ISRAILIYYAT

Sunday, November 30, 2008

BAB I

PENDAHULUAN

Al-quran yang menyatakan dirinya sebagai Hudan linnas otomatis sarat dengan berbagai macam ajaran. Di antara ajaran-ajarannya tertuang dalam kisah-kisah agar manusia mengabil pelajaran, baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam ungkapan Al-quran.

Pengungkapan al-Quran lebih bersifat global. Artinya, dalam mengungkapkan suatu peristiwa tertentu Al-Quran tidak merinci tempat kejadian, saat kejadian dan nama-nama tokoh yang terlibat serta jalannya pristiwa seperti kitab-kitab terdahulu, yakni Taurat dan Injil juga memuat kisah-kisah seperti Al-Quran namun terdapat perbedaan, baik dari segi pengungkapannya maupun gaya bahasanya.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Israiliyat

Kata Israiliyat, secara etimologis merupakan bentuk jamak dari kata Israiliyyah; nama yang dinisbahkan kepada kata Israil (Bahasa Ibrani) yang berarti ‘Abdullah (Hamba Allah).[1] Dalam pengertian lain israiliyat dinisbatkan kepada Nabi Ya’kub bin Ishaq bin Ibrahim. Terkadang Israiliyat identik dengan yahudi kendati sebenarnya tidak demikian. Bani Israil merujuk kepada garis keturunan bangsa, sedangkan Yahudi merujuk kepada pola pikir termasuk di dalamnya agama dan dogma.

Secara terminologis, kata israiliyyat, kendati pada mulanya hanya menunjukkan riwayat yang bersumber dari kaum Yahudi, namun pada akhirnya, para ulama tafsir dan hadis menggunakan istilah tersebut dalam pengertian yang lebih luas lagi. Oleh karena itu, ada ulama yang mendefinisikan israiliyyat yaitu sesuatu yang menunjukkan pada setiap hal yang berhubungan dengan tafsir maupun hadis berupa cerita atau dongeng-dongeng kuno yang dinisbahkan pada asal riwayatnya dari sumber Yahudi, Nasrani atau lainnya.[2] Di katakan juga bahwa israiliyyat termasuk dongeng yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadis yang sama sekali tidak ada dasarnya dalam sumber lama. Kisah atau dongeng tersebut sengaja diselundupkan dengan tujuan merusak akidah kaum Muslimin.[3]

Menurut Ahmad Khalil Arsyad, israiliyyat adalah kisah-kisah yang diriwayatkan dari Ahl al-Kitab, baik yang ada hubungannya dengan agama mereka ataupun tidak.[4] Dalam pendapat lain dikatakan bahwa agama merupakan pembauran kisah-kisah dari agama dan kepercayaan non-Islam yang masuk ke Jazirah Arab Islam yang dibawa oleh orang-orang Yahudi yang semenjak lama berkelana ke arah timur menuju Babilonia dan sekitarnya, sedangkan Barat menuju Mesir. Setelah berita (akhbar) keagamaan yang mereka jumpai dari negera-negara yang mereka singgahi. Di antara cerita-cerita yang termasuk israiliyyat itu kisah Gharaniqah, kisah Zainab bint Jahsy, cerita kapal Nabi Nuh, warna anjing Ashab al-Kahf, makanan yang diberikan kepada Maryam. Dajjal dan lain-lain.

B. Latar Belakang Historis Timbulnya Israiliyat

Sebelum Islam datang, ada satu golongan yang disebut dengan kaum Yahudi, yaitu sekelompok kaum yang dikenal mempunyai peradaban yang tinggi dibanding dengan bangsa Arab pada waktu itu. Mereka telah membawa pengetahuan keagamaan berupa cerita-cerita keagamaan dari kitab suci mereka.[5]

Pada waktu itu mereka hidup dalam keadaan tertindas. Banyak di antara mereka yang lari dan pindah ke Jazirah Arab. Ini terjadi kurang lebih pada tahun 70 M. Pada masa inilah diperkirakan terjadinya perkembangan besar-besaran kisah-kisah israiliyya, kemudian mengalami kemajuan pada taraf tertentu. Disadari atau tidak, terjadilah proses percampuran antara tradisi bangsa Arab dengan khazanah tradisi Yahudi tersebut.[6] Dengan kata lain, adanya kisah Israiliyyat merupakan konsekuensi logis dari proses akulturasi budaya dan ilmu pengetahuan antara bangsa Arab jahiliyah dan kaum Yahudi serta Nasrani.[7]

Pendapat lain menyatakan bahwa timbulnya israiliyyat adalah, pertama, karena semakin banyaknya orang-orang Yahudi yang masuk Islam. Sebelumnya mereka adalah kaum yang berperadaban tinggi. Tatkala masuk Islam mereka tidak melepaskan seluruh ajaran-ajaran yang mereka anut terlebih dahulu, sehingga dalam pemahamannya sering kali tercampur antara ajaran yang mereka anut terdahulu dengan ajaran Islam.

Kedua, adanya keinginan dari kaum Muslim pada waktu itu untuk mengetahui sepenuhnya tentang seluk-beluk bangsa Yahudi yang berperadaban tinggi, di muka Al-Quran hanya mengungkapkan secara sepintas saja. Dengan ini maka muncullah kelompok mufasir yang berusaha meraih kesempatan itu dengan memasukkan kisah-kisah yang bersumber dari orang-orang Yahudi dan Nasrani tersebut. Akibatnya tafsir itu penuh dengan kesimpangsiuran, bahkan terkadang mendekati khurafat dan takhayul.

Ketiga, adanya ulama Yahudi yang masuk Islam seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab bin Akhbar, Wahab bin Manabbih. Mereka dipandang mempunyai andil besar terhadap tersebarnya kisah Israiliyyat pada kalangan Muslim.[8] Hal ini dipandang sebagai indikasi bahwa kisah Israilliyat masuk ke dalam Islam sejak masa sahabat dan membawa pengaruh besar terhadap kegiatan penafsiran Al-Quran pada masa-masa sesudahnya.

C. Kategori Israiliyyat

Dari segi kandungannya, secara garis besar kisah Israiliyat terbagi menjadi tiga kategori. Pertama, kisah Israiliyat yang benar isinya, sesuainya dengan Al-Quran dan hadis dan tidak bertentangan dengan keduanya. Kedua, kisah israiliyat yang bertetangan dengan Al-Quran dan hadis. Ini harus dijauhi dan tidak boleh diriwayatkan kecuali disertai dengan penjelasan mengenai kedustaannya. Ketiga, kisah israiliyat yang tidak diketahui benar tidaknya. Yang demikian ini tidak perlu diyakini atau didustakan keberadaannya, sesuai dengan hadis Nabi dari Abu Hurairah.

