlah) yang lainnya”.
Beristri belih dari satu seorang membuatnya sangat penting bagi si suami agar berlaku seadil mungkin, sebagai yang dimungkinkan orang terhadap setiap istrinya itu. Tujuan utama perkawinan dalam Islam adalah untuk menciptakan suatu keluarga yangsejatera dimana suami dan istri atau istri-istrinya, serta anak-ananya hidup dalam kedamaian, kasih sayang keharmonisan sebagaimana yangdimaksud dalam perintah Al-Qur’an (Q.S 30:21).
Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah bahwa Dia (Alla) telah menicptaka untukmu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang dan kedamaian. (QS. 30:21). Denga demikian maka lelaki sebagai ayah dan perempuan sebagai ibu dari anak-anak mereka hidup bersama membentuk suatu keluarga yang utuh. Setiap orang memiliki perangai yang berbeda, namun bila keramahan, kasih sayang dan kedamaian dapat diciptakan dalam keluarga itu, maka seseorang harus membatasi dirinya sendiri dengan apa yang dapat dikelolanya secara mudah yaitu seorang istri.
Keadaan berikut merupakan pemecahan terbaik bagi diperbolehkankannya poligami:
1. Bila istri menderita suatu penyakit yang berbahaya seperti lumpuh, ayan, atau penyakit menular. Dalam keadan ini maka akan lebih baik bila ada istri yang lain untuk memenuhi dan melayani berbagai keperluan si suami dan akan-anaknya. Kehadirannya pun akan turut membantu istri yang sakit itu.
2. Bila si istri terbukti mandul dan stelah melalui pemeriksaan medis, para ahli berpendapat bahwa dia tak dapat hami. Maka sebaiknya sumai menikah istri kedua sehingga dia mungkin akan memperoleh keturunan, karena anak merupakan permata kehidupan.
3. Bila istri sakit ingatan. Dalam hal ini tentu suami dan anak-anak sangat menderita.
4. Bila istri telah lanjut usia dan sedemikian lemahnya sehingga tak mampu memenuhi kewajibannya sebagai seorang isri, memelihara rumah tangga dan kekayaan suaminya.
5. Bila suami mendapatkan bahwa istrinya memeliki sifat yang buruk dan tak dapat diperbaiki. Maka secepatnya dia menikahi istri yang lain.
6. Bila dia minggat dari rumah suaminya dan membangkang, sedangkan si suami merasa sakit untuk memperbaikinya.
7. Pada masa perang di mana kaum lelaki terbunuh meninggalkan wanita yang sangat banyak jumlahnya, maka poligami dapat berfungsi sebagai jalan pemecahan yang terbaik.
8. Selain hal-hal tersebut di atas, bila lelai itu merasa bahwa dia tak dapat bekerja tanpa adanya istri kedua untuk memenuhi hajat syahwatnya yang sangat kuat serta dia memiliki harta yang cukup untuk membiayanya, maka sebaiknya dia mengambil istri yang lain. Ada beberapa daerah tertentu di dunia ini di mana kaum lelakinya secara fisik sangat kuat dan tak dapat dipuaskan hanya denga seorang istri. Dalam hal demikian, maka poligami inilah jawabannya.
Islam melarang poligami tak terbatas yang dipraktekkan oleh orang-orang jahilliyah Arab maupun bukan Arab. Sudah merupakan kebiasaan para pemimpin dan kepala suku untuk memelihara harem/gundik yang banyak. Bahkan beberapa pengusaha Muslim telah menjadi korban dan melakukan poligami yang tak terbatas pada masa-masa kemudian dari sejarah Islam. Apapun yang mereka lakukan, yang jelas poligami semacam itu tidak diperkenankan dalam Islam. Kalau memeang perlu, seorang Muslim dapat menikahi sampai empat haram khukmnya bagi setiap orang, selain nabi saw, menikahi lebih dari istri empat pada waktu tertentu.