D. Dampak Israiliyat Terhadap Kesucian Ajaran Islam

Menurut Adz Dzahabi, jika Israiliyat itu masuk dalam khazanah tafsir al-Quran, ia dapat menimbulkan dampak negatif sebagai berikut. Pertam, Israiliyat akan merusak aqidah kaum Muslimin, karena ia antara lain mengandung unsur penyerupaan pada Allah, peniadaan ishmah para Nabi dan Rasul dari dosa karena mengandung tuduhan perbuatan buruk yang tidak pantas bagi orang adil, apalagi sebagai Nabi. Kedua merusak citra agama Islam karena ia mengandung gambaran seolah-olah Islam agama penuh dengan khurafat dan kebohongan yang tidak ada sumbernya. Ketiga, ia menghilangkan kepercayaan pada ulama salaf, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in. keempat, ia dapat memalingkan manusia dari maksud dan tujuan yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran.

E. Pendapat Ulama Tentang Israiliyat

Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Muqaddimah fi Ushulut-Tafsir Israiliyyat itu terbagi menjadi tiga macam. Pertama, cerita israiliyat yang shahih, itu boleh diterima. Kedua, Israiliyyat yang dusta yang kita ketahui kedustaannya karena bertentangan dengan syari’at, itu harus ditolak. Ketiga, Israiliyat yang tidak diketahui kebenaran dan kepalsuannya itu didiamkan: tidak didustakan dan tidak juga dibenarkan. Jangan mengimaninya dan jangan pula membohongkannya.

Pada Jumhur ulama tentang Israiliyat, Pertama mereka dapat menerima Israilyat selama tidak bertentangan dengan Al-Quran dan hadis. Kedua, mereka tidak menerima selagi kisah Israiliyat tersebut bertentangan dengan Al-Quran dan hadis. Ketiga, tawaqquf atau mendiamkan. Mereka tidak menolak dan tidak membenarkannya, berdasarkan hadis yangdiriwayatkan oleh Abu Hurairah tersebut.[9]

F. Penyusunan Israiliyat ke Dalam Tafsir

Jauh sebelum Islam datang, israiliyat sudah mulai memasuki ke budayaan Arab (pada masa jahiliyyah), karena di tengah-tengah mereka orang-orang Ahl al-Kitab Yahudi telah lama hidup berdampingan. Adanya kisah israiliyyat ini merupakan konsekuensi logis dari akuluturasi budaya dan ilmu pengetahuan antara bangsa Arab jahiliyah dan kaum Yahudi serta Nasrani.

Di samping itu harus diakui bahwa masyaraka Madinah dan sekitarnya – tempat Islam berkembang – termasuk masyarakat yang heterogen, dengan Yahudi dan Arab sebagai etnis yang paling dominan. Mereka yang masuk Islam dari kaum Yahdi (suku Bani Qainuqa, suku Quraizah, suku al-Nazir, suku Khaibar, suku Taima dan suku Fadak) dan Nasrani serta Majusi masih tetap membawa kesan-kesan kepercayaan agama mereka dahulu, sehingga dalam memahami Islam tidak jarang mereka menggunakan kacamata pemahaman mereka dahulu. Di samping itu, bangsa Arab sendiri tidak banyak mengetahui perihal kitab-kitab terdahulu, sehingga ketika mereka ingin mengetahui tentang penciptaan alam, kejadian-kejadian penting dan sebagainya, mereka harus bertanya Ahl al-Kitab dari kalangan Yahudi Nasrani.[10] Momen inilah yang merupakan pangkal merembesnya paham-paham isirailiyyat ke dalam Islam.

Ilmu-ilmu seperti dialektika dan kalam (teologi) banyak dipengaruhi juga oleh israiliyyat. Ibn Atsir dalam Tarikh-nya mengabadikan bahwa faham khalq Alquran yang dicemaskan kaum Mu’tazilah berasal dari Bisyr al-Marisiy. Ia mengambil faham itu dari Jahm ibn Shafwan, Jahm mengadopsinya dari Ja’d ibn Dirham, Ja’d menermimanya dari Abab ibn Sam’an.

Jadi penyusunan israiliyyat ke dalam tafsir dapat dikatakan melalui periode periwayatan dan pengkodifikasinnya. Pada masa periwayatan dari pada para sahabat dan taib’in tidak terdapat kejanggalan kaerna sahabat mendapatkan tafsir langsung dari Nabi. Bila timbul persoalan, maka Rasul sendiri yang akan memberikan jawaban dan solusinya, baik melalui turun wahyu maupun melalui sabda-sabda yang disampaikannya.

Adapun di masa tabi’in, untuk memercahkan masalah yang dihadapi dalam bidang keagamaan mendapatkan informasi dari para sahabat melalui periwayatan dan menjadi murid-murid para sahabat dalam didikan yang diperolehnya. Namun perseoalannya, tidak semua yang diriwayatkan tabi’in ini berasal sari Rasul Allah, melainkan ada yang mauquf di sahabat dan tabi’in. Di zaman tabi’in inilah mulai muncul pemalsuan dan kebohongan terhadap hadis dan tafsir.

Penyusupan Israiliyat ini pada awalnya dikarenakan darurat, betapa pun pada masa sahabat. Mereka membaca Alquran yang berisi kisah-kisah, karena isinya hanya rinkas-ringkas saja sehingga diperlukan penjelasan terperinci dan tidak didapatkannya dari Rasululah.

Zaman berikutnya muncul periode kodifikasi tafsir dan hadis, maka secara tidak disadari Israiliyyat masuk ke dalamnya sampai tercampur aduk dan tidak diketahui lagi otentitas riwayat, mana yang datang dari Nabi dan mana yang datang dari Ahl al-Kitab. Untuk mengatasi persoalan itu, para tabi’in menetapkan musnad, dhabaith dan sistem adalah para perawi, sebagai dijelaskan al-Imam Muslim dalam Mukadimahnya.

لم يكونوا يسالون عن السناء فلما وقعت الفتنة قالزا سموا لنا رجالكم

Artinya:

Mereka dahulu belum mempertanyakan tentang isnad, namun setelah terjadinya peristiwa fitnah, mereka berpendapat: “Namailah untuk kepentingan kita para tokoh kalian[11]

G. Hukum Periwayatan Israiliyyat

Dan segi kandungannya, secara garis, israiliyyat terbagi menjadi tiga bagian, Pertama, kisah israiliyyat yang benar isinya, sesuai dengan Alquran dan hadis. Kedua, kisah israiliyyat yang bertentangan dengan Alquran dan hadis. Ketiga, kisah israiliyyat yang tidak diketahui benar tidaknya.

Dan ketiga kategori kisah-kisah israillyat itu, Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa cerita israiliyyat yang shahih boleh diterima; cerita yang dusta harus ditolak; dan yang tidak diketahui kebenaran dan kedusataannya didiamkan; tidak didustakan dan tidak juga dibenarkan; jangan mengimaninya dan jangan pula membohonginya.

Al-Biqa’I berpendapat bahwa hukum mengutip riwayat dari Bani Israil yang tidak dibenarkan dan tidak didustakan oleh kitab Alquran dibolehkan, demikian pula dari pemeluk agama lain, karena tujuannya di bolehkan, demikian pula dari pemeluk agama lain, karena tujuannya hanyalah ingin mengetahui semata, bukan untuk dijadikan pegangan. Sedangkan menurut Jumhur, israiliyyat, sepanjang tidak bertentangan dengan Alquran dan hadis dapat diterima dan menolak israiliyyat yang bertentangan dengan keduanya. Adapun israiliyyat yang tidak diketahui benar tidaknya, bersifat tawaqquf. Hal ini didasarkan kepada Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah.

لاتصدقوا اهل الكتاب ولا تكذبواهم وقولوا امنا بالله وماانزل الينا وما انزل اليكم

Artinya:

Janganlah kamu sekalian membenarkan Ahl al-Ktab dan jangan pula mendustakannya: ucapkanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada kitab yang di turunkan kepadamu”.

H. Dampak Israiliyyat Terhadap Kesucian Ajaran Islam

Menurut al-Dzhabi, jika israiliyyat itu masuk dalam khazanah tafsir Alquran, ia dapat menimbulkan banyak dampak negatif, di antaranya:

1. Dalam israiliyyat terdapat unsur penyerupaan pada Allah, peniadaan ishmah pada Nabi dan Rasul dari dosa, karena mengadung tuduhan perbuatan buruk yang tidak pantas bagi orang adil, terlebih sebagai Nabi. Hal ini, kalau tidak segera diantisipasi, kalau tidak segera diantisipasi berdasarkan pengajaran akidah yang kuat akan merusak akidah kaum Muslimin.

2. Israiliyyat memberi kesan bahwa Islam seolah mengandung khurafat dan penuh dengan kebohongan yang tidak ada sumbernya. Ini jelas bahwa Israiliyyat memojokkan dan merusak citra Islam.

3. Israillyat menghilangkan kepercayaan pada ulama salaf. Baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in.

4. Israiliyyat dapat memalingkan manusia dari maksud dan tujuan yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran.

I. Israliyyat Dalam Kitab-kitab Tafsir

Ada beberapa kitab tafsir Alquran yang diduga keras banyak mengambil cerita-cerita Israiliyyat.

1. Jami’ al-bayan fi tafsir Alquran

Tafsir ini disusun oleh Ibn Jarir al-Thabariy (224-310 H), seorang yang terkenal dalam bidang fiqh dan hadis, di samping ahli tafsir. Kitab tafsir ini termasuk di antara sekian banyak tafsir yang terpopuler dan menjadi referensi dalam tafsir bi al-ma’tsur terdiri dari 30 Juz yang masing-masing berjilid tebal. Menurut al-Dzhabi, tafsir karya al-Thabari ini merupakan tafsir pertama di antara tafsir-tafssir awal yang pertama pada masa dan ilmunya.

2. Tafsir muqatil

Tafsir ini di susun oleh Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H), seorang yang ahli dalam bidang tafsir. Ia juga banyak mengambil hadis dari tabi’in terkenal, seperti Mujahid ibn Jabbar, Atha Indonesia Rabbah, Dhahak ibn Mazhahiru dan “Athiyah ibn Sa’id al-Awfi. Namun, menurut sebagian pendapat, ia tidak mengambil hadis dari ad-Dhahak, karena Dhahak meninggal 4 tahun sebelum Muqatil meninggal.

3. Tafsir al-Kasyaf wa al-Bayan

Penulis tafsir ini Ahmad ibn Ibrahim al-Tsa’labi al-Naisaburiy. Panggilannya Abu Ishaq yang wafat tahun 427 H Ia menafsirkan Alquran berdasarkan hadis yang bersumber dari ulama Salaf. Sayangnya, dalam menukil sanad-sanad hadis, ia tidak mencantumkannya secara lengkap. Tafsir ini sedikit membahas nawhu dan fiqh; karena ia seorang pemberi nasehat, maka ia senang terhadap kisah-kisah. Oleh karena itu. Dalam kitab tafsirnya ini banyak cerita-cerita israiliyyat yang janggal dan cenderung menyimpang dari kebenaran.

4. Tafsir ma’alim al-Tanzil

Tasfir ini ditulis oleh Syaikh Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud bin Muhammad al-Baghawiy, seorang ahli tafsir dan hadis serta berfaham Syafi’i. tafsirnya lebih ringkas kendati banyak berisi cerita israiliyyat. Namun, secara umum, tafsir ini lebih baik dan lebih murni ketimbang kebanyakan tafsir-tafsir bi al-ma’tsur.

5. Tafsir lubab al-ta’wil fi ma’aniy al-tanzil

Ala’ al din al hasan, Ali ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Amr ibn Khalil al-Syaibaiy (678-741 H) dikenal penulis dari tafsir al-Lubab ini. Sebagai seorang sufi yang senang memberi nasehat, maka tidak heran jika senang bercerita. Ia juga dikenal sebagai khzim (penjaga kitab-kitab Samisatiyah) di Damaskus, sehingga bacaannya akan kitab-kitab tersebut mempengaruhi tulisan tafsirnya.

6. Tafsir Alquran al-Azhim

Tasfir ini popular dengan sebutan tasir Ibn Katsir, nama tafsir yang dinisbatkan kepada pengarangnya, yaitu Ibn Katsir; nama lengkapnya Hafizh Imad al-Din Abu al-Fida Isma’il Ibn Katsur Ibn Dhaw ibn Zar ‘a al-Bishri al-Dimasyqiy. Ia seorang tekenal ahli fiqh, ahli hadis dan ahli tafsir penganut mazhab al-Safi’i.[12]

J. Sebab-sebab Penggunaan Israiliyyat

Sebenarnya cara merembesnya cerita-cerita Israiliyyat ke dalam tafsir dan hadis didahului oleh masuknya kebudayaan Arab zaman jahiliyyah. Pada waktu itu hidup di tengah-tengah orang Arab segolongan Ahli Kitab, yaitu kaum Yahudi yang pindah ke Jazirah Arab sejak dahulu. Perpindahan itu terjadi secara besar-besaran pada tahun 70 M. Mereka lari dari ancaman dan siksaan yang datang dari Titus (Lihat Kitab Al-Yahudi fi Biladil Arab, oleh Israil Alfansi, hal. 9; dan Al-Arab Qablal Islam oleh Jawat Ali, Jilid 6 hal. 24; serta Banu Israil min Asfarihim oleh Muhammad Izzat Darwazah.

Tafsir dan hadis, keduanya sangat terpengaruh oleh kebudayaan Ahli Kitab yang berisikan cerita-cerita palsu dan bohong. Israiliyat juga mempunyai pengaruh yang buruk ia diterima oleh masyarakat umum dengan kecintaanyang jelas. Ia dituliskan pula oleh sebagian cendikiawan dengan mudah, sehingga kadangkala ia sampai pada keadaan diterima walaupun jelas lemah dan terang bohongnya. Padahal itu semua merupakan hal yang akan merusak akidah sebagian besar kaum Muslimin, serta menjadikan Islam dalam pandangan musuh-musuhnya sebagai agama yang penuh khurafat dan hal-hal yang tidak masuk akal.

Merembesnya cerita Israiliyyat ke dalam tafsir dan hadis secara meluas itu karena telah diketahui oleh para ulama, bahwa tafsir dan hadis itu memilki dua periode yang berbeda. Pertama, periode periwayatan, dan kedua, periode pembukuan.

1. Periode periwayatan tafsir

Rasulullah bergaul dengan para sahabatnya dan memberi penjelasan kepada mereka tentang urusan agama dan dunia dianggap penting oleh mereka atau dianggap penting oleh Nabi. Penjelasan Nabi itu mencakup juga tafsir-tafsir ayat Quran yang dianggap masih samar oleh para sahabatnya.

Para sahabat, memperhatikan dan menghafal penjelasan Nabi tersebut, kemudian mereka menyampaikannya kepada saudara-saudaranya yang tidak hadir dalam majelis Nabi dan juga kepada murid-muridnya sampai kepada tabi’in. para tabi’in meriwayatkan apa yang mereka terima dari pada sahabat kepada tabi’in lainnya, dan juga mereka menyampaikan kepada para muridnya sampai generasi tabi’it-tabi’in.

Pada periode tabi’in banyak hadis-hadis palsu, kedustaan dan kebohongan yang disandarkan kepada Rasulullah tersebar, (dianggap dari Rasul, padahal bukan, pent). Dan karena itu mereka tidak menerima suatu hadis, kecuali apaila hadis itu hadis musnad dan yakin akan keadilan perawinya dan kekuatan hafalannya.

2. Periode pembukuan tafsir

Periode ini dimulai pada akhir abad pertama dan awal abad kedua Hijriyah. Awal dari pembukaan tafsir dan hadis adalah satu, ketika Umar bin Abdul Aziz, memerintahkan semua ulama di seluruh dunia untuk mengumpulkan hadis-hadis rasul yang menurut anggapan mereka sama. Para ulama tersebut bekerja dengan sungguh-sungguh. Di antara mereka ada yang berkeliling ke negara-negara yang berbeda untuk mengumpulkan hadis Rasulullah. Termasuk ke dalam tugas lingkup ini, segala yang berpangaruh terhadap tafsir dan segala keterangan dari para sahabat dan tabi’in. apa yang mereka kumpulkan tersebut kemudian dibukukan menjadi bermacam-macam bab yang bervariasi, dan tafsir merupakan salah satu bab dari bab-bab tersebut.

Jadi, jelaslah dari apa yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Tafsir dah hadis melekat pada keduanya, dua periode yang sangat jelas, yaitu periode periwayatan dan periode pembukuan. Hanya saja tafsir bil-Mansur tidak bisa dilepaskan keadaanya dari hadis.

2. Semua faktor yang melemahkan pada kedua periode itu yang menimpa tafsir pada hakikatnya menimpa hadis pula.

3. Segala cerita-cerita yang bohong dan batil yang tercampur dengan tafsir, juga terjadi pada hadis, orang-orang yang mempunyai maksud buruk dan jahat membuat hadis-hadis yang dinisbahkan kepada Rasulullah. Banyak di antara hadis tersebut yang dinisbahkan keapda tafsir, dijadikan landasan dan pegangan oleh orang-orang yang tersesat dan tertipu.

Sesungguhnya bahaya cerita-cerita Israiliyyat, sebagaimana telah kita kemukakan di atas, telah merembes ke dalam tafsir dan hadis secara berangsung-angsur melalui periwayatan dan pembukuan.

3. Periode periwayatan hadis

Pada periode ini cerita israiliyat merembes ke dalam tafsir dan hadis atau dalam waktu yang sama secara berbarengan. Hal ini terjadi karena pada mulanya tafsir dan hadis merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Masalah ini terjadi pada zaman sahabat. Mereka membaca Quran yang di dalamnya terdapat kisah-kisah dan berita-berita. Mereka melihat, bahwa Quran menceritakan kisah tersebut hanyalah dalam batas nasihat dan ibarah. Apa yang terperinci mereka satukan, dan apa yang global mereka uraikan sesuai dengan pengetahuan mereka. Hal ini terjadi, dalam kondisi mereka berdekatan dengan para ahli kitab, dan juga masuk ke dalam Islam sekelompok orang dari mereka.

4. Periode pembukaan hadis

Pada periode ini, sebagaimana telah kita ketahui, hadis dibukukan dengan bantuan ilmu lain yang bermacam-macam, dan tafsir pun termasuk salah satu bagian daripadanya. Pada mulanya riwyat Mansur itu dikemukakan dengan terang sanad-sanadnya. Secara umum tafsir pada masa ini bersih dari cerita-cerita Israiliyyat, kecuali sedikit saja, itu pun tidak bertentangan dengan nas syar’i. sbagian dari cerita tersebut ada yang diriwayatkan dari Rasulullah melalui riwayat yang shahih, seperti hadis-hadis tentang Bani Israil yang terdapat dalam Shahih Bukhari mau pun kitab-kitab hadis senada lainnya.

K. Macam-macam Israiliyyat

Cerita-cerita Israiliyat terbagi menjadi tiga bagian, tetapi ada juga yang berbeda pandangan.

Jika dilihat dari sudut sahih dan tidaknya, cerita Israiliyat terbagi pada cerita yang sahih dan cerita yang daif (termasuk daif yang maudu). Contoh dari cerita Israiliyyat yang sahih, adalah apa yang dikemukakan oleh Ibnu Kasir di dalam tafsirnya dari Ibnu Jarir, seperti dikatakan: “Menceritakan kepada kami Mustani dai Usman bin Umar dari Fulailah dari Hilala bin Ali dari Ata bin Yasir, ia berkata Aku telah bertemu dengan Abdullah bin Amr dan berkata kepadanya: Ceritakanlah olehmu kepadaku tentang sifat Rasulullah yang diterangkan di dalam Kitab Taurat! Ia berkata: Ya, demi Allah, sesungguhnya sifat Rasulullah di dalam Taurat sama seperti yang diterangkan di dalam Quran: “Wahai Nabi, sesungguhnya kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringantan”, dan pemelihara orang-orang ummi. Engkau adalah hamba-Ku dan rasul-Ku, namamu dikagumi, engkau tidak kasar dan tidak pula keras. Allah tidak akan mencabut nyawanya sebelum agama Islam tegak dan lurus, yaitu dengan ucapan: Tiada Tuhan yang patut disembah dengan sebenar-benarnya kecuali Allah. Dengannya pula Allah akan membuka hati yang tertutup, membuka telinga yang tuli, membuka mata yang buta. Atau berkata: Kemudian aku bertemu dengan Ka’b, lalu kau bertanya kepadanya tentang masalah tersebut. Maka tidak ada perbedaan kata apa pun juga, kecuali Ka’b berkata, telah sampai kepadanya: Qulubun Gaulifiyyah (hati yang tertutup), telinga yang tuli dan mata yang buta”.

Contoh cerita Israiliyat yang daif, adalah asar yang diriwayatkan oleh Abu Muhammad bin Abdurrahman dari Abu Hatim Ar-Razi, kemudian dinukil oleh Ibnu Kasri di dalam Tafsirnya, dalam rangka menguraikan ayat pada surat Qaf ia berkata: “Sesungguhnya asar tersebut adalah asar yang garib yang tidak sahih, dan ia menganggapnya sebagai cerita khurafat Bani Israil”, lengkapnya asar tersebut, sebagai berikit:

“Ibnu Abu Hatim berkata, telah berkata ayahku, ia berkata: Aku mendapat cerita dari Muhammad bin Ismail Al-Makhzumi, telah menceritakan kepadaku Lais bin Abu Sulaim, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, ia berkata: Allah telah menciptakan di bawah ini laut yang melingkupnya, di dasar laut. Ia menciptakan sebuah gunung disebut gunung Qaf. Langit dunia ditegakkan di atasnya. Di bawah gunung tersebut Allah mencipatakan bumi seperti bumi ini, yang jumlahnya tujuh lapis. Kemudian di bawahnya ia mencipatakan laut yang melingkupnya. Di bawahnya lagi ia menciptakan laut yang melingkupnya. Di bawahnya lagi ia mencipatakan sebuah gunung lagi, yang juga bernama gunung Qaf Langit jenis kedua diciptakan di atasnya. Sehingga jumlah semuanya: tujuh lapis bumi, tujuh lautan, tujuh gunung dan tujuh lapis langit. Kemudian ia berkata: Uraian itu merupakan maksud dari firman Allah:

........والبحر يمده من بعده سبعة ابحر......

Artinya:

….dan laut (menjadi tintan), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya…..”. (QS. Luqman: 27).

Terhadap asar ini Ibnu Kasir mengaitkannya dengan menyatakan sanad dari asar ini terputus. Jika dilihat dari segi ini, cerita Israiliyyat terbagi menjadi tiga bagian: Pertama, yang sesuai dengan syariat kit. Kedua, yang bertentangan dengan syariat dan ketiga yang didiamkan (maksud anhu), yakni tidak terdapat di dalam yang menyatakan tidak ada manfaatnya.

Contoh kriteria yang pertama, yakni yang sesuai dengan syariat kita, adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dengan redaksi dari Imam Bukhari ia berkata: “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukhari ia berkata: “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukhari, dari Lais, dari Khalid, dari Sa’id bin Abu Hilal, dari Zaid bin Aslam, dari Ata’ bin Yasir, dari Abu Sa’id Al-Khudri, ia berkata, bahwa Rasulullah telah bersabda:

تكون الارض يوم القيامة خبزة واحدة يتكفؤها الجبار بيده كما يكفأ احدكم خبزته ف السفر نزلالاهل الجنة فاتي رجل من اليهود، فقال: بارك الرحمان عليك يأبا القاسم، الا اخبرك بنزل الجنة يوم القيامة؟ قال بلي، قال: تكون الارض خبزة واحيدة كما قال النبي صلي الله عليه و سلم : فنظر النبي صلي الله عليه و سلم الينا، ثم ضحك حلي بدت نواجذه...

Artinya:

Adalah bumi itu pada hari kiamat nanti seperti segenggan roti. Allah memegangnya dengan kekuasan-Nya, sebagaimana seseorang menggenggam sebuah roti di perjalanan. Ia merupaka tempat bagi ahli sruga. Kemudian datanglah seorang laki-laki dari Yahudi, dan berkata: Semoga Allah menganggungkan engkau wahai Abal Qasim, tidaklah aku ingin menceritakan kepadamu tempat ahli surga pada hari kiamat nanti? Rasul menjawab ya tentu. Kemudian laki-laki tadi menyatakan bahwasanya bumi ini seperti segenggam roti sebagaimana dinyatakan Nabi, kemudian Rasul melihat kepada kami semua, lalu tertawa sampai terlihat geraham giginya”.

Contoh cerita Israiliyat kriteria kedua, yakni yang bertentangan dengan syariat kita, keterangan yang telah kita ketahui terdahulu dalam Kitab Safarul-Khuruj bahwasanya harun as. Adalah Nabi yang membuat anak sapi untuk Bani Israil, lalu ia mengajak mereka untuk menyebahknya. Demikian pula riwayat yang telah kita dapati dari Kitab Safarut-Takwim, bahwasanya Allah menyelesaikan seluruh pekerjaan-Nya pada hari yang ketujuh, lalu bersitirahatlah pada hari yang ketujuh tersebut. Demikian pula yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam Tafsirnya, ketika menerangkan firman Allah dalam Quran surat Shad ayat 34:

ولقد فتنا سليمان والقينا علي كرسيه جسدا ثم اناب

Artinya:

Dan sesungguhnya kami telah menguji Sulaiman dan kami jadikan (dia) tergeletak di atas krusinya sebagai tubuh yang lemah (karena sakti), kemduian ia bertobat”. (QS. Shad: 34).

Contoh cerita Israiliyyat ketiga, yakni yang didiamkan oleh syariat kita, dalam arti tidak ada yang memperkuat ataupun menolaknya, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Kasir dari Su’udi di dalam tafsirnya ketika menerangkan ayat-ayat tetnang sapi betina, sebagaimana dinyatakan di dalam Quran surat Al-Baqarah ayat 67-74. Keterangannya adalah: “Seorang laki-laki dari Bani Israil, memiliki harta yang banyak dan memiliki seorang anak wanita. Ia mempunyai pula seorang anak laki-laki dari saudara laki-lakinya yang miskin. Kemudian anak laki-laki tersebut melamar anak perempuan itu. Akan tetapi saudara laki-laki tersebut enggan mengawinkannya, dan akibatnya, pemuda tadi menjadi marah, dan ia berkata: Demi Allah akan kubunuh pamannya, bertepatan dengan datangnya sebagian pedagang Bani Israil. Ia berkata kepada pamannya: Wahai pamanku, berjalanlah bersamaku, aku akan minta pertolongan kepada para pedagang Bani Israil, mudah-mudahan aku berhasil, dan jika mereka melihat engkau bersamaku pasti akan memberinya. Kemudian keluarlah pemuda itu beserta pamannya pada suatu malam, dan ketika mereka sampai disuatu gang, maka si pemuda tadi membunuh pamannya kemudian ia kembali kepada keluarganya. Ketika datang waktu pagi, seolah-olah ia tidak mengetahui di mana pamannya itu berada, dan berkata: Kalian membunuh pamanku, bayarlah diyatnya. Kemudian ia menangis sambil melempar-lempar tanah ke atas kepalanya dan berteriak: Wahai paman! Lalu ia melaporkan persoalannya kepada Nabi Musa dan Nabi Musa menetapkan diyat bagi pedagang tersebut. Mereka berkata kepada Musa: Wahai Rasulullah, berdoalah engkau kepada Tuhan, mudah-mudahan Tuhan memberi petunjuk kepada kita, siapa yang melakukan hal ini, nanti keputusan diberikan kepada pelaku. Demi Allah, sesungguhnya membayar diyat itu bagig kami adalh sangat mudah, akan tetapi kami sangat malu dengan perbuatan tersebut”. [13]

Peristiwa tersebut dinyatakan Allah dalam Quran surat Al-Baqarah ayat 72:

øŒÎ)ur óOçFù=tFs% $T¡øÿtR öNè?øÀuº¨Š$$sù $pkŽÏù ( ª!$#ur Ól̍øƒèC $¨B öNçFZä. tbqãKçFõ3s? ÇÐËÈ

Artinya:

Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh menuduh tentang itu. dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama Ini kamu sembunyikan.” (QS. Al-baqarah: 72).


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian terdahulu dapat di tarik kesimpulan pertama, kisah Israiliyyat adalah kisah-kisah yang sebagian besar bersumber dari orang-orang Yahudi baik disadari atau tidak, yang telah menyusup kedalam khazanah Tafsir Al-Quran dan hadis kedua latar belakan timbulnya israiliyyat adalah semakin banyaknya orang-orang Yahudi atau ahli kitab yang masuk Islam, adanya keinginan sebagian dari kaum muslimin untuk mengetahui ihwal orang-orang yahudi yang mempunyai peradaban tinggi di banding kaum muslimin di jazirah arab pada watku itu. Ketiga israiliyyat mempunyai dampak negatif terhadap penafsiran alquran ia dapat merusak cintra agama islam, merusak aqidah muslim dan memalingkan kaum muslimin dari ajaran alquran dan sunnah.


DAFTAR PUSTAKA

Abu Abd Allah Muhammad al-Anshari al-Qurthhubiy, al-Jami li Ahkam Al-quran, jilid I Kairo, Dar al-Kutub al-Mishriyyah, t.t.

Ahmad Khalil Arsyad, Dirash fi Alquran, Mesir, Dar al-Ma’arif, 1972.

Ahmad, Syadali, Ahmad Rafi’i, Ulumul Quran I, Bandung, CV. Pustaka Setia, 1997.

Al-Imam Muslim, Shahih Muslim, Jilid I Delhi, Al-Amriyyah, t.t.

Amin Al-Khuli, Manhajut Tajaad fit Tafsir, Kairo, Darul Ma’arif, 1961.

Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir Al-Islami, Kairo, As Sunnah Al-Muhammadiyah, 1995.

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Bandung, MIzan, 1995.

Manna ‘Khalil Al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Al-Quran, Jakarta, Litera Antar Nusa, 1996.

Muhammad Abu Syubbah, al-Israiliyyat wa al-Mawdhu at fii Kutub al-Tafsir, Kairo, Maktabah al-Sunnah, 1408.

Muhammad Chirzin, Al-Quran dan Ulumul Quran, Yogyakarta, PT Dana Bhakti Primayasa, 1998.

Muhammad Husein al-Khalaf, al-Yahudiyyah bayna al-Masihiyyah wa al-Islam, Mesir, al-Muassasah al-Mishriyyah, 1962.

Supiana dan M. Karman,, Ulum Quran, Bandung, Pustaka Islamika, 2002.



[1]Muhammad Husein al-Khalaf, al-Yahudiyyah bayna al-Masihiyyah wa al-Islam, (Mesir: al-Muassasah al-Mishriyyah, 1962), hlm. 14. Abu Abd Allah Muhammad al-Anshari al-Qurthhubiy, al-Jami li Ahkam Al-quran, jilid I (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, tp), hlm. 331.

[2]Muhammad Husein al-Dzahabi, op.cit, hlm. 19-20.

[3]Muhammad Husein al-Khallaf, op.cit, hlm. 20.

[4]Ahmad Khalil Arsyad, Dirash fi Alquran, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1972), hlm. 15.

[5]Manna ‘Khalil Al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Al-Quran, terjemah Mudzakir AS (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1996), h. 42.

[6]Amin Al-Khuli, Manhajut Tajaad fit Tafsir, (Kairo: Darul Ma’arif, 1961), h. 227.

[7]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: MIzan, 1995), h. 46.

[8]Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir Al-Islami, (Kairo: As Sunnah Al-Muhammadiyah, 1995), h. 113.

[9]Drs. Muhammad Chirzin, Al-Quran dan Ulumul Quran, (Yogyakarta, PT Dana Bhakti Primayasa, 1998), h. 77-82.

[10]Muhammad Abu Syubbah, al-Israiliyyat wa al-Mawdhu at fii Kutub al-Tafsir, (Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1408), h. 11.

[11]Al-Imam Muslim, Shahih Muslim, Jilid I (Delhi: Al-Amriyyah, t.t), h. 112.

[12]Supiana dan M. Karman,, Ulum Quran, (Pustaka Islamika, bandung, 2002). h.197-208.

[13]Ahmad, Syadali, Ahmad Rafi’i, Ulumul Quran I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), h. 238-265.

BY: ISNAWATI

KONSEP SYUKUR

BAB I

PENDAHULUAN

Kata "syukur" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab.  Kata ini  dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: (1) rasa terima kasih kepada Allah, dan (2) untunglah  (menyatakan lega, senang, dan sebagainya).
Pengertian   kebahasaan   ini  tidak  sepenuhnya  sama  dengan pengertiannya menurut asal kata itu (etimologi) maupun menurut penggunaan Al-Quran atau istilah keagamaan.
Dalam   Al-Quran   kata  "syukur"  dengan  berbagai  bentuknya ditemukan sebanyak enam puluh empat  kali.  Ahmad  Ibnu  Faris dalam  bukunya  Maqayis Al-Lughah menyebutkan empat arti dasar dari kata tersebut yaitu,
1.      Pujian karena adanya kebaikan yang diperoleh. Hakikatnya adalah merasa ridha atau puas dengan sedikit sekalipun, karena itu bahasa menggunakan kata ini (syukur) untuk kuda yang gemuk namun hanya membutuhkan sedikit rumput. Peribahasa juga memperkenalkan ungkapan Asykar min barwaqah (Lebih bersyukur dari tumbuhan     barwaqah). Barwaqah adalah sejenis tumbuhan yang tumbuh subur, walau dengan awan mendung tanpa hujan.
2.      Kepenuhan dan kelebatan. Pohon yang tumbuh subur dilukiskan dengan kalimat syakarat asy-syajarat.
3.      Sesuatu yang tumbuh di tangkai pohon (parasit).
4.      Pernikahan, atau alat kelamin.
Untuk lebih jelasnya maka, akan kami bahas dalam pembahasan selanjutnya pada bab-bab berikutnya.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Syukur Menurut Bahasa dan Istilah

Kata syukur diambil dari kata syakara, syukuran, wa syukuran,dan wa syukuran yang berarti berterima kasih keapda-Nya.[1]

Bila disebut kata asy-syukru, maka artinya ucapan terimakasih, syukranlaka artinya berterimakasih bagimu, asy-syukru artinya berterimakasih, asy-syakir artinya yang banyak berterima kasih.[2]

Menurut Kamus Arab – Indonesia, kata syukur diambil dari kata syakara, yaskuru, syukran dan tasyakkara yang berarti mensyukuri-Nya, memuji-Nya.[3]

Syukur berasal dari kata syukuran yang berarti mengingat akan segala nikmat-Nya.[4] Menurut bahasa adalah suatu sifat yang penuh kebaikan dan rasa menghormati serta mengagungkan atas segala nikmat-Nya, baik diekspresikan dengan lisan, dimantapkan dengan hati maupun dilaksanakan melalui perbuatan.[5]

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa syukur menurut istilah adalah bersykur dan berterima kasih kepada Allah, lega, senang dan menyebut nikmat yang diberikan kepadanya dimana rasa senang, lega itu terwujud pada lisan, hati maupun perbuatan.

B. Pengertian Syukur dalam Alquran

Ada tiga ayat yang dikemukakan tentang pengertian syukur ini, yaitu sebagai berikut disertai penafsirannya masing-masing.

1. Surah al-Furqan, 25/042: 62

uqèdur Ï%©!$# Ÿ@yèy_ Ÿ@øŠ©9$# u$yg¨Y9$#ur Zpxÿù=Åz ô`yJÏj9 yŠ#ur& br& tž2¤tƒ ÷rr& yŠ#ur& #Yqà6ä© ÇÏËÈ

Artinya:

Dan dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur” (QS. Al-Furqan: 62).

Ayat ini tergolong Makkiyah dan tidak ditemukan sebab turunnya (asbab al-nuzul), ayat ini ada hubungannya dengan ayat sebelumnya bahwa Allah telah membeberkan beberapa dalil tauhid dan menunjuk kepada beberapa tanda-tanda kebesaran dan bukti yang ada di dalam alam yang membuktikan kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya. Kemudian Allah kembali menjelaskan perkataan dan perbuatan mereka yang keji. Karena, sekalipun mereka telah menyaksikan segala bukti, namun mereka tidak meninggalkan perbuatan sesatnya malah berpaling dari mengingat Tuhan, sehingga hanya kalau disembah dan tidak dapat mendatangkan azab kalau tidak disembah. Di samping itu, mereka membantu para penolong, setan dan menjauhi para penolong ar-Rahman. Jika kau heran terhadap sesuatu, maka heranlah terhadap perkara mereka, karena kejahilannya telah sampai kepada membahayakan orang yang datang untuk memberikan kabar gemberia tentang kebaikan yang meyeluruh jika mreka menaati Tuhan, dan mengingatkan mereka dari malapetaka dan kebinasaan jika mereka mengingkari-Nya. Lebih dari itu, rasul tidak mengharapkan imbalan dari dakwah itu.[6]

Allah juga memerintahkan kepada rasulnya agar tidak takut terhadap ancaman dan siksaan mereka, tetapi hendaknya beliau bertawakkal kepada Tuhan, bertasbih seraya memuji-Nya.[7]

Ayat ini ditafsirkan oleh al-Maragi sebagai berikut bahwa Allah telah menjadikan malam dan siang silih berganti, agar hal itu dijadikan pelajaran bagi orang yang hendak mengamil pelajaran dari pergantian keduanya, dan berpikir tentang ciptaan-Nya, serta mensyukuri nikmat tuhannya untuk memperoleh buah dari keduanya. Sebab, jika dia hanya memusatkan kehidupan akhirat maka dia akan kehilangan waktu untuk melakukan-Nya.[8]

Dengan demikian diketahui bahwa ayat yang berkenaan dengan pengertian syukur dalam ayat tersebut pada dasarnya adalah lafal yang berbunyi اراد شكورا Jadi arti syukur menurut al-Maragi adalah mensyukuri nikmat Tuhan-Nya dan berpikir tentang cipataan-Nya dengan mengingat limpahan karunia-Nya.[9]

Hal senada dikemukakan Ibn Katsir bahwa syukur adalah bersyukur dengan mengingat-Nya.[10]

Penafsiran senada dikemukakan Jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalal al-Din Abd Rahman Abi Bakr al-Suyutiy dengan menambahkan bahwa syukur adalah bersyukur atas segala nikmat Rabb yang telah dilimpahkan-Nya pada waktu itu.[11]

Departemen Agama RI juga memaparkan demikian, bahwa syukur adalah bersyukur atas segala nikmat Allah dengan jalan mengingat-Nya dan memikirkan tentang ciptaan-Nya.[12]

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa syukur adalah bersyukur atas segala nikmat Tuhan-Nya dengan mengingat dan berpikir tentang ciptaan-Nya.

2. Surah Saba, 034/058 :13

tbqè=yJ÷ètƒ ¼çms9 $tB âä!$t±o `ÏB |=ƒÌ»pt¤C Ÿ@ŠÏW»yJs?ur 5b$xÿÅ_ur É>#uqpgø:$%x. 9rßè%ur BM»uÅ#§ 4 (#þqè=yJôã$# tA#uä yŠ¼ãr#yŠ #[õ3ä© 4 ×@Î=s%ur ô`ÏiB yÏŠ$t6Ïã âqä3¤±9$# ÇÊÌÈ

Artinya:

Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang Tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih”. (QS. Saba: 13).

Ayat ini tergolong surah Makkiyah yang tidak ditemukan asbab al-Nuzul, ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyebut-nyebut apa yang pernah Dia anugrahkan kepada Sulaiman as,. Yaitu mereka melaksanakan perintah Sulaiman as untuk membuat istana-istana yang megah dan patung-patung yang beragam tembaga, kaca dan pualam. Juga piring-piring besar yang cukup untuk sepuluh orang dan tetap pada tempatnya, tidak berpindah tempat. Allah berkata kepada mereka “agar mensyukuri-Nya atas segala nikmat yang telah Dia limpahkan kepada kalian”.[13]

Syukur itu bisa berupa perbuatan begitu pula bisa berupa perkataan dan bisa pula berupa niat, sebagaimana dikatakan:

أحديكم النعماء مني ثلاث يدي زلساني و الهير المحيحيا.

Kemudian Dia menyebutkan tentang sebab mereka diperintahkan bersyukur yaitu dikarenakan sedikit dari hamba-hamba-Nya yang patuh sebagai rasa syukur atas nikmat Allah swt dengan menggunakan nikmat tersebut sesuai kehendak-Nya.[14]

Ayat yang berkaitan dengan pengertian syukur dalam ayat tersebut adalah lafal yang berbunyi:

شكرا- الشكور

Menurut al-Maragi arti kata asy-Syukur di atas adalah orang yang berusaha untuk bersyukur. Hati dan lidahnya serta seluruh anggota tubuhnya sibuk dengan rasa syukur dalam bentuk pengakuan, keyakinan dan perbuatan.[15]

Dan ada pula yang menyatakan asy-syukur adalah orang yang melihat kelemahan dirinya sendiri untuk bersyukur.[16]

Sementara itu Ibn Katsir memberikan arti dari kata asy-syukur adalah berterima kasih atas segala pemberian dari Tuhan yang maha Pemurah lagi Maha Penyayang.[17]

Penafsiran yang senada dikemukakan oleh jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalal al-Din Abd al-Rahman Ibn Abi Bkar al-Suyutiy dengan menambahkan bahwa rasa syukurnya itu dilakukan dengan taat menjalankan perintah-Nya.[18]

Penafsiran yang senada dikemukakan oleh Jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalal al-Din Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyutiy dengan menambahkan bahwa rasa syukurnya itu dilakukan dengan taat menjalankan perintah-Nya.[19]

Sedangkan Depertemen agama RI menyebutkan arti kata dasar asy-syukur adalah bersyukur atas segala nikmat yang dilimpahkan Allah kepada hamba-Nya dengan amal saleh dan menggunakannya sebagaimana mestinya.[20]

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa syukur adalah berterima kasih dengan bersyukur atas segala nikmat yang dilimpahkan-Nya dengan rasa syukur dalam bentuk pengakuan, keyakinan dan perbuatan.

3. Surah al-Insan, 076/098: 9

$oÿ©VÎ) ö/ä3ãKÏèôÜçR Ïmô_uqÏ9 «!$# Ÿw ߃̍çR óOä3ZÏB [ä!#ty_ Ÿwur #·qä3ä© ÇÒÈ

Artinya:

Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih”. (QS. Al-Insaan: 9)

Ayat ini tergolong Madaniyah dan tidak ditemukan sebab turunnya (asbab al-nuzul), ayat ini menjelaskan bahwa Allah tidak meminta dan mengharapkan dari kalian balasan dan lain-lainnya yang mengurangi pahala, kemudian Allah memperkuat dan menjelaskan lagi bahwa Dia tidak mengharapkan balasan dari Hamba-Nya, dan tidak pula meminta agar kalian berterimakasih kepada-Ku[21] dengan demikian diketahui bahwa ayat yang ada kaitannya dengan arti syukur dadlam ayat tersebut pada dasarnya adalah lafal yang berbunyi:

شكورا

Menurut al-Maragi arti kata syukur di atas adalah berterimakasih kepada Allah swt.[22]

Sementara Ibn Katsir mendefenisikan syukur itu adalah ucapan terima kasih.[23]

Hal senada dikemukakan oleh Jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalal al-Din ‘Abd ar-Rahman Abi Bakr al-Suyutiy, syukur adalah berterimakasih kepada Allah swt atas segala nikmat-Nya.[24] Apakah mereka benar-benar mengucapkan hal yang demikian ataukah hal itu telah diketahui oleh Allah swt, kemudian Dia memuji kalian, sesungguhnya dengan masalah ini ada dua pendapat.[25]

Hal senada dikemukkan oleh Departemen Agama RI bahwa syukur adalah ucapan terimakasih.[26]

Hal ini didukung pengertian secara bahasa, bahwa syukur adalah berterima kasih kepada-Nya.[27] Berasal dari kata شكر – يشكر – سكرا yang berarti berterimakasih.[28]

Berdasarkan penafsiran keempat mufasir di atas maka dapat disimpulkan bahwa syukur adalah berterimakasih kepada Allah swt atas segala nikmat-Nya.

Demikianlah uraian tentang pengertian syukur dalam Alquran dengan melihat beberapa penafsiran mufasir terhadap ayat yang telah ditentukan sebelumnya.


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dalam sebuah hadist dikatakan:

`Sungguh aneh perkara orang mu´min, ketika diberi cobaan ia bersabar dan ketika diberi nikmat ia bersyukur`

Syukur berarti tidak hanya dalam hati mengakui tapi juga dalam ibadah dan amal perkataan.

Agar dapat bersyukur diperlukan:

1. Ilmu

2. Kondisi spiritual

3. Amal perbuatan

Pemberi segala nikmat adalah ALLAH, namun seringkali kita menganggap bahwa semua itu karena diri sendiri dan mengenyampingkan Allah. Bersyukur bukan tentang nikmat yang diberikan, tapi bersyukur kepada pemberi nikmat itu sendiri. Kita memberikan kegembiraan kita kepada pemberi nikmat akan nikmat tsbt. Namun seringkali syukur kita masih ditempatkan kepada nikmat & pemberian nikmat tsbt, bukan kepada ALLAH.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, Beirut, Dar al-Firk, t.th.

Al-Dimasyqi, Abu al-Fida Ismail Ibn Katsir al-Quraisyi, Tafsir Alquran al-Azim, Kairo, Dar al-Hadis, 1414 H/1993 M.

Al-Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir Arab – Indonesia, Surabaya, Pustaka Progesif, 1984.

Asghari, Basri Iba, Solusi Alquran – Problematika Sosial, politik, dan Budaya, Jakarta, Rinekea Cipta, 1994.

Departemen Agama RI, Alquran dan Tafsirnya, Jakarta, Ferlia Citra Utama, 1996/1997.

Departemen agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Jakarta, Intermasa, 1992.

Jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalal al-Din Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuty, Tafsir Alquran al-Azim, Libanon, Dar al-Fikr, 1991.

Yunus, Mahmud, Kamus Arab – Indonesia, Jakarta, Hidakarya Agung, 1972.



[1]Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab – Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progesif, 1984), h. 785-786.

[2]Ibid.

[3]Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1972), h. 201.

[4]Departemen agama RI, Alquran dan Terjemahnya, (Jakarta: Intermasa, 1992), h. 409.

[5]Basri Iba Asghari, Solusi Alquran – Problematika Sosial, politik, dan Budaya, (Jakarta: Rinekea Cipta, 1994), Cet. I, h. 68.

[6]Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, (Beirut: Dar al-Firk, t.th), Jilid VII, h. 28.

[7]Ibid

[8]Ibid

[9]Ibid

[10]Abu al-Fida Ismail Ibn Katsir al-Quraisyi al-Dimasyqi, Tafsir Alquran al-Azim, (Kairo: Dar al-Hadis, 1414 H/1993 M), Jilid III, h. 313.

[11]Jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalal al-Din Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuty, Tafsir Alquran al-Azim, (Libanon: Dar al-Fikr, 1991), h. 266.

[12]Departemen Agama RI, Alquran dan Tafsirnya, (Jakarta: Ferlia Citra Utama, 1996/1997), jilid VII, h. 39.

[13] Ahmad Mustafa al-Maragi, Op.cit, Jilid VII, h. 67.

[14]Ibid

[15]Ibid

[16] Ibid

[17]Abu al-Fida Ismail Ibn Katsir al-Quraisyi al-Dimasyqi, Op.cint, h. 507.

[18]Jala al-Din Muhammad Ibn Katsir al-Quraisyi al-Dimasyqi, op.cit, h. 507.

[19]Jala al-Din Muhammad Ibn Ahma al-Mahalliy dan Jalal al-Din Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyutiy, Op.cit, h. 309.

[20]Departemen Agama RI, Op.cit, Jilid VII, h. 73.

[21]Ahmad Mustafa al-Maragi, op.cit, Jilid 4, h. 455.

[22]Ibid.

[23]Abu al-Fida ismail Ibn Katsir al-Gurasyi al-Dimasyqi, op.cit, jilid IV, h. 455

[24]Jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman Abi Bakr al-Suyutiy, op.cit, h. 423.

[25]Ibid.

[26]Departemen Agama RI, po.cit, Jilid X, h. 537.

[27]Ahmad Warson al-Munawwir, op.cit, h. 784-785.

[28]Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonseia, op.cit, h. 202.

BY: ATMA FATHANA & NOOR HARIYANTI