B. Hanya Poligami Terbatas yang Dibolehkan
Beberapa ulama Zhahiri mengatakan bahwa kata-kata al-Quran matsna berarti “dua,dua”, “tiga,tiga”, dan “ruba”, “artinya “empat-empat” sehingga dengan demikian jumlah yang diizinkan mengembung menjadi delapan belas. Adapula yang berpikrian salah bahwa “Matsa wa tsulatsa wa ruba” dijumlahkan menjadi Sembilan belas, sehingga Islam mengizinkan poligami sampai Sembilan orang istri. Sesungguhnya ini merupakan penafsiran Nabawi atas ayat ini tercantum dalam hadist Nabi saw berikut ini:
أن النبي صلي الله عليه وسلم قال لعلاذين اسية الثقغي وقد اسلم و تحته عسر سوة أحترمنهن أربعا وفارق سائرهن
Artinya:
“Sesungguhnya Nabi saw telah bersabda Ghayalan bin Umayyah Al-Tsaqafi yang telah memeluk Islam dan memiliki sepuluh orang istri: “Pilihlah empat orang dari mereka dan ceraikanyang lain”.
Begitu seorang Muslim menikahi lebih dari seorang istri, maka dia bekewajiban untuk memerplakukan mereka secara sama dalam hal makan, kediaman, pakaian, dan bahka hubungan seksual sejauh yang memunkinkan. Bila seorang agar ragu untuk dapat membeikran perlakukan yang sama dalam memenuhi hak mereka, maka dia tak boleh beristri dari seorang. Kalau dia merasa hanya mampu memenui kewajibannya terhadap seorang istri, dia pun tak diperkanankan menikahi yang kedua. Berikutnya; jikadia hanya dapt berlaku adil terhadap dua istri, maka dia tak boelh menikahi tiga. Batas terakhir adalah empat orang istri, bila dia merasa perlu melakukakannya.
         •           
Artinya:
“Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinlah seorang saja”.
Keadilan yangdisebut dalam ayat ini hanya berhubungan dengan usaha yangdimungkina secara manusiawi. Dalam hal cinta kasih, sekalipun andaikan seorang benar-benar ingin berbuat adil denga tujuan yang tulis dia tetap tak akan mampu melakukanya mengingat keterbatasannya sebagai manusia.
Al-Quran menyebutkan kelemahan manusia ini denga kata-kata berikut:
           •             
Artinya:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Sewaktu menjelaskan ayat ini, syeikh Muhammad bin Sirin berkata bahwa ketidak mamuan yang disebutkan dalam al-Quran inilah bertalian denga cinta kasih dan hubungan kelamin. Sedangkan Syikh Abu Bakar bin Al-Arabi berpendapat, “Tak seorangpun yang dapat mengendalikan “rasa” hatinya, karena dia sepenuhnya berada dalam kekuasaan Ilahi”. Demikian pula dalam kehidupan berkeluarga, seorang mungkin merasa lebih senang kepada istri dibandingkan kepada yang lainnya. Dikarenakan hal ini tidak disengaja oleh si suami, maka ia bukan kesalahannya dank arena tak akan dimintai pertanggung jawaban. Ibu orang-orang beriman, Aisyah, telah meriwayatkan sabda nabi saw:
كان رسول الله صلي عليه وسلم يعسم في بعدل ويقول اللهم هذا قسصي
Artinya:
“Adalah rasululah saw selalu mebangikan berbagai hal dan berbuat denga adil )kepada semua istrinya), dan berdo’a: “wahai Allah, inilah pembagian yang dapat aku usahakna, maka janga tuntut aku atas hal yang berada dalam kauasa-Mu, dan aku berkuasa atasnya”.
Disini yang dimaksud adalah hati dan hal-hal yang berhubungan denga hati ketika hadis terebut mengatakan: “Hal yang berada dalam kuasa Allah”. (Abu Daud). Setelah memahami aspek yang harus diperlukan secara adil kepada semua istir, maka hadis Bai saw berikut ini dicamkan dalam hati untuk menghidarkan hal-hal yang melampui batas.
Rasulullahsaw telah bersabda: “Seorang lelaki yang menikahi lebih dari seorang wanita lalu tidak berlaku adil terhadap merka, niscaya akan dibangkitkan kembali (pada hari akhirat) dengan separuh naggota tubuhnya lumpuh”. Pemeliharaan nilai-nilai yang lebiht tinggi dan menunjang kebaikan harus selalu merupakan tujuan utama. Maka izin untuk menikah leibh dari seorang wanita pada suat uketika, merupakan jalan darurat dan pencegahan yang penting untuk melindungi masyrakat dari kekacauan.

C. Pendekatan Modern Terhadap Poligami
Terhadap suatu kecednurang yang berkembang yang menganggap beerapa kelembagaan islam ketinggalan zaman bila ia tidak sesuai denga pola kehidupan Barat. Hal ini terutama berhubungan dengan masalah poligami yang sangat ditentang oleh beberapa sarjana. Bahkan mereka telah berusaha untuk menyalah artikan bahwa poligami tidak diperkenankan dalam islam.
Ada dua ayat Al-Quran yang mereka sebut memperkuat bantahan mereka yaitu surat an-Nisa, ayat 3 dan 129. ayat menyebutkan.
                              
Artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Sedangkan ayat 129 menyatakan:
           •             
Artinya:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Orang-orang modern itu menganggap ayat 129 tersebut sebagai suatu syarat hukum bagi sahnya poligami. Dikarenakan berlaku adil itu tak dapat dimungkinkan, maka seorang harus membatasi dirinya dalam kenyataannya bahwa “berlaku adil” dalam hal kediaman, pada orang perorangan dan antara satu negeri lainnya, sesuai dengan standar perekonomian masyrakat tersebut. Apa yang perlu mereka berikan di negeri Eropah dalam hal makanan, pakaian dan kediaman tak akan dapat diterapkan di beberapa negeri tertentu di Asia dan Afrika di mana standard an biaya hidup jauh lebih rendah. Oleh karenanya, ia merupakan masalah nurani bagi setiap pribadi suami untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap istri-istrinya berdasarkan pada keadaan sendiri. Bahkan pada sebuah masyarakat tertentu, standar hidup mereka akan berada.
Akibat dari masa penjajahan atas negeri-negeri Muslim sangat besar sehingga mereka mengubah hukum status perorangannya serta memaksakan pembatasan-pembatasan pada suami yang mengawini lebih dari seorang istri. Usaha pertama dari perbatasan ini dilakukan oleh Syria pada 1953. Hukum Syria tentang status perorangan (Dekrit No. 59) tahun 1953 menyatakan: “…Hakim berhak menolak izin seorang lelaki yang telah menikahuntuk mengawini wanita lain bila ternyata dia tak mampu untuk menafkahi dua orang istri…” (Artikel 17). Di sini di tetapkan terlarangnya menikahi istri tambahan jika mereka tidak mampu membiayai. Dalam hal ini para ahli Hukum Syria, yang telah dilatih di negeri-negeri Barat, mempertahankan bahwa syariat yang ditetapkan al-Quran Surat An-Nisa ayat tiga harus dipandang sebagai persyaratan hukum positif yang mendahului untuk melakukan poligami serta dipaksakan sedemikian rupa oleh pengadilan bahwa hal-hal yang menjurus pada kesewenangan-kesewenangan harus ditutup. Mereka menetapkan suami yang ingin kawin lagi harus memperoleh izin pengadilan.
Di Tunisia, poligami dilarang sama sekali oleh Hukum Status Perorangan tahun 1957. undang-undang Tunisia tentang status perorangan tahun 1957 itu menyatakan: Poligami dilarang, setiap orang yang telah masuk dalam satu ikatan perkawinan lalu menikah lagi sebelum yang terdahulu bubar maka dia dapat dihukum satu tahun penjara dan denda sebesar….
Undang-undang Maroko tahun 1958 mengambil jalan tengah dan melarang poligami dengan syarat bila terdapat adanya kekhawatiran akan perlakuan yang tak adil. Undang-udangn Marokok tentang perorangan tauhn 1985 itu menyebabkan: “Poligami dilarang bila tampaknya akan terjadi perlakuan yang tak adil terhadap para istri tersebut….” (Artikel 30). Ikatan perkawinan terhadap istri kedua tak akan diterima/disetujui sampai dia. Istri kedua itu, diberitahu bahwa calon suaminya telah menikah.
Begitu pula di Iraq, Hukum status perorangan tahun 1959 tidak menyatakan bahwa poligami terlarang melainkan menetapkan pembatasan-pembatasannya. Undang-undang Iraq tahun 1959 tentang status peroangan menyatakan: “…tidak diperkenankan menikahi lebih dari seorang wanita tanpa izin dari Hakim. Pemberian izin itu diatur dengan syarat bahwa kondisi keuangan suami memungkinkannya untuk membiayai para istrinya dan hal itu benar-benar demi kemaslahatan mereka.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Poligami atau menikah lebih dari 1 orang istri atas ketentuan tentang poligami telah diperbolehkan dengan bersyarat. Di dalam al-Quran telah tercantum bahwa secara lebih khusus merujuk pada keadilan yang harus dilakukan dengan istri yang pertama. Serta harus ada kenyataan dari istri pertama harus atas izin istrinya.
Karena tujuan utama perkawinan dalam islam adalah untuk menciptakan suatu keluarga yang sejahtera di mana suami dan istri/istri-istrinya, serta anak-anaknya hidup dalam kedamaian, kasih



DAFTAR PUSTAKA


Ramulyo, Idris, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, 1996, Jakarta.

0 comments